42. Don't go away
Aku kira takdir sedang bercanda denganku, aku meratapi langit yang begitu cerah yang seakan gelap saat aku memandangnya. Tangisan terdengar dari dalam rumah. Aku menatap orang orang yang berdatangan di rumahku dan menyalamiku berkata turut berduka cita.
Aku memandang mereka seakan tak percaya lagi takdir. Waktuku telah terhenti. Tak ada lagi alasanku untuk menunggu kedatangan pulang sosok Ayah yang lama tak berjumpa.
Duduk termenung memeluk foto Ayah di dalam dekapanku. Aku sangat ingin memeluk Ayahku, aku mau dia kembali.
Ayah sudah janji dia akan kembali. Dia akan merayakan ulang tahunku yang sebentar lagi. Ayah sudah membelikan hadiah untukku putrinya. Tapi mengapa Ayah bercanda denganku dengan mengatakan kepada rekannya kalau Ayah akan pergi! Aku mau Ayahku kembali, ku mohon! Aku ingin Ayahku kembali.
Ayah sudah berjanji akan pulang, tapi Ayah tidak berjanji akan pulang dengan tubuh yang bernyawa.
Hatiku sangat sakit melihat paman dan bibiku serta sepupuku datang memelukku erat. Bibiku menangis dalam pelukanku. Aku hanya terdiam tak berdaya, tanpa mengeluarkan sedikit pun air mata.
"Kak Alaska? Kau kemari? Bilangnya ada pekerjaan hari ini?" Ucapku saat melihat kakak sepupuku berdiri di belakang ibunya. Menatapku penuh kesedihan.
Bibi menatapku dia berusaha menghiburku yang hanya duduk sendirian bersama foto Ayah di sampingku.
"Sayang! Yang kuat ya, Ayahmu sudah menjalankan tugasnya dengan baik untuk negara," tutur Bibi sedih.
Ucapan bibi tak ku hiraukan aku hanya menatap kosong mengikuti arah orang yang lalu lalang untuk melayat.
Terlihat sebagian guru di sekolahku datang memberi semangat ke rekan kerja mereka Pak Anjas dan anak muridnya Amer yang sedang menyambut kedatangan para pelayat yang hadir.
Tubuh kedua laki laki itu harus kuat, mereka berusaha menahan kesedihan yang melanda mereka karena harus menggantikan posisi ayah untuk Bunda dan saudari perempuan mereka. Sesekali tubuh Amer terhanyut mendekat ke Bubu yang ada di sampingnya. Menahan air matanya dia menenggelamkan wajahnya di bahu kakak tertuanya itu. Dengan tatapan yang amat kosong aku hanya bisa tersenyum pahit melihat foto Ayah yang berada di antara mereka berdua.
Paman dan Bibi mengajakku masuk kedalam rumah, tapi aku tidak mau.
"Aku tidak mau masuk, Arin gak mau membuat Bunda dan Bunga sedih. Aku dengar mereka menangis didalam, Arin gak mau nangis! Arin mau nunggu Ayah datang ke rumah. Arin ingin bilang ke Ayah, selamat datang. Arin sayang Ayah, Ayah jangan pergi!" Ucapan ku membuat air mata Bibi mengalir deras.
Paman menyuruh Bibi untuk masuk kedalam dan membiarkan Arin disini bersama Alaska.
Kak Alaska duduk di sampingku dia tersenyum manis. Tak pernah ku lihat senyum manisnya itu dia tunjukan kepadaku.
Cowok itu menarik ku dalam dekapannya yang hangat.
"Arin! Menangis lah, jangan di tahan!" Air mata Alaska menetes tanpa henti.
Aku tersenyum pahit mendengar suara bibiku kembali dari dalam rumah menyuruhku untuk berganti pakaian. Saat itu aku masih mengenakan seragam sekolah karena ingin berangkat sekolah.
Ditemani Alaska aku masuk kedalam rumah, Bunga terlihat sangat terluka. Dia terus saja menangis meraung raung hingga harus ditenangkan oleh Bubu. di dalam dekapan Bubu Bunga sedikit tenang dia tak menangis histeris lagi.
"Tenanglah sayang! Aku masih ada untukmu!" Bisik Bubu kepada Bunga.
***
Hari ini Cakra bersiap untuk pulang, karena dia tidak mau di operasi jadi dia memaksa untuk pulang kerumah tidak mau dirawat di Rumah Sakit.
Terlihat dari ambang pintu, Clara berjalan menghampiri Cakra dengan air mata di pipinya.
Cakra heran kenapa gadis ceria itu menangis? Apa ada yang melukai nya hingga dia menangis.
"Clara? Ada apa?" Tanya Cakra sembari menghapus air mata sahabatnya itu.
Clara mendongakkan kepalanya menatap Cakra sendu.
"Arin," ucap Clara yang membuat Cakra bertanya tanya.
"Ada apa? Kenapa dengan Arin?" Paksa Cowok itu.
Cakra menatap kearah ponsel nya yang terus bergetar, semenjak tadi malam Cakra tidak menyentuh ponselnya karena tau semua orang akan mencari nya.
Cakra dengan cepat mengambil ponselnya dan membaca pesan yang terdapat pada layar ponselnya.
Raut wajahnya langsung berubah pucat. Dia membaca dengan antusias, dengan cepat Cakra melepas selang infus yang ada di tangannya dengan kasar. Cowok itu berlari menuju pintu dengan kaki yang masih terasa amat sakit. Pak Baek yang menemani Cakra, menghentikan langkah Cakra yang berusaha kabur dari rumah sakit.
"Cakra! Kau mau kemana?" Tanya Pak Baek yang menghalangi jalan Cakra.
Cakra meneteskan air matanya, "Pak, tolong antar aku kerumah Arin sekarang juga! Ku mohon!" Mohon Cakra.
Pak Baek yang tak mengerti dengan perkataan Cakra menolak untuk mengantarnya sebelum adminitrasi rumah sakit selesai.
"Pak Baek! Ku mohon antarkan aku! Ku mohon! Akan ku suruh paman Daniel untuk menguruskan adminitrasi ku. Ku mohon pak, ku mohon!" Pinta Cakra berkali kali kepada Pak Baek yang terus menerus menghalanginya.
Setelah berfikir panjang, Pak Baek menyetujuinya dan membawa Cakra pergi kerumah Arin.
Sesampainya di depan rumah Arin. Sudah terdapat puluhan karangan bunga dari para pejabat yang bertulis turut berduka cita. Cakra dengan cepat berlari, masuk kedalam rumah.
Cowok itu melihat kedua saudari laki lakinya yang berada di depan menyambut para pelayat. Dengan tatapan tak menyangka, Cakra berjalan perlahan menghampiri mereka berdua. Kedua saudaraku hanya tersenyum kepadanya. Bubu memegang pundak Cakra dan menyuruhnya untuk masuk.
Dalam pikiran Cakra dia hanya harus menemui Arin, karena dia tau pasti Arin lah yang paling terpukul atas kepergian Ayahnya.
Cakra berlari menghampiri Arin yang tengah duduk berdiam memeluk foto Ayahnya.
Cowok itu menghela nafas berat melihat cewek yang sangat dia cintai berada dalam kondisi terpuruknya.
"Arin?" Panggil Cakra parau dan langsung menarik ku dalam pelukannya.
Tangisanku pecah seketika saat Cakra memelukku dengan erat. Aku menangis histeris, aku menyadari bahwa duniaku sudah hancur, isak ku menggila di dalam pelukan Cakra.
Hatiku begitu hancur, aku ingin ikut bersama Ayah.
Clara yang menyaksikan ku bersama pelayat lainnya yang melihatku iba. Clara tak bisa berkata kata saat melihat betapa Cakra mencintai Arin begitu dalam.
Clara berfikir dia sudah begitu jahat kepada Arin dan Cakra. Karena ingin mengambil Cakra dari pelukannya.
***
Waktu berlalu cukup cepat, seluruh sahabatku datang dan menemaniku. Mereka terus berada di sampingku dan juga Amer.
"Kalian baru pulang sekolah? Makan dulu gih, di dapur banyak makanan!" Seruku menyuruh teman temanku yang baru saja pulang dari sekolah untuk makan.
Mereka semua menatapku heran tak menyangka bahwa aku bisa menyuruhnya makan sedangkan kondisi Arin sekarang sedang rapuh.
Terdengar suara sirene ambulan di depan rumah. Membuat Bunga langsung lari keluar menghampiri ambulan itu, sebuah peti mati di selimuti dengan bendera merah putih di gotong ke dalam rumah.
Cakra terus memelukku dalam tubuhnya. Dia tak mengizinkanku untuk melepaskannya.
Saat peti itu di buka, Bunga menangis histeris melihat ayahnya sudah terbujur kaku di dalam sama.
Paman menyuruhku untuk melihat Ayahku untuk terakhir kalinya dan mencium Ayah agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Aku memberanikan diri untuk melihat Ayahku yang sudah tak bernyawa, dengan di temani Cakra. Aku melihat Ayahku tidur dengan tenang, di wajahnya tersirat sebuah senyuman yang menandakan dia bahagia.
Seorang rekan Ayahku yang ikut menemani, memberiku sebuah kotak perhiasan yang berisi sebuah kalung bertulis nama ku. Aku menangis melihat nya, hadiah ulang tahunku di berikan saat sebelum hari nya. Aku tak kuasa menahan tangis, paman yang melihat itu pun menyuruh Cakra membawaku keluar bersama dengan sahabatku yang lain kami semua keluar sementara Bubu masih berusaha menenangkan Bunga yang masih histeris.
Cakra menyenderkan kepalaku ke pundaknya, dia menggenggam tanganku erat dan terus menyemangati ku.
Air mataku terus mengalir tanpa henti dan terjatuh di tangan Cakra yang menggenggam ku erat.
Bubu datang menghampiriku, dia berlutut di hadapanku sambil tersenyum pahit, "Arin! Ayah akan di makamkan hari ini juga, kau bersiap siap ya. Maaf, Bubu tidak bisa menemani mu disini. Bubu harus mengurus semuanya ditemani paman." Ucap Bubu memberitahuku bahwa Ayah akan di makamkan hari ini.
Mata sembab Bubu beralih menatap Cakra di sampingku, "Cakra, aku titip Arin ke kamu! Kamu temani dia, aku harus mengurus keperluan untuk pemakaman," suruh Bubu kepada Cakra.
"Aku kan temani dia kok Bubu, jangan khawatir!"
Bubu beranjak pergi meninggalkan kami. Terlihat peti mati berselimut bendera merah putih keluar dari dalam rumahku untuk menuju kedalam ambulan.
Aku bersama dengan seluruh pelayat pergi menuju ke masjid dekat rumah untuk di sholatkan dan kemudian memakamkannya di pemakaman umum yang tak jauh dari rumah.
Setibanya di pemakaman umum, Cakra diminta untuk menggotong peti itu berama dengan Amer, Bubu, Alaska dan paman.
Cakra meminta Fiona, Zee dan Zoya menjagaku selama dia bertugas mengantarkan jenazah Ayah di peristirahatan terakhirnya.
Suara tembakan mengiringi jenazah Ayah masuk kedalam liang lahat. Aku meneteskan air mataku melihat tubuh ayahku di masukan kedalam lubang tanah.
***
Pemakaman telah usai, seluruh pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Hanya tersisa kami sekeluarga dan teman temanku. Cakra berlutut di samping makam Ayah, dia menundukkan kepalanya sambil meneteskan Air matanya.
"Ayah, Cakra akan jaga Arin. Ayah jangan khawatir, akan Cakra pastikan putri Ayah akan bahagia. Dan Ayah, Cakra ucapkan terima kasih, sudah merestui hubungan ku dengan Arin. Ayah yang tenang ya disana!" Ucap Cakra membuat ku sangat tersekat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro