Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 | The Sun

"Rasa itu biasa, tapi pandangan pertama yang membuat rasa meragu. Apakah nyata, atau hanya ilusi?"

•  T H E S U N

"Pasti bisa. Tahan diri. Pasti bisa."

Entah sudah untuk yang ke berapa puluh kalinya, gadis yang memiliki tinggi badan kurang lebih seratus enam puluh tiga senti meter itu mengulang ucapannya bagaikan mantra sihir. Dan selagi bergumam sedemikian pelan, ia berjalan dengan kepala yang tertunduk.

Tetapi, gadis bernama Stella Danita itu terpaksa harus menghentikan langkahnya begitu baru saja melewati parkiran, terlebih saat tanpa sengaja ia menubruk seseorang di depannya karena terus menerus berjalan sambil menunduk. Dan saat mendongak, ia lebih dikagetkan lagi karena orang yang ditabraknya menggunakan almamater sekolahan yang sedang ia tuju. Stella meneguk salivanya keras-keras.

"Mata gak dipake," papar perempuan yang Stella tabrak tanpa sengaja, dengan tatapan yang begitu mematikan.

Stella menggerakkan kepalanya dengan kikuk. "Maaf—kak?"

Lalu orang itu tertawa, diikuti dengan Stella yang ikut tertawa pelan.

"Najis, manggil gue kakak segala," ungkapnya, geli sendiri dengan perilaku Stella dan nada bicaranya saat memanggil dirinya dengan embel-embel kakak.

Mencoba meredakan tawanya, Stella menoleh ke kanan dan ke kiri guna memastikan bahwa tidak ada orang-orang atau murid baru lain yang memerhatikan interaksi di antara keduanya.

"Terus manggil apa dong?" pancing Stella, yang sebenarnya lebih ke arah meledek.

"Biasanya lo manggil gue apa?"

"Janita si Wakil Ketua OSIS SMA Kerta Jaya yang kece badai?" ledeknya, bahkan melirik geli ke arah name-tag bertuliskan 'WAKETOS' yang Janita gunakan.

Janita tertawa lagi. "Bisa aja nih dek Stella yang imutnya kayak Jeng Kelin," balasnya.

"Aduh, lucu banget." Stella berujar dengan nada datar. "Ketawa nggak nih?"

Mendengar ledekkan Stella yang tak kunjung ada habisnya membuat tangan Janita bergerak untuk menjambak ujung rambutnya dengan tidak begitu keras. Ia kemudian mendorong tubuh Stella untuk jauh-jauh darinya.

"Masuk sana lu buruan," kata Janita. "Enek banget gue liat dandanan lu."

Karena penekanan di setiap kata yang Janita katakan di akhir barusan, membuat Stella hendak menggunakan helm guna menutupi seluruh wajah dan kepalanya saking malunya. Dandanannya kali ini jelas membuat Stella sangat tidak nyaman. Rambut yang dikuncir dua, seragamnya sewaktu duduk di bangku sekolah menengah pertama, dan kaus kaki warna-warni yang bahkan ia kenakan sampai setengah betis.

Stella menghempaskan napasnya kasar. "Pfftt, takdir anak baru. Bye, Kak Janita!"

Lalu Stella berlari masuk melewati gerbang parkiran sekolah secepat yang ia bisa sebelum Janita mengejarnya karena lagi-lagi memanggilnya Kakak.

Sepertinya, harus ada sedikit penjelasan di sini mengenai bagaimana keduanya saling mengenal dan bisa bertingkah sedekat itu.

Jadi, Janita itu adalah anak satu-satunya dari adik perempuan ayahnya: atau singkatnya, sepupu. Dan jarak usia mereka sebenarnya hanya terpaut beberapa bulan, Janita yang lahir pada bulan Desember akhir tahun, sedangkan Stella lahir pada bulan Agustus tahun berikutnya. Dan karena itu juga lah yang membuat keduanya merasa tidak nyaman bila harus bertingkah terlalu hormat dalam memanggil nama satu dengan yang lainnya.

Begitulah rangkuman ceritanya, namun karena jarak kelas di antara keduanya, membuat mereka harus memulai sekolah pada tahun yang berbeda. Dan tahun ini, adalah tahun pertama bagi Stella menginjak bangku Sekolah Menengah Atas.

Stella memperlambat langkahnya dan terhenti begitu melihat antrian panjang di depannya. Terlebih, saat salah satu cowok dengan rahang keras dan alis tebalnya berjalan menghampiri dirinya.

"Baris sana," suruhnya, berhasil membuat Stella salah tingkah di tempatnya dan berlari kecil mengikuti barisan.

Begitu memasuki barisan, Stella sedikit berjingkat untuk melihat apa yang terjadi di depan sana. Rupanya, para siswa baru yang akan menjalani masa orientasi seperti Stella tengah diarahkan oleh beberapa anggota OSIS untuk menuju barisan masing-masing setelah memberitahukan namanya. Kurang lebih, ada enam barisan dan Stella kini berdiri di barisan keempat. Cara yang lumayan bagus untuk menghindari tindakan ricuh kalau mereka menempelkan nama di mading dan membiarkan siswa baru ini mencari regunya sendiri.

Tanpa menunggu lama, kini Stella sudah berdiri di barisan terdepan.

"Nama dan asal sekolah?" tanya salah satu anggota OSIS yang bertugas di barisan Stella. Rambut hitam panjangnya dikuncir tinggi dan ia mengenakan name tag dengan inisial nama beserta jabatannya.

A — Humas.

"Stella Danita, SMP Pancasila Jakarta."

Ia terlihat mencari nama sekolah asal terlebih dahulu kemudian menemukan nama Stella di sana.

"Regu biru, ikutin kakak yang di sana ya." Ia menunjuk seseorang yang Stella kenali. Cowok yang sebelumnya menitahkannya untuk masuk ke dalam barisan.

"Udah semua?" tanya cowok tadi, yang dibalas anggukkan oleh Humas OSIS ini.

"Yuk, regu biru ikutin gue," paparnya kemudian.

Baru saja beberapa orang yang berbaris hendak menuju regu di lapangan, kegiatan mereka harus terhenti karena terdengar suara ricuh dari beberapa senior mereka di koridor yang berteriak-teriak tak karuan.

"Si dia lagi pasti kan?" tanya cowok itu, entah kepada siapa—dengan nada kurang senang.

Stella mengalihkan perhatiannya. Terlebih lagi, begitu melihat senyum merekah dari Humas OSIS dengan inisial A itu saat seseorang yang Stella yakini sebagai sumber dari kehebohan tersebut tengah mendekat. Stella lantas mengikuti arah pandangnya.


"Jali, serius amat muka lo," ujar seseorang yang baru saja berlalu melewati Stella. Ia mengacak-acak rambut OSIS pemimpin regu biru.

"Nama gue bukan Jali," gerutunya, yang menurut Stella kurang berguna karena ia mengatakannya saat cowok tadi sudah tidak dapat menjangkau gerutuan yang terdengan seperti gumaman itu.

"Kayak pernah liat.. tapi di mana ya," gumam Stella menelaah kembali sosoknya di kepala, bertanya-tanya.

Mencoba biasa saja, Stella segera meminta orang yang barusan dipanggil Jali itu untuk membimbing kelompoknya bersama dengan siswa lainnya. Tapi satu yang Stella tau pasti. Aura orang tersebut terasa begitu mendominasi.

"Eh tapi, ganteng juga."

Entah kenapa kata-kata itu malah meluncur begitu saja dari mulut Stella.

• • • • •

Matahari terasa begitu terik hari ini. Padahal, hanya hari yang sama seperti biasanya.

Mungkin, terlalu lama berlibur membuat efek tersendiri bagi Stella. Ia juga jarang keluar selama liburan dan hanya suka jalan-jalan naik kereta api untuk ke rumah Janita—sepupunya. Jadi, panas pun tidak terlalu terasa di sana.

Stella menyeka keringatnya dengan punggung tangannya dan sedikit memijat pelipisnya. Ia masih berdiri di lapangan, berada di barisan ke tiga dari depan regu biru yang sepertinya akan menjadi teman sekelasnya nanti. Stella bahkan tidak mengerti sama sekali dengan apa yang orang di depan mimbar sana katakan. Ia hanya mendengar saat orang tadi memperkenalkan diri sebagai Ketua OSIS.

"Lama bat ceramahnya!"

Stella tertegun, begitu juga dengan beberapa siswa lainnya yang mendengar ucapan tersebut. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang perempuan dengan rambut yang dipotong pendek—kelewat pendek malahan sehingga bisa disebut bondol, dengan beberapa warna kunciran di rambutnya seperti yang Stella gunakan. Hanya saja, ia cuma menguncir kecil-kecil rambutnya. Setelah diperhatikan lagi, perempuan itu menggunakan nametag bertuliskan Arisa.

"Heh, mulut comel amat," kata perempuan di sebelah Stella, dengan nametag Tiffany yang menempel di seragamnya.

Stella asumsikan bahwa kedua orang itu saling mengenal, kalau melihat dari respon mereka satu sama lain.

"Kalian kenal?" pertanyaan itu meluncur begitu saja.

Tiffany menoleh dan tersenyum. "Iya, dia temen SD gue,"
jawabnya. "Oh, nama gue Tiffany."

Mendapat respon kelewat ramah, membuat Stella sedikit terkejut. Pasalnya, sudah tiga jam ia berbaris dan terlalu takut untuk menegor karena hanya dengan melihat wajah Tiffany, ia mengira-ngira kalau cewek itu jutek, judes, dingin, galak bahkan menggigit atau semacamnya. Jadi, Stella balas tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya.

"Stella," balasnya.

"Kenapa lo masuk sini?" tanya Tiffany, cenderung tiba-tiba.

"Kenapa maksudnya?" ulang Stella, tidak mengerti.

Tiffany menggaruk hidung mancungnya dengan kuku jemari yang dihiasi kutek berwarna peach. "Itu loh.. kan rata-rata masuk sini gara-gara si atlet panahan itu. Siapa sih namanya."

"Atlet panahan?" Alis sebelah kanan Stella sedikit terangkat.

Tiffany mengangguk cepat. "Sejauh ini gue nanya tiga orang, jawabannya sama semua; mereka mau masuk gara-gara dia."

Kini giliran Stella yang menggaruk tengkuknya. "Dia itu siapa maksudnya?"

Yakin kalau Stella tidak mengetahui dengan siapa yang dimaksud, Tiffany sedikit berjingkat untuk melihat jajaran OSIS di depan lapangan dan menoleh tanpa menampikkan gerak-gerik yang dapat membuat orang curiga demi mengetahui suasana di belakang lapangan yang sebelumnya ditempati oleh beberapa anggota OSIS yang bertanggung jawab.

Kemudian, Tiffany mengeluarkan ponselnya setelah yakin dan mengetikkan sesuatu di sana. Lalu, ia menunjukkan foto yang baru saja dicarinya kepada Stella dengan hati-hati.

"Ini loh, dia.. si Radeon anak panahan itu. Dia sekolah di sini."


Mulut Stella langsung berbentuk 'O' besar secara sempurna, dan cepat-cepat ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

"Oohh, dia..." Stella menahan suaranya agar tidak terlalu keras dan terdengar begitu bersemangat.

Merasa Stella sudah paham dengan yang dimaksud, Tiffany segera menarik ponselnya dan meletakkannya kembali ke dalam saku sebelum ponselnya disita.

"Iya dia. Tau kan?"

Stella mengangguk cepat. "Pantesan aja tadi di depan rame banget.. makanya barisan gue agak lama itu gara-gara dia lewat tadi kayaknya."

"Iyalah gila. Siapa yang gak berenti ngeliat dia," balas Tiffany. "Ganteng ya?"

Tentu saja, Stella mengangguk setuju. "Banget."

"Gue aja gatau awalnya kalo dia sekolah di sini. Awalnya sepupu gue kayak excited banget gue masuk sini, dia bilang banyak temennya masuk ke sini, eh ternyata karena dia.. Makanya gue suka nanya alesan kenapa mereka masuk ke sini."

"Sepupu gue juga sekolah di sini. Dia yang nyuruh gue masuk sini juga sih, katanya banyak cowok ganteng." Entah kenapa, Stella menanggapi tak kalah antusias dari Tiffany.

"Ekhem."

Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang berdeham di belakang tubuh Stella dan Tiffany, berhasil membuat keduanya membeku di tempat dengan pandangan lurus-lurus ke depan.

"Ke belakang barisan, sekarang."

Entah kenapa suara perempuan itu terdengar begitu tegas baik di telinga Stella maupun Tiffany, sehingga tanpa repot-repot ber-argumen pun keduanya langsung berbalik dan berjalan ke belakang barisan tanpa suara.

Begitu Stella dan Tiffany berdiri di paling belakang barisan, seseorang yang Stella yakini sebagai tersangka protes berambut bondol yang berdiri di depannya terkekeh pelan. Nampak senang kala mengetahui Tiffany ikut dihukum dengan penjagaan ketat sepertinya.

Sedikit menengok ke belakang untuk memastikan, Tiffany lalu mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Stella. "Yang narik kita, namanya Achy, Humas OSIS. Dia galak pas lagi tugas doang, katanya aslinya baik banget. Terus juga gue denger dia deket sama Radeon."

"Denger dari mana?"

Mendapat pertanyaan yang tak terduga-duga, Tiffany mendesis pelan. "Bukan itu intinya. Maksud gue, bisa aja dia denger kita lagi ngomongin si Radeon itu."

"Makanya kita dihukum ke belakang?" tanya Stella, dan Tiffany mengangguk.

"Kayaknya bukan," kata Stella. "Kita ditarik ya.. karena ngobrol."

"Udah dipindahin ke belakang masih aja ngobrol melulu." Sebuah suara kembali menginterupsi percakapan keduanya. Itu Achy, perempuan yang dimaksud oleh Tiffany barusan.

Tiffany hanya menunduk, sementara Stella tengah bersusah payah menahan gelak tawanya.

Lalu, suasana kembali hening. Hanya suara Ketua OSIS yang sedang berdiri di atas mimbar yang terdengar di telinga Stella. Sampai, sebuah suara yang tidak asing terdengar di telinganya.

"Chy, si Deon nggak mau tampil, anjir. Katanya males," ucap suara yang Stella yakini sebagai milik Janita, sepupunya.

Kemudian suara Achy menjawab, "Iya tadi si Citra juga bilang sama gue makanya gue suruh koordinator ekskul manggil dia ke sini. Lo tenang aja, dia tuh emang harus diancem dulu baru mau."

Janita tertawa. "Emang lo paling ahli ya, pengendali Radeon Kus—" Entah apa yang terjadi, telinga Stella tak lagi mendengar ucapan Janita, sampai sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Ngapain lu baris di belakang?"

Itu Janita.

Stella menahan napasnya begitu mendapat sapaan yang tak terduga dari Janita. Seharusnya jangan sekarang, dan bukan di sini tempatnya. Janita itu wakil ketua OSIS, tapi yang Stella herankan: kenapa sih dia nggak pernah bisa membaca situasi dengan benar?

Baru saja Stella menoleh dan hendak menjawab, iris matanya menangkap secercah silau matahari tepat sebelum bertemu dengan manik yang menutupi cahayanya. Menatapnya dengan dalam, hingga Stella merasakan bahwa dirinya tengah tenggelam di lautan tak berdasar.

Perasaan aneh apa ini?

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro