Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 | The Party

"Malam yang berwarna, tetap saja gelap kalau tak ada bintang.
Apalagi, saat hati sedang direlung gundah."

T H E P A R T Y

"Mantannya tapi bukan mantan yang kayak begitu.."

Entah kenapa, Stella hampir saja menghembuskan napasnya tanda lega, namun ia cepat-cepat menetralisir perasaannya dan berusaha fokus pada apa yang hendak Janita bicarakan padanya. Ia menatap Janita.

"Terus apa?" tanya Stella.

"Mantan temen deket," balas Janita. "Gue sama Achy itu dulu deketnya udah kayak lo sama Tiffany sekarang. Kita bahkan bareng-bareng daftar OSIS dan teriak-teriak saking senengnya pas kita berdua keterima. Terus, Achy kenalin gue ke temen dia dari kecil yang sekolah di sini juga.. si Deon itu. Nah kita mulai main bareng deh tuh. Tapi, gue lama kelamaan jadi ada rasa sama Deon—"

Janita berhenti. Mengatur napasnya sembari sesekali menatapi raut wajah Stella yang masih diam tak bereaksi. Kemudian, ia melanjutkan.

"Inget cowok famous yang gue ceritain lagi deket sama gue tahun lalu itu kan?" tanya Janita, dibalas anggukkan oleh Stella. "Itu Deon."

"Lo... suka sama kak Deon?" Ragu-ragu Stella bertanya.

"Waktu itu." Janita cepat-cepat meluruskan. "Sekarang mah gue udah nggak mikir-mikirin pacaran dulu. Nanti juga pas di KL ketemu cogan-cogan lainnya."

Stella tak bereaksi lagi kali ini. Membuat benturan di kepala Janita terasa semakin keras saat dia sadar kalau pengalihan topiknya tak berhasil dan mengharuskannya menjelaskan sampai akhir kepada Stella.

Janita tak punya pilihan lain.

"Jadi, waktu itu gue sama Achy kan deket banget ya. Terus dia kayak ngenalin gue ke Deon. Nah, pas gue sama Deon kayak semacem deket gitu... gue ada slek sama Achy. Gue gatau kalo Achy ternyata dari dulu emang suka sama si Deon. Gue kira dia cuman nganggep Deon temen doang gitu.. ternyata nggak."

Sebenarnya, Stella ingin sekali berkata 'terus' agar Janita melanjutkan ceritanya tanpa berhenti, namun ia sadar tak seharusnya ia melakukan hal itu. Terlebih, kalau Stella tidak salah mengingat, Janita sempat kacau parah karena cowok famous—Deon—yang diceritakannya dulu itu, dan masalah dengan sahabat dekatnya karena seorang laki-laki yang bahkan tak memberi hubungan pasti kepada keduanya.

"Achy kayak nggak terima gitu, ngata-ngatain gue PHO segala macem. Padahal dia yang buat gue deket sama Deon."

Stella menunduk lesu. Membuat Janita seketika saja direlung perasaan bersalah. Ia cepat-cepat menepuk pundak Stella dan memintanya untuk mendongak menatapnya.

"Lo udah suka ya sama Deon?" tanya Janita, tiba-tiba.

Bukannya menggeleng, Stella malah kembali menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menggeleng pelan.

Namun, saat Stella bereaksi demikian, Janita sudah mengetahui dengan jelas jawabannya.

"Mending, sebelum perasaan lo ke dia makin gede, lo udahin aja. Gue nggak mau kejadian lo kayak SMP keulang lagi dan malah bikin lo nggak nyaman. Kalo dulu mungkin mending ada gue, tapi sekarang gue kan mau pindah, Stel.."

Benar. Seharusnya itu yang Stella lakukan, kalau ia tak ingin kejadian yang dulu menimpanya terulang kembali.

• • • • •

Angin malam yang lumayan dingin berhembus pelan dan menerpa halus wajah cantik milik Stella yang kini tertutupi dengan sedikit riasan hasil karya sahabatnya Tiffany, yang bersikeras hendak merias wajahnya sebelum sampai di tempatnya berdiri saat ini.

Malam ini Stella mengenakan dress selutut dengan lengan pendek berwarna merah muda yang senada dengan sepatu kuning muda serta tas jinjingnya yang berwarna putih. Riasan yang Tiffany kenakan kepadanya juga cenderung natural, hanya mewarnai sedikit alisnya dan mascara serta lipgloss berwarna merah muda.

Tangan Stella yang mulai berkeringat menggengam erat tali pegangan pada slig bag yang ia kenakan, serta kerap kali mengalihkan wajahnya agar tak terlihat oleh beberapa orang yang berjalan masuk ke aula di depannya. Sementara Tiffany yang kini berdiri di belakangnya hanya memerhatikan Stella dengan pandangan aneh.

"Temen lu ngapa dah?" tanya Geraldo, yang sejak tadi ikut memerhatikan tingkah laku Stella.

Tiffany menggelengkan kepalanya tanpa menoleh atau bahkan melirik.

Geraldo memutar bola matanya bosan, enggan cari gara-gara juga. "Gue masuk duluan. Bilang, dia udah cantik gausah malu-malu."

Baru saja Tiffany hendak menoyor kepala kakaknya yang kerap kali modus itu padahal sudah ia peringati, tapi Geraldo sudah pergi duluan. Sepertinya tahu bagaimana adik satu-satunya itu akan bereaksi. Dan berhubung Geraldo sudah pergi, Tiffany langsung saja maju beberapa langkah menghampiri Stella dan menepuk pelan pundaknya.

"Jangan tegang gitu napa, Stella," pinta Tiffany.

Stella terlonjak di tempatnya. Ia menoleh dan menatar Tiffany dengan tatapan sendu.

"Gue takut, Fan," ujarnya.

Tiffany menghela napasnya panjang dan memijat pelipisnya pelan. "Apa yang lo takutin sih? Lo udah keren banget, Stella Danita. Abang gue aja dari tadi pas di mobil tuh ngelirik spion melulu. Orang mana juga ngeliat lo bakalan tau lo kayak gimana."

Bukannya tenang, Stella malah menggigit bibir bawahnya dan semakin bimbang.

"Berarti gue mencolok banget kan?" tanya Stella. "Gue.. takut, Fan.."

Ingin sekali Tiffany berteriak kencang saking kesalnya. Namun, ia menahannya dengan baik karena mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ia melipat kedua tangannya di dada dan menatap Stella dengan mata yang menyipit dan dagu terangkat.

"Terus lo mau gimana? Berdiri terus di sini sampe jadi nggak mencolok apa masuk?"

"Fany.." Stella merengek, tangannya meraih tali tas milik Tiffany dan menahannya.

"Kalo lo mau di sini terus, terserah, gue masuk."

"Jahat banget sih," ucap Stella, namun mengekori Tiffany yang mulai berbalik dan melangkah masuk dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya.

Mereka sampai di depan pintu dan memberikan undangan agar dapat masuk, dan setelah sampai ke tempat pesta, seluruh mata langsung tertuju kepada keduanya. Sepertinya, firasat Stella yang buruk-buruk selalu jadi kenyataan dan benar adanya. Baik Stella maupun Tiffany meneguk salivanya dalam-dalam, tidak tahan dengan tatapan yang ditujukan kepada keduanya.

Tiffany mendadak menyesal dengan keputusannya untuk masuk ke dalam. Jadi, ia mendekatkan kepalanya ke telinga Stella yang kini menggenggam tangannya erat-erat di sampingnya.

"Lo tadi mau di luar aja, Stel?" tanya Tiffany, setengah berbisik.

Lagi, Stella meneguk salivanya keras-keras dan mengangguk.

"Iya lo bener seharusnya kita di luar aja. Lebih baik di luar daripada kelepasan di dalem."

"Fan.. otak lo ngeresnya nanti aja, ini lagi serius sekarang.."

"Ohiya, bener."

Stella mempererat pegangannya di lengan Tiffany, nampak sekali ketakutan akan ditinggal. Ia menggigit bibir bawahnya. "Jadi sekarang kita mau gimana, Fan?" tanyanya gelagapan.

"Kabur lah pake nanya," jawab Tiffany langsung. "Hitungan ke tiga balik badan terus lari ya."

"Oke."

"Satu.."

"Dua..."

"Sister!"

Mata Tiffany langsung terpejam dan menggeretakkan giginya menahan umpatan yang hendak sekali meluncur keluar ke arah kakak laki-lakinya yang dengan entengnya meneriakkinya seperti itu dan kini tengah melangkah mendekat ke arahnya.

Siapa lagi kalau bukan Geraldo. Si penghancur suasana.

"Babi banget dah tuh dia gabisa baca sikon," umpat Tiffany memasang ancang-ancang hendak meninju kakak laki-lakinya itu.

"Ngapain lo pada? Buruan sini," kata Geraldo.

Tiffany melotot dan jelas-jelas memasang wajah tanda permusuhan di antara keduanya, namun ia tersadar akan sesuatu kala tangan Stella yang memegangnya dirasa mulai berkeringat dan pegangannya semakin kencang terasa. Tiffany menoleh dan mendapati Stella menatap lurus-lurus ke depan, bukan ke arah Geraldo tentunya. Karena Tiffany langsung saja mengikuti arah pandang Stella dan mendapati seseorang dengan balutan jas yang juga balas menatap sahabatnya itu.

Gawat deh.

• • • • •

Miko menyenggol lengan Deon untuk yang kesekian kalinya semenjak kejadian beberapa menit yang lalu, dan masih tidak mendapatkan respon yang jelas. Ia mendengus sebal dan memilih menjauh untuk mengambil minuman sendiri meninggalkan Deon yang masih saja kosong pandangannya.

Sebenarnya, Deon mendengar kala Miko memanggil, dan sadar saat lengannya disenggol berkali-kali. Hanya saja, ia memilih untuk tetap diam dan menyibukkan diri dengan pikirannya yang kalang kabut. Apa salah yang telah ia lakukan? Dan dari sekian banyak orang, kenapa harus Janita?

Memang, mereka tidak memiliki masalah yang begitu serius dan masuk ke dalam kategori sudah saling bermaafan. Tapi tetap saja, sekalipun selama ini ia dan Janita berbicara biasa saja, Deon masih dapat merasakan dengan jelas getaran-getaran yang aneh saat berbicara dengan Janita, termasuk perasaan tidak enak karena merasa ialah penyebab hubungan Janita dengan Achy jadi merenggang.

Baru saja Deon bernapas lega saat naik-naikkan kelas dan dinyatakan berbeda kelas dengan Janita dan Achy, masalah yang melibatkan salah satu dari keduanya malah datang lagi. Dan kali ini dari seorang anak baru bernama Stella Danita yang dengan kurang ajarnya membuat perasaan Deon kelimpungan bukan main, terlebih saat cewek itu mendiamkannya dan Janita mewanti-wanti dirinya agar ia menjauhi Stella.

Hanya saja, bisakah Deon menghilangkan itu semua? Rasa ketertarikannya terhadap sosok Stella? Yang kini berdiri tidak jauh dari posisinya dengan dibalut dress merah muda yang semakin membuat Deon tidak bisa memalingkan pandangannya lama-lama.

Cepat-cepat Deon menggelengkan kepalanya dengan kuat saat pandangan mereka tanpa sengaja bertemu, lagi.

"Yon," panggil Miko, yang kali ini berhasil menarik perhatian Deon.

Deon menoleh dan sedikit mengangkat dagunya. "Ngapa?"

"Minum gak?" tawar Miko, menyodorkan salah satu gelas berisikan orange juice yang dibawanya.

Tidak menolak, tanpa disangka-sangka Deon malah tanpa ragu meraih dan menyeruputnya hingga habis. Dan begitu selesai, langsung saja gelas kosongnya ia kembalikan pada Miko.

"Thanks," ujar Deon, kemudian berlalu pergi.

Ingin sekali Miko mengucapkan kata-kata mutiara.

Namun, bukan itu yang justru jadi perhatian Miko. Karena, kini ia melihat sahabatnya itu tengah berjalan menghampiri seorang gadis berbalut dress merah muda yang tengah duduk sendiri di salah satu kursi di pojok ruangan, menjauh dari keramaian dengan segelas orange juice di tangannya dan kepala yang tertunduk.

"Et, si goblok dasar bocah edan," dumal Miko, berusaha mengejar dan menghentikan pergerakkan Deon, namun terlambat.

Deon sudah tiba di hadapan gadis itu, dengan seluruh tatapan di penjuru ruangan yang tertuju kepadanya—bukan, tapi terhadap keduanya. Langsung saja Miko memejamkan matanya dan mendesah berat. Ada apa sih dengan temannya itu? Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Deon. Bukankah Janita sudah memperingatkannya dengan jelas sekali? Lalu, apa yang akan dilakukannya kali ini?

Sementara di tempatnya, Deon tengah berperang dengan dirinya sendiri. Melawan nalurinya yang berkata untuk mundur dan biarkan, dan terus melangkah ke depan tanpa peduli dengan bisikkan-bisikkan yang terdengar begitu jelas di telinganya.

Dengan kaki jenjangnya Deon melangkah menuju gadis cantik yang tak dapat menyembunyikan raut wajah paniknya. Baru saja gadis itu hendak berbalik menjauh dan kabur dari sosoknya, Deon terlebih dahulu meraih pergelangan tangannya dan menariknya ke arah yang berlawanan.

Keributan terjadi di dalam ruangan. Sampai Deon menariknya keluar lewat pintu belakang dan menutupnya keras-keras hingga tak terdengar apapun.

Gadis itu, Stella Danita.

"Kak.. lepasin," pinta Stella, menahan erangan rasa sakit di sekujur pergelangan tangannya.

Tidak melepaskan pegangannya, Deon memilih untuk meregangkan pegangannya saja. Tatapannya terlihat tajam sekali saat matanya beralih menatap Stella dalam-dalam, sekalipun gelap di luar sini.

Seketika, rasa gugup yang Stella rasakan sebelumnya berubah jadi rasa takut. Ia menundukkan kepalanya, tak berani balas menatap Deon yang tatapannya bisa saja menyayatnya.

"Liat gue," titah Deon, menggeretakkan giginya.

Tak dapat menolak kharisma seorang Radeon Kusuma, bahkan dari suaranya saja, Stella perlahan mendongak dan menatap Deon yang masih jauh lebih tinggi darinya walau ia sudah menggunakan sepatu tinggi sekalipun.

"Gue tanya, lo jawab jujur."

Tidak tahu harus melakukan apa, dan merasa tidak dapat bertindak sesuka hatinya, Stella mengangguk pelan seraya menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa kalut yang berkecimpung di benaknya

Rahang Deon mengeras. "Kenapa lo jauhin gue?"

Kerongkongan Stella tercekat, ia kehabisan kata-kata. Ada apa Deon bertanya seperti ini? Dan.. kenapa dia peduli kalau Stella menjauhinya?

Lagi, Deon menggeretakkan giginya dan menghirup napasnya dalam-dalam.

"Lo—gasuka sama gue?"

Seketika, Deon hendak memukul mulutnya sendiri karena telah berkata demikian setelah melihat ekspresi yang Stella berikan padanya.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro