Chapter 10 | The Distance
"Mendamba memang tidak selalu berakhir baik, tapi bukan juga hal yang buruk. Karena dapat memberikan pelajaran terhadap diri sendiri dan memperkuat pertahanan diri."
• • • • •
Entah kenapa, Deon kesal. Saat tangannya tengah diobati pun, dia marah-mara kala suster tak sengaja menekannya terlalu keras. Wajahnya benar-benar nampak tak bersahabat hari ini.
"Gimana perasaan kamu, Deon?" tanya dokter Hendri, setelah pengobatan selesai di kantornya.
"Buruk," jawab Deon.
"Bukan hati kamu. Tangan kamu itu," balas dokter Hendri.
Deon mengerjapkan matanya selama beberapa kali, seakan tersadar dengan sindiran yang diucapkan oleh dokternya. Lalu, ia segera membenarkan posisi duduknya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja, pura-pura memerhatikan.
"Lumayan, dok."
Dan saat Deon mendongak, ia dapat melihat dengan jelas kalau dokter Hendri sedang menahan seulas senyuman di bibirnya.
"Kenapa senyam-senyum, dok?" tanya Deon dengan nada yang agak sinis.
"Gapapa," jawab sang dokter. "Mood kamu dari tadi kayak orang lagi patah hati aja saya perhatiin."
"Patah hati?" Deon tertawa, hambar sekali. "Apa yang mau dipatahin, dok. Hati aja gak punya."
Kemudian, dokter Hendri memilih untuk diam dan melanjutkan menulis catatan pada buku kesehatan pribadi milik Deon. Termasuk beberapa resep obat yang harus Deon tebus nantinya karena sesi terapinya sudah selesai hari ini. Cukup cepat untungnya karena memang setelah operasi jadi tidak begitu parah.
Melihat dokter Hendri tiba-tiba serius sekali, Deon memutuskan untuk bertanya.
"Dok, terus kapan saya udah boleh mulai latihan?" tanya Deon. "Dua minggu lagi babak penyisihan ulang, dok. Saya harus latihan supaya bisa lolos."
Tidak langsung menjawab, dokter Hendri terlihat ragu selama beberapa detik pertama. Berhasil membuat perasaan Deon gelisah bukan main, takut-takut ia tidak diizinkan bermain. Tapi setelah ia pikirkan lagi, memangnya kenapa? Toh dia pasti akan tetap bermain sekalipun dokter melarangnya dengan alasan kesehatan atau sebagainya. Jadi, Deon mencoba memasang ekspresi biasa saja. Tidak sekesal sebelumnya, ataupun sepenasaran yang seharusnya ia lakukan sekarang.
"Walaupun saya larang kamu, toh kamu juga bakalan tetep latihan kan?"
Deon cengegesan. "Iya, dok," jawabnya enteng.
Dokter Hendri menghela napasnya panjang. Kelihatan lelah sekali, namun ia tetap berusaha bersikap hangat di hadapan pasiennya, jadi ia tersenyum menenangkan.
"Oke," katanya.
Mata Deon membulat. "Serius, dok?!" tanyanya, hampir memekik.
Sedetik kemudian, Deon tersadar dan langsung meraup wajahnya sendiri untuk berganti ekspresi dari yang semula sangat bersemangat, jadi biasa saja. "Serius, dok?" tanya Deon sekali lagi, kali ini nada bicaranya terdengar ogah-ogahan.
"Tapi jangan seneng dulu," pungkas dokter Hendri. "Ada syaratnya."
"Siapa yang seneng, orang saya biasa aja kok," elak Deon, mencoba tak acuh, namun ia bertanya, "Apa syaratnya, dok?"
"Selama dua sampai tiga hari ke depan, tangan kamu harus tetep diperban dan jangan lupa ganti perbannya. Jangan sampe kamu biarin kebuka lebih dari satu jam. Kalau udah tiga hari dan tangan kamu masih belum sembuh juga, balik lagi ke sini. Oke?"
Tak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaannya, Deon langsung berdiri tegap dengan senyum sumringah dan memasang aba-aba hormat kepada dokter Hendri.
"Siap laksanakan, dok!"
Dokter Hendri lantas tersenyum dan ikut berdiri, kemudian menyerahkan selembar kertas berisikan resep obat yang harus Deon tebus dan habiskan setelah ini.
"Makasih, dok," kata Deon. Bersiap-siap untuk pulang saat dokter Hendri kembali menghentikannya.
"Ohiya, Deon," ujarnya.
"Kenapa, dok?" tanya Deon.
"Jangan panggil dok-dok terus. Saya bukan kodok. Panggil Pak juga gapapa, daripada dak dok dak dok melulu," ujar dokter Hendri melayangkan protesnya.
Deon tertawa. Benar juga, sejak tadi ia selalu menyebut dok-dok-dok dan dok berkali kali tanpa mengucap namanya. Jadi, Deon hanya mengangguk setuju.
"Terus juga tadi papa kamu ke sini. Nanyain gimana keadaan sama perkembangan kamu."
Seketika perasaan bahagia yang baru saja Deon dapatkan kembali sirna. Ada apa sih dengan dunia ini? Salah dia apa sampai-sampai baru bahagia sebentar saja, langsung mendengar kabar sedemikian menyebalkan seperti ini.
• • • • •
Melihat sahabatnya tidak napsu makan begitu, Miko jadi ikut-ikutan tidak napsu makan. Padahal biasanya, ia bisa menghabiskan satu mangkuk penuh porsi mie ayam buatan Pakde kantin dan masih bisa nambah makan pempek palembang buatan Bude Ati atau soto betawi Bang Tatang. Tapi sekarang, minum esteh saja tidak habis.
Deon menepuk pundak Miko, lumayan keras sampai hampir saja membuat Miko terjungkal ke belakang dan menabrak orang-orang yang tengah berlalu lalang di kantin pada jam istirahat kali ini.
"Makan lo, bego. Kurus ntar," titah Deon.
Miko berdecih. "Gak napsu gue."
"Gaya-gayaan gak napsu. Biasanya piringnya juga lo gerogotin, pake sok-sokan segala."
Langsung saja Miko mengeluarkan sendok dari tempat es beserta sedotannya dan menepuk kepala Deon gemas. "Ngaca, babi air. Muka lo aja sekarang gembul, sok-sok an ngatain gue."
"Lah, segembul-gembulnya gue masih gedean siapa, bekicot?" balas Deon, tak mau kalah.
Nampaknya perkelahian ini tidak akan ada habisnya, sampai Miko menyadari kalau Deon tengah menghindar dari topik utama permasalahan yang membuat moodnya berantakkan dengan memasang wajah palsunya di hadapan Miko. Langsung saja Miko melotot dan melambaikan tangannya di udara, meminta Deon untuk diam sejenak.
"Jadi, lo galau gara-gara pelatih lo yang kebukti nggak bersalah, apa gara-gara info dari dokter soal bokap lo yang dateng ke rumah sakit nanyain keadaan lo?"
Melihat Deon menghela napasnya dengan berat, Miko tahu kalau tebakannya benar.
"Gue bingung, Ko," ucap Deon pelan.
Sekali lagi, Miko mengangkat tangannya ke udara. "Bentar, gue pesen makanan dulu supaya pas lo cerita gak digusur gara-gara gak pesen makanan."
Deon kehabisan kata-katanya, Miko memang paling bisa membuat moodnya jungkir balik dan berubah kesal sedemikian rupa. Walaupun begitu, ia tetap menunggu dengan damai dalam pikirannya selagi Miko memesan makanan dan membawakannya sendiri.
"Lama bener," dumal Deon, pada Miko yang baru saja datang dengan dua menu makanan beserta minumannya.
Miko menatapnya sinis. "Masih untung, jing, udah gue beliin, gue bawain. Malah dihina-hina, dasar teman gatau diri."
"Santai aja dong, om."
"Ya elu lagian," balas Miko.
"Terus lo mau berantem terus gini? Gak jadi dengerin cerita gue?"
Miko hampir saja tersedak. Ia menyodorkan menu makanan milik Deon dan mulai mengambil ancang-ancang untuk mendengarkan sahabatnya ini bercerita. Deon tahu dia tidak bisa lepas apalagi melihat tatapan Miko yang sudah berubah begitu. Jadi, ia memulai ceritanya.
"Serius, gue gatau apa yang salah sama otak gue," kata Deon, memulai ceritanya.
"Ngapa emang?" tanya Miko, terdengar tidak sabaran dan mendesak dengan mata yang berbinar-binar.
"Dengerin dulu!"
"Oke-oke," balas Miko, menahan tawanya degan menutup mulutnya, lalu saat ia merasa haus langsung saja ia menyumpal mulutnya menggunakan sedotan.
Deon menghela napasnya sebentar. "Sumpah, gue bingung sama diri gue sendiri. Gue bahkan gatau gue begini gara-gara apa.."
Mendengarnya saja sudah membuat Miko emosi. Tapi, ia mencoba menahannya dan menunggu Deon melanjutkan, tatap mendengarkan sampai Deon selesai bercerita dan barulah ia memakinya habis-habisan kalau ternyata ceritanya tidak seperti apa yang ia harapkan. Ya, Miko sudah punya rencana dan bersiap-siap akan itu.
"Menurut lo, gue kayak gini gara-gara apa?"
Air minum di mulut Miko meluncur keluar.
"Lo gila?" tanya Miko langsung, matanya melotot. "Jadi, lo yang ngerasain tapi lo malah mau nanya gue? Gitu?!"
Biasanya, Deon langsung membalas kalau Miko sudah marah-marah begitu. Karena memang seharusnya begitu. Tapi, tidak kali ini. Deon hanya diam karena tatapannya tertuju ke tempat lain, ke arah subyek yang kini tengah berlalu di balik tubuh Miko. Miko menoleh untuk mengikuti arah pandang Deon dan langsung tahu betul apa yang ia perhatikan sampai-sampai kehilangan kesadarannya dan tidak menggubris Miko.
"Lo suka dia, Yon?" tanya Miko.
Alih-alih menjawab pertanyaan Miko, Deon justru bangkit dari posisinya dengan mata yang tetap tertuju pada seorang cewek dengan seragam mengkilapnya tanda baru bersama seorang temannya yang keduanya Miko ingat dengan jelas wajahnya.
Deon mengikuti mereka sampai di koridor jalan keluar kantin, dan berakhir dengan menarik tangan salah satunya yang Miko yakini bernama Stella Danita, menurut ucapan Deon terakhir kali. Miko tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jadi, ia segera berjalan menyusul Deon meninggalkan makanan tercintanya di atas meja tanpa tersentuh.
"Stella," panggil Deon. Lembut sekali, sampai-sampai Stella merasa terbuai dibuatnya dan langsung menoleh, terlebih karena pergelangan tangannya yang ditahan oleh Deon.
Tiffany yang melihat respon Stella langsung saja menyenggol lengan sahabatnya itu guna menyadarkannya. Stella tersentak pelan dan langsung melepaskan tangannya dari pegangan Deon.
Baru saja Stella hendak mengajak Tiffany untuk cepat-cepat menjauh dari sini selagi bisa, Deon kembali menahannya tangannya dan menarik Stella agar kembali menoleh.
"Lo kenapa?" tanya Deon, wajahnya datar dan emosinya sama sekali tak dapat dibaca.
Stella meneguk salivanya keras. "Kenapa apanya, kak?" Ia malah balik bertanya.
"Lo tau maksud gue," balas Deon langsung.
Melihatnya saja sudah membuat Tiffany tidak nyaman. Beruntung, ia melihat Miko di belakang sana dan langsung mengangkat tangannya untuk memanggil Miko dan meminta pertolongan yang tentu saja langsung membuat Miko berlari menghampirinya. Tiffany mengangkat dagunya dan memberikan kode kepada Miko untuk mengikuti arah pandangnya yang kini tertuju pada tangan Stella yang ditahan oleh Deon.
Mengerti dengan kode barusan, Miko menarik tangan Deon yang memegang keras lengan Stella, bahkan sampai membuatnya sedikit meringis menahan sakit.
"Yon, lepasin tangan anak orang itu kesakitan," papar Miko, memperingatkan.
Deon yang mendengar ucapan Miko serta melihat raut wajah Stella langsung tersadar dan melepas genggamannya pada tangan Stella. Merasa bersalah dalam hitungan detik.
"Permisi, kak."
Baru saja Deon hendak meminta maaf, namun Stella sudah pergi.
Menatap rambut panjang Stella dari belakang yang mulai menjauh dalam diam, Deon bahkan tak mengedipkan matanya barang sekalipun sampai gadis itu luput dari penglihatannya di balik tangga. Miko menghela napasnya melihat kelakuan sahabatnya ini.
"Kayaknya lo galau bukan gara-gara pelatih atau bokap lo," kata Miko.
Deon masih diam.
Sampai, seorang siswi dengan rambut gelombang berponi yang Deon kenal betul siapa menubruk bahunya dengan keras dan melotot ke arah Deon.
"Gue nggak mau kejadian tahun lalu keulang lagi. So, stay away from my cousin!" pekiknya keras, langsung berlalu pergi begitu saja.
Baik Deon ataupun Miko terdiam membeku di tempatnya. Perempuan itu adalah Janita. Dan, sebentar. Apa Janita baru saja mengatakan kepada Deon dan Miko kalau Stella adalah sepupunya?
Ini gawat.
• • • • •
Bell pulang sekolah berbunyi. Setelah mengambil beberapa brosur untuk mendaftar ekstrakurikuler, Stella dan Tiffany berjalan di koridor lantai satu menuju tempat absen dan hendak segera pulang ke rumah karena tugas yang sudah mulai menumpuk bahkan saat sekolah masih belum lama dimulai.
"Gue pengen ikut cheers deh. Tapi nggak mungkin ya?" tanya Tiffany, yang kini berjalan berdampingan dengan Stella.
Stella mengernyitkan alisnya. "Kenapa nggak mungkin? Ikut aja, lo pasti kepilih deh, yakin."
Tiffany menghela napasnya sambil menggeleng pelan. "Kalo gue ikut cheers, lo sama siapa? Kan lo gak mau mencolok, jadi cheers udah jelas bukan pilihan buat lo. Mending yang lain aja deh."
Spontan saja tangan Stella bergerak memukul pelan lengan Tiffany. "Apaan sih lo! Ikut aja, gapapa asli! Kan lo mau itu, ya nggak usah mikirin gue segala lah!"
Menggeleng cepat, Tiffany langsung menyobek brosur pendaftaran ekskul cheers dan melemparnya ke tempat sampah terdekat sebelum Stella kembali memaksanya. Ia kemudian menerima tatapan tajam dari Stella dan tertawa karenanya.
"Yang lain aja," kata Tiffany cengengesan. "Biar bareng."
"Ih lo mah. Jangan terlalu setia begitu apasih."
Baru saja Tiffany hendak membalas ucapan Stella, seseorang menginterupsi dari jarak sepuluh meter jauhnya di belakang.
"Sister!"
Tiffany memejamkan matanya dan menggeram kesal. Ia menoleh dengan tangan yang mengepal dan mengambil ancang-ancang hendak menghantam Geraldo yang dengan santainya berteriak-teriak di koridor. Dasar ketua OSIS kebanyakan mecin.
"Udah gue bilang, gausah sok kenal di sekolah!" tukas Tiffany meninju bahu Geraldo.
Geraldo cepat-cepat menangkisnya dan tersenyum meledek. "Ngapain sok kenal segala, orang lo adek gue. Jadi ya emang dari lo baru lahir juga gue udah kenal."
"Au ah gelap!" balas Tiffany, emosi.
Stella hanya tertawa melihat kelakuan kakak beradik itu. Dia sama Alvian juga sering seperti itu, jadi ia bisa memakluminya.
Kemudian, seolah tak lagi peduli dengan adiknya, Geraldo beralih menatap Stella dan tersenyum cemerlang sekali sampai-sampai ia kepikiran untuk mengenakan kacamata saking silaunya.
"Hai, Stella," sapa Geraldo, telat.
"Iya hai, Kak," balas Stella malu-malu.
"Udah dapet undangannya?"
Alis kanan Stella terangkat, begitu juga dengan Tiffany yang menatapnya penuh dengan tanda tanya.
"Undangan apa, Kak?"
"Bacot lu, Ger," ujar seseorang yang entah datang darimana dan tiba-tiba saja menimbrung percakapan ketiganya.
Stella mendongak sedikit dan melihat Achy tengah berjalan mendekat dari balik tubuh Geraldo dengan tangan penuh kertas bergaya beserta dengan bungkusannya yang Stella yakini sebagai undangan yang Geraldo singgung-singgung barusan.
"Aturan lo aja yang ngasih kalo semua orang lo tanyain," kata Achy.
"Ngapain juga ketua OSIS yang ngerjain acara non OSIS kayak begitu, males amat."
"Undangan apa, Kak?" tanya Stella lagi, memutus perkelahian Achy dan Geraldo sebelum sempat membara.
"Ah, itu." Achy langsung teringat dan beralih, kemudian menyodorkan satu undangan kepada Stella dan satu lagi kepada Tiffany. "Setiap tahun ada party buat raja sama ratu angkatan, buat yang masuk nominasi juga diundang. Ini kayak perayaan setiap tahun gitu, setiap kategori tiap tahun pada dateng ada alumni-alumninya juga. Kalian berdua dateng ya, terlebih lagi lo Stella, ratu tahun ini. Wajib dateng."
Stella mengerjapkan matanya selama beberapa kali, mencoba menerka ucapaan Achy barusan yang seperti baru masuk melalui telinga kanannya dan langsung keluar dari lubang yang di sebelah kiri. Ia kehabisan pikirannya.
"Pesta?" ulang Stella, dibalas anggukkan semangat baik oleh Achy maupun Geraldo. "Pesta kayak.. yang pake dress gitu-gitu?"
Lagi, Achy mengangguk. "Kayak promnight gitu. Dateng ya."
Sebenarnya, itu bukan masalah bagi Stella.
Tapi, ada beberapa bagian dalam ucapan Achy yang membuat Stella kurang nyaman. Yaitu bagian saat mengatakan kalau raja dan ratu pada setiap angkatannya akan datang. Bukankah orang-orang yang berkumpul di sana adalah orang-orang terkenal di masing-masing angkatan? Dan, saat Stella hendak menghindar dari kerumunan, kenapa pula ada acara seperti ini yang membuatnya terjerumus masuk ke dalam kumpulan orang-orang seperti itu? Dan lagi, berarti.... Deon akan datang ke sana kan?
Stella meneguk salivanya keras-keras, memikirkan cara menolak undangan ini dengan halus saat di kepalanya kembali terngiang ucapan Achy yang mengharuskannya datang karena ialah ratu angkatan ini.
Tamat sudah riwayat Stella.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro