5. Babu Ravi
Arin, si babu Ravi. Karena sebuah kecerobohan yang dia lakukan, membuat dia terjebak dengan seorang anak laki laki dingin sedingin kulkas 1000 pintu.
Aku membawa barang barang keperluan bulu tangkis Ravi.
Langkah kecilku mengikuti kemanapun anak laki laki itu pergi.
Dengan banyak barang bawaan aku terus saja mengikuti langkah Ravi yang aku rasa kok begitu lama.
Setahuku, gedung bulu tangkis sangat dekat dengan dari taman.
Aku sempat berfikir bahwa Ravi mengerjai ku. Ya, benar saja. Cowok itu bukannya mengambil jalan pintas tapi malah mengambil lajur memutari sekolah.
Gak kebayang berapa jauh nya mengelilingi sekolah.
SMA Cendikia, sekolah unggulan di kota ku. Kami menerapkan sistem internasional. Dengan direktur sebagai pemimpin nya. Di bawah naungan 3 yayasan internasional yaitu, yayasan Hani, yayasan Alexandria, dan yayasan Bakti.
Memiliki 3 gedung utama, gedung sekolah, gedung olah raga, dan gedung perpustakaan lengkap.
Tapi jangan khawatir dengan biaya sekolah disini. Rata-rata kami semua yang masuk disini mendapat beasiswa full tanpa terkecuali uang makan, seragam dan buku. Fasilitas di sekolah ini sangat lah lengkap. Jadi kita gak perlu repot lagi jika ada kekurangan.
Kami masuk kedalam gedung bulu tangkis yang masih kosong. Ntah, para siswa tidak ada yang berlatih atau sudah pada pulang.
Karena merasa kelelahan aku menjatuhkan tubuhku di kursi tunggu disana. Menaruh barang barang yang ku bawa kesampingku dan menghela nafas berat.
"Ini"
Ravi menaruh sebuah botol air mineral disamping ku, aku terheran heran. Tumben dia baik denganku! Tapi saat itu sesudah memberikan air mineral, Ravi langsung melakukan pemanasan di pinggir lapangan.
"Terima kasih"
Air mineral yang Ravi berikan langsung ku minum sampai sisa setengah botol. Melihat punggung Ravi yang kekar membuatku tersenyum tipis. Membayangkan bahwa cowok itu adalah orang yang ku cinta.
Aku membayangkan betapa bahagianya saat menemani seorang mas pacar berolah raga.
Tersenyum sendiri, sampai sampai dikira orang gila. Mungkin itu yang di pikirkan Ravi yang melihatku sedari tadi tersenyum membayangkan sosok mas pacar.
Masih dalam haluan ku, aku merasa ada yang memanggil nama ku berulang kali. Tapi aku masih saja ngehalu sampai sampai sebuah kok mendarat tepat di kepalaku, yang membuat ku sadar dari haluan yang sangat menyenangkan.
Melihat kesana kemari mencari siapa yang melemparkan kok itu. Setelah sekian detik. Mataku tertuju ke sebuah titik. Ya, aku melihat Ravi dengan tatapan tajamnya sedang melihatku dari tengah lapangan.
Sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang sulit Ku mengerti. Berulang kali aku menatapnya dan kearah sampingku untuk memastikan apa yang dia maksud.
Karena tidak mengerti, Ravi berjalan menghampiriku dan memberikan sebuah raket kepadaku.
"Bisa main badminton?" Ujarnya
Cowok itu bertanya kepadaku, tapi aku masih tidak mengerti. Pikiranku masih dalam haluan ku.
"I-iya"
Aku hanya bisa menjawab iya saat itu.
Pikiranku saat itu sangat kacau. Ntar apa yang sedang terjadi. Akhir akhir ini setiap orang mengajakku berbicara aku seperti orang linglung.
"Kita mulai ya"
Ravi sudah mengambil ancang ancang untuk menyerang ku dari tempatnya berada. Aku yang masih bingung dengan raket yang ku pegang, berteriak saat bola kok itu menerjang ku.
Aaaaa!!!
Teriakku sangat keras. Sampai sampai membuat Ravi berlari menghampiriku.
"Ada apa?"
Aku terduduk ketakutan sambil menutup kedua mataku dengan telapak tanganku.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
Nada suara Ravi seketika panik. Tak pernah ku dengar suaranya yang begitu lembut.
Cowok itu mencoba menenangkan ku. Di bopong nya aku ke kursi tunggu, memastikan aku tidak apa apa?
"Ada apa? Aku hanya menyuruhmu menjadi lawan main mu! Aku gak akan melukaimu?"
Suara Ravi terdengar sangat khawatir. Aku membuka kedua mataku dan menatap mata Ravi yang kebingungan.
Ravi mengelus pundak ku agar aku menjadi sedikit tenang.
"Kau sakit atau apa?"
Ujarnya kembali, dia merapikan rambutku yang menutupi wajahku.
Tatapan khawatir itu membuatku tenang dan kembali sadar seutuhnya.
"Aku tidak papa,"
Karena malu, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan gedung bulu tangkis itu sendirian.
Ravi tak sempat mengejar ku. Dia harus berlatih untuk pertandingannya yang akan dilaksanakan 2 pekan lagi.
Tapi, gedung bulu tangkis itu kosong gak ada orang satupun. Mungkin karena ini hari minggu kali ya, jadi gak ada yang datang kesekolah. Tapi jika untuk pertandingan, kenapa tidak ada yang bersiap diri? Pikirku kala itu.
***
Aku berjalan di trotoar menendangi batu batu kecil di jalan. Sambil mengila mengingat kejadian memalukan tadi.
"Butuh tumpangan?"
Terdengar suara tak asing dari telingaku. Tapi, aku menghiraukannya dan melanjutkan jalanku yang seperti orang mabuk.
Ada suara motor yang berjalan pelan di belakangku. Aku mendengarnya, tapi tak menghiraukannya.
Lama lama kok jadi merinding di jalan yang sepi. Mengingat banyak kejahatan di jalan raya.
Aku mempercepat langkah dan bergegas mencari ponselku untuk menghubungi orang lain bahwa aku merasa ada orang yang mengikuti ku dari belakang.
Tapi itu semua terlambat, ponselku sudah dirampas oleh pemotor yang sedari tadi membututi ku.
"Sudah gila apa!"
Teriak seorang pemuda yang ada di sampingku dengan sepeda motor miliknya.
Pemuda itu mematikan panggilan ponselku dan menarik tanganku yang hampir kabur dibuatnya.
"Nelpon polisi! Emang aku penjahat apa!"
Aku hanya bisa menunduk ketakutan, mencoba melepas genggaman tangan pemuda itu.
"Ini Cakra, bukan penculik"
Seketika aku tersadar, setelah pemuda itu memberitahu namanya.
"Ngapain sore sore gini ke sekolah?"
Cowok itu mendekatkan wajahnya ke wajahku, berusaha menatap mataku.
Merapikan rambutku yang menutupi wajahku aku melihat Cakra dengan tatapan cengengesannya.
"Kau membuatku takut saja, kukira kau mau menculik ku"
Aku memukul dada bidang Cakra yang ada di depanku, mata ku berkaca kaca mengingat kalau ada orang jahat yang mau melukaiku.
Dengan tatapan polos dan senyum lebarnya Cakra saat melihat gadis ini ketakutan.
"Kenapa sore sore gini ke sekolah? Gak puas 6 hari di sekolah?" Ujarnya lagi.
Aku yang gak mau memiliki hari sial lagi karena harus berhadapan dengan Cakra, bergegas pergi dari hadapannya.
Baru mengambil 3 sampai 4 langkah. Ravi datang dengan sepeda motornya menghampiriku. Cowok itu menyodorkan Helm yang dia bawa dan menyuruhku untuk naik ke motornya.
Disitu terlihat tatapan Ravi tertuju ke pada Cakra yang mencoba menghalangiku untuk naik ke motor milik Ravi.
Aku melihat, dua pasang mata yang saling bertatapan dengan penuh kebencian. Cakra menatap Ravi dengan wajah nyolotnya begitu juga dengan Ravi. Dia menatap Cakra dengan tatapan dingin.
Tak pernah aku melihat kedua orang ini bercengkrama selama aku bersekolah. Tidak seperti dengan yang lain. Cakra tidak pernah berbicara satu katapun kepada Ravi. Aneh, tapi itulah yang terjadi.
Menghadapi hal itu aku memutuskan untuk tidak berurusan dengan mereka berdua. Hanya dengan tatapan mereka menyerang satu sama lain dalam diamnya.
Beruntung saat itu ada tukang ojek yang lewat. Jadi aku memanggil nya dan meninggalkan kedua cowok itu di sana.
Mengingat ekspresi mereka berdua aku teringat Edward Cullen dan Jacob Black di film the Twilight saga. Sangat sangat menakutkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro