Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14 | The Eliminations Day - Part 1

"Bagaimana bisa, hanya dengan melihat senyumnya saja
dapat membuat segala perasaan buruk menghilang bagaikan ditelan bumi?"

T H E E L I M I N A T I O N S D A Y •

Suara sendok beradu dengan piring yang sebelumnya mendominasi di ruang makan kini mulai mereda karena hanya satu orang saja yang belum menyelesaikan acara makannya. Radeon, dan sang Ibu—Amira, mengalihkan pandangannya yang semula berfokus pada makanan jadi mengarah kepada si bungsu, Ratisa.

Ratisa menguyah makanannya dengan perlahan saat sadar dirinya diperhatikan.

"Ngapa?" tanya Ratisa, main asal ceplos seperti biasanya.

Deon meneguk air dinginnya. "Makan buruan abisin. Gue mau ngomong penting nih."

Kesal, Ratisa memutar bola matanya. "Ngomong ya tinggal ngomong, apa susahnya coba?"

Ingin sekali Deon melempar sendok ke arah adik perempuannya itu, tapi urung karena ternyata Amira sudah melakukannya terlebih dahulu.

"Perempuan tuh ngomong yang lembut apa, dek!" tutur Amira, melotot.

Ratisa mengerang sakit dengan tangan memegangi dahinya yang memerah sehabis tertampar sendok. Ia menatap Amira garang dan menggeretakkan giginya.

"Ini namanya penyiksaan!" kata Ratisa, tidak terima.

"Terus kamu mau apa? Lapor kak Seto!?"

Deon memejamkan matanya dan memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja merasa pusing selagi menyaksikan perdebatan yang terjadi hampir di setiap hari antara adik dan mamanya. Selalu saja seperti ini. Kalau sudah begini, kapan Deon ngomongnya?

"Berantem aja terus sampe kak Seto pindah rumah," tutur Deon.

Amira menoleh. "Ya bagus dong!" serunya berapi-api. "Mendingan pindah aja itu kak Seto biar adek kamu nggak ngancem nyebrang ke depan terus ngelapor melulu!"

Ya, memang semenjak awal kepindahan Deon dan keluarganya, mereka tidak sadar kalau ternyata rumah yang berlokasi tepat di hadapan rumah kediaman mereka merupakan tempat tinggal Kak Seto yang merupakan Ketua Komisi Nasional dan Perlindungan Anak dan keluarganya, sampai ketika malam saat Ratisa yang baru pulang les tak sengaja melihat Kak Seto baru saja keluar dari mobilnya.

"Ya enak di mama dong kalo gitu!" pekik Ratisa tidak mau kalah.

Langsung saja Deon menampar mulutnya sendiri ketika merasa ia baru saja melontarkan perkataan yang tidak seharusnya yang malah membuat perdebatan antara mama dan adik perempuannya ini semakin menjadi-jadi.

"Halah, bodoamat," kata Deon, tidak lagi peduli dan memilih untuk bangkit dari posisinya.

Baru saja Deon melangkahkan kakinya hendak menuju kamar, terdengar suara bell rumah yang berdering, berhasil menghentikan perkelahian antara Amira dan Ratisa yang perhatiannya kini sepenuhnya teralihkan.

Deon menoleh ke arah jam dinding yang bergantung jauh di ruang TV.

Jam 9 malam.

Siapa yang bertamu malam-malam begini?

"Kalian lanjut aja berantemnya, biar Deon yang buka," kata Deon nyinyir.

"Giliran kakak ngomong sarkas gapapa, giliran Tisa langsung diomelin." Ratisa mendumal.

Tak memedulikan ocehan adiknya, Deon terus berjalan keluar untuk membuka pintu masuk yang membuatnya menyesal karena sudah mencalonkan diri untuk jadi orang yang membukakan pintu alih-alih adiknya. Perasaan kesal bercampur marah, semuanya jadi satu saat Deon melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya dan tanpa sadar membuat tangan Deon mengepal dengan erat.

"Ngapain ke sini?" tanya Deon langsung, tanpa basa-basi.

Berdiri di hadapannya, seorang pria berusia awal empat puluhan yang masih nampak begitu muda untuk usianya dengan sweater biru tuanya yang menutupi kemeja putih di dalamnya yang hanya memperlihatkan kerahnya saja dan jas hitam yang disampirkan di lengan kanannya. Mata tajam dan hidung lancipnya persis sekali dengan Deon. Hanya saja, pria di hadapannya ini memiliki rahang yang lebih keras lagi dibanding Deon dan membuatnya terlihat lebih galak walau wajahnya tak berekspresi sekalipun.

"Batalin lomba kamu besok," katanya, tanpa ampun.

Deon mengernyit aneh. "Siapa nyuruh-nyuruh?"

Hampir saja sebuah tamparan melayang di wajah tampan Deon kalau mamanya tak berteriak dari dalam rumah.

"Siapa, Yon? Suruh masuk," kata Amira, tanpa tahu siapa yang datang.

Deon menggeretakkan giginya dan menoleh, menatap pria di hadapannya yang entah kenapa berubah gugup ketika mendengar suara mama Deon.

"Temen Deon, Ma! Cuman minta tanda tangan persetujuan pensi di sekolah aja kok, dia mau langsung pulang aja katanya," balas Deon, sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar dari dalam.

Bagaikan tersadar setelah Deon berkata demikian, pria tadi sudah merubah kembali ekspresinya jadi datar dan terkesan galak seperti sebelumnya. Ia menatap Deon, anak laki-lakinya yang sekali lagi tak mengakui dirinya sebagai Ayahnya.

"Batalin lomba kamu, besok dateng ke seminar. Fokus belajar bisnis, Papa udah daftarin kamu buat masuk ke universitas di Australia."

Tidak marah seperti sebelumnya, kali ini Deon tertawa. Hanya saja, tawanya pahit sekali.

"Nggak tertarik, sorry," kata Deon enteng. "Kalo udah selesai ngomongnya, bapak Reynaldi Kusuma yang terhormat bisa pergi dari rumah saya."

Setelah selesai bicara, Deon langsung masuk dan menutup pintu rumahnya keras-keras. Tak lupa, ia menguncinya dan mematikan lampu teras rumahnya dari dalam. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal menahan gejolak amarah yang hendak meletup dari dalam dirinya.

Sementara di luar rumah, masih berdiri sosok Reynaldi Kusuma dengan kedua tangan yang turut mengepal kala mengingat perkataan yang sebelumnya Deon lontarkan terhadapnya. Bukan Papa, tapi bapak Reynaldi Kusuma yang terhormat, kata Deon.

• • • • •

Stella tak henti-hentinya mengucap kata 'woah' atau bahkan tersenyum senang kala melihat beberapa atlet yang kerap berpapasan dengannya selama di koridor.

Alvian yang merasa malu, akhirnya menghentikan kegiatan norak adiknya dengan memukul bahunya.

"Jangan kayak orang udik dah," kata Alvian.

Mata Stella langsung memincing dengan bibir yang mengerucut menatap kakak laki-lakinya itu dengan sebal. "Namanya baru tumben, wajar kali!" katanya tidak terima.

Memutar bola matanya malas, akhirnya Alvian memilih untuk jalan duluan meninggalkan Stella alih-alih melanjutkan berdebat seperti yang biasanya ia lakukan. Image Alvian harus dijaga kalau di depan umum seperti ini.

"Bang! Tungguin idisshhh!"

Stella cepat-cepat berlari menyusul Alvian, namun ketika ia melewati gate untuk memasuki tempat duduk penonton, tanpa sengaja Stella menubruk seseorang sampai keduanya jatuh terduduk.

"Aduh, kalo jalan pake mata dong!"

Stella meringis dalam hati.

Matanya mau ditaro di bawah? Yakali, jalan mah pake kaki.

"Maaf-maaf," ujar Stella, menundukkan kepalanya dan berusaha bangkit.

"Stella?"

Bibir Stella hampir lepas dari tempatnya mendengar seseorang yang bersuara barusan. Seseorang yang ia kenal dengan jelas suaranya dan berhasil membuatnya meringis di tempat.

Stella mendongak, kemudian pura-pura terkejut melihat sosok di depannya.

"Eh, kak Achy?"

Seharusnya Stella tahu dengan jelas kalau Achy bakalan datang ke tempat seperti ini, mengingat siapa yang akan bertanding hari ini.

Achy bangkit dari posisinya dan menatap Stella dengan seksama dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan kembali lagi menatap wajahnya dalam-dalam.

"Ngapain lo di sini?" tanya Achy, to the point.

Nampak ragu selama beberapa saat, Stella menggigit bibir bawahnya sebeluk menjawab.

"Nganterin kakak," jawab Stella pada akhirnya.

Mulut Achy hanya membentuk 'O' tanda mengerti dan tanpa suara.

"Yaudah, yuk bareng," kata Achy, mengejutkan Stella setengah mati. "Di mana kakak lo?"

Stella kelimpungan dan panik. Tangannya berkeringat dingin dan kakinya mendadak gemetar. Harus bagaimana ia sekarang? Achy tentu saja tak akan membiarkannya tenang soal ini. Stella mendadak ketakutan.

Ia merasa ini semua sangat tak wajar, karena bukankah seharusnya Achy berperilaku seperti siswi-siswi lainnya? Terlebih mengingat bagaimana cara Tiffany bercerita tentangnya, yang merupakan perempuan nomer satu yang selalu ada kemanapun Deon berada. Bukan itu saja, tiba-tiba ia teringat akan cerita Janita yang hanya karena dirinya menyukai Deon, persahabatannya dengan Achy bahkan sampai hancur.

Lalu, apa-apaan reaksi dengan keramah-tamahan milik Achy ini?

Guna menetralkan perasaannya, Stella menghela napasnya panjang-panjang.

"Duluan aja kak," ujar Stella. "Aku kebelet mau ke toilet."

Achy tertawa. "Oh, lo lari-larian tadi itu mau ke toilet?"

Spontan saja Stella menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Kak. Toiletnya di mana ya?"

"Di sana." Achy menunjuk ke pintu di balik tubuh Stella. "Terus belok kanan."

"Makasih, Kak."

Stella langsung berbalik dan berlari menuju tempat yang ditunjukkan oleh Achy tanpa menunggu lebih lama lagi. Ia tak mau berbasa-basi lebih lama yang malah akan membuatnya berada pada posisi tak menguntungkan. Stella bersyukur dan merasa dirinya beruntung kali ini.

Sesampainya di toilet, Stella menghela napasnya lega dan langsung saja mencuci wajahnya yang kini susah merah padam. Ia hampir saja menangis kalau ponsel di tas selempangnya tidak berdering menandakan adanya panggilan masuk.

Alvian is calling.

Stella mengelap asal tangannya di atas baju lalu mengangkat panggilan dari kakak laki-lakinya itu.

"Halo?"

"Di mana lo!?"

Stella menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya.

"Biasa aja dong!" balas Stella, tiba-tiba emosi.

"Di mana? Buruan sini, temen gue udah dateng."

Baru saja Stella hendak membalas, Alvian sudah memutuskan panggilannya terlebih dahulu.

"Muka doang mirio Chen EXO, tapi sifatnya ewwwwwww." Stella mendumal kesal.

Setelah melampiaskan kesalnya, Stella keluar dari toilet sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Namun tepat saat ia keluar, lagi-lagi Stella menabrak seseorang. Kali ini, hanya ia yang terjatuh.

Ada apa sih dengan Stella hari ini? Apa ini hari menabrak orang sedunia? Kenapa ia terus-terusan menabrak dan ditabrak seseorang?

Stella meringis dan menggigit bibir bawahnya kala merasa bokongnya sedikit ngilu akibar terus menerus terjatuh.

Sampai, sebuah tangan terjulur ke arahnya.

Dan saat Stella mendongak, betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang baru saja menjulurkan tangan ke arahnya.

"Sorry," ucapnya tulus. "Lo gapapa?"

Ragu-ragu, Stella menyambut uluran tangannya dan langsung bangkit kala ditarik.

"Gapapa," ujar Stella, menunduk malu. "Makasih ya, Kak."

Berdiri di depannya, seorang laki-laki dengan seragam lombanya yang berwarna biru laut, lengkap dengan nomer dada beserta nama lengkapnya terukir di sana.

Radeon Kusuma.

Memberanikan diri untuk mendongak, Stella tanpa sengaja mendapati Deon tengah tersenyum ke arahnya.

"Yaudah, gue duluan ya."

Kemudian Deon berbalik dan hendak berjalan menjauh mendahuluinya, namun entah kerasukan setan kamar mandi ganjen yang kurang belaian atau apa, Stella menahan Deon dengan menarik pergelangan tangannya.

Terkejut dengan perlakuan Stella yang cenderung tiba-tiba. Deon menoleh, menatap tangannya yang digenggam lalu beralih menatap Stella.

"Kenapa?" tanya Deon, berusaha agar nada bicaranya terdengar biasa saja.

"Maaf," ungkap Stella, yang entah kenapa langsung Deon pahami apa maksudnya. Stella sedang membicarakan soal malam pesta.

Deon bergerak kikuk di tempatnya, tak menyinggung sama sekali soal tangannya yang sampai sekarang masih dipegangi oleh Stella.

"Santai aja," ucap Deon.

"Terus juga, itu—" kata Stella menggantung. Ia menunduk malu. "Semangat ya kak lombanya, semoga menang."

Stella tak sadar, kalau perkataannya barusan telah membuat jantung seseorang berdetak dengan kerasnya dan menghapus jarak yang sebelumnya tercipta.

• • • • •

[ n o t e s ! ! ! ]

MOMOLAND's Nancy as Ratisa Kusuma

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro