Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Killing me

Sudah dua hari Cakra tak masuk sekolah. Kelas rasanya sangat sepi tanpa kehadiran cowok random itu yang penuh gaya.

Aku teringat satu kejadian di kelas 1 yang sampai saat ini masih ku ingat dengan jelas.

Waktu itu, Cakra mendapat hukuman dari guru seni budaya kami karena Cakra dkk ribut tak ketulungan.

Karena merasa anak anak itu tidak bisa dibilangin, guru saat itu memberi mereka hukuman menjadi seorang model yang jalan di catwalk.

Seisi kelas tertawa kegirangan melihat satu persatu temannya yang di hukum berlenggak lenggok dengan gaya yang aduhai.

Sampai dengan giliran Cakra menunjukan pose nya agar bisa kembali duduk di kursinya.

Aku ingat betul Cakra saat itu nunjukin 3 pose yang mengundang gelak tawa teman temannya. Cowok itu berlagak seperti seorang model profesional. Bahkan aku yang mengambil gambarnya tertawa terbahak bahak hingga Cakra memarahiku.

"Ya, tukang foto! Jangan tertawa! Foto aku dengan baik, kalau hasilnya jelek pulangan ku tunggu kau di depan gerbang!"

Kata kata yang dia lontarkan kepadaku saat itu membuat Cakra mendapat tambahan hukuman dari guru kami.

Bilang guru seni budaya waktu itu, "Cakra! Ibu tambahin hukuman mu! Jangan jadi sok jagoan, baru kelas 1 juga sudah berlagak!" 

Mengenang saat itu hanya membuat ku tertawa terbahak bahak. Melihat kelakuan Cakra dari awal sampai sekarang tak berubah sama sekali.

***

Pulang sekolah kali ini aku berfikir untuk mengunjungi rumah Cakra, seraya mencari tahu dimana Cakra berada. Apa dia baik baik saja atau tidak.

"Rin," panggi Gaon di sudut ruangan kantin sambil membawa dua kaleng cola.

Cowok itu menghampiriku dan menyodorkan cola kearah ku, "nih ambil" ucap Gaon setelah meneguk cola miliknya.

Aku mengambil cola itu, "Terima kasih" aku membuka cola itu dan meminumnya.

"Lo pasti sedih kan gak ada Cakra!" Ujarnya yang membuatku tersedak.

Uhuk!!!

"Lo gak papa?" Tanya Gaon sambil menepuk punggungku pelan.

Aku menatapnya tajam dan melangkah mundur,"aku gak papa!" Jawabku sambil menjaga jarak.

"Lo jaga jarak banget? Gak nya leh gue suka sama lo terus ngerusak hubungan lo sama sahabatku sendiri. Gue gak akan nusuk dari belakang!" Serunya yang menyadari aku menjaga jarak dengannya.

Aku terdiam terpaku bingung harus bagaimana, bahkan aku gak berani menatap kedua mata Gaon yang menatapku sinis.

Terlihat dari cermin besar di belakang Gaon, Ravi baru saja memasuki kantin.

Aaaa!!!

Teriakku agar ternotis oleh Ravi.
Ternyata harapanku ternotis oleh Ravi beneran terjadi. Tapi bukan cuma Ravi, semua orang yang ada di sekitarku menatapku dengan bingung.

Wajah Gaon seketika panik, dia tak menyangka aku berteriak dengan sangat kencang. Gaon melihat sekelilingnya dan bilang aku tidak melakukan apapun.

Komuk muka yang begitu panik terlihat jelas di wajahnya, jelas jelas dia tidak melakukan hal yang diluar dugaan. Terlebih lagi terdapat banyak anak jurnalis yang siap memberitakan berita tak mengenakan tentang Gaon dan Arin. Dia menatapku tajam, terlihat sangat marah.

Sepulang sekolah aku berniat untuk mendatangi rumah Cakra. Dengan menggunakan motor metik ku, aku pergi meluncur ke rumah Cakra.

Sesampainya di blok rumah Cakra, terlihat bu Kartika berdiri di hadapan rumah Cakra sembari mengucapkan salam terus menerus.

Aku sempat berfikir, mungkin bu Kartika menjadi perwakilan guru yang mendatangi rumah Cakra untuk menanyakan alasan tak masuk sekolah.

Tapi kalau di pikir lagi, bukannya bu Kartika bukan guru BK, wakakesiswaan ataupun wali kelas kami. Bahkan bu Kartika tidak pernah mengajar kelas kami dari awal kami masuk sekolah sampai sekarang.

Setelah menunggu lama, bu Kartika beranjak pergi dari rumah Cakra tanpa ada yang membuka rumah nya. Di situ aku mengurungkan niat untuk mendatangi rumah Cakra.

Jika aku nekat kesana mungkin aku akan mendapatkan hal yang sama seperti bu Kartika tadi.

Dengan perasaan sedih, aku mampir di sebuah taman yang ada di komplek rumahku. Aku duduk di kursi taman dan merenung.

"Arin!" Sapa Ravi dengan skateboard nya.

Cowok itu tersenyum dan duduk disampingku, menatapku dengan lekat.

"Apaan sih!" Seruku yang melihat Ravi terus menerus menatapku.

"Gak papa, tumben ke taman?" Tanya cowok segar.

"Cuma main aja!"

"Tapi kenapa kamu nanya gitu?" Lanjut ku

"Gak papa, heran aja lihat kamu disini!"

Aku menatap Ravi bingung.

"Ya! Kenapa bingung? Rumah ku kan di komplek ini. Jadi ya gak masalah aku mau ke taman kah enggak kah, omong omong kenapa lo ada disini?"

"Loh, berarti kita tetanggaan dong!" Seru Ravi heran.

"Tetangga? Rumah lo disini juga?"

"Iya, rumahku di dekat rumah Faras dan Ahmed, kamu tau kan rumah Ahmed?"

"Iya aku tau! Tapi bagai mana bisa!"

"Ntah lah, namanya takdir tuhan. Kita yang satu komplek aja gak tau rumah teman sahabat kita sendiri," sindir Ravi.

"Emangnya lo tau rumah gue?"

"Tau, gue tau rumah lo, tau kalau Amer kembaran lo, tau kalau pak Anjas kakak lo. Gue tau semuanya!"

"Tau dari mana lo?"

"Tau dari mbah google!"

"Ya kan kita tetanggaan masa aku gak tau sih,"

"Ya kirain bener dari mbah google."

"Ya enggak lah, omong omong gue besok kerumah lo ya,"

"Mau ngapain?" Tanyaku tegas

"Mau ngelamar!"

"Ya mau silahturahmi lah sama bunda, pak Anjas, kak Bunga, lo dan Amer!"

"Ooh kirain mau ngelamar!" Tanta ku lesu.

"Kalau boleh sekalian ngelamar juga gak papa!" Canda Ravi yang membuat jantungku berdegup dengan cepat.

***

Cakra masih terbaring di tempat tidurnya dengan selang infus yang berada di samping tempat tidurnya.

Sejak malam badai itu, Cakra belum sadarkan diri dari tidurnya. Mawar hanya bisa terdiam lesu di samping adiknya yang masih belum sadarkan karena kehabisan banyak darah.

"Cakra! Bangunlah," lirih Mawar yang begitu terluka melihat adiknya terbaring di tempat tidur.

Terlihat dari balik pintu seorang masuk kedalam kamar Cakra dengan wajah yang di tekuk.

"Papa mau berangkat kerja dulu!" Ucap papa kepada Mawar.

"Hh, ngapain izin. Biasanya langsung pergi gitu aja!" Cibir Mawar dengan senyum miringnya

Papa yang tersulut emosi langsung mendorong pundak Mawar kasar.

Prak!!!

Suara tamparan keras yang dilayangkan oleh papanya.

"Jadi anak jangan kurang ajar ya sama orang tua!" Teriak papa kepada Mawar yang memegang pipinya.

"Emang Mawar harus gimana!? Papa memang selalu pergi tanpa pamit kan!!!" Balas teriak Mawar dengan mata berkaca kaca.

"Kamu sudah berani meninggikan suaramu!!!" Ucap papa mendorong Mawar hingga terjatuh di lantai.

"ANAK JAMAN SEKARANG SUDAH BERANI BERTERIAK DI HADAPAN ORANG TUA! MAU JADI APA KAMU NANTI! LIHAT TU ADIK MU, KENA BATUNYA KAN SEKARANG,"

Mawar menangis karena perlakuan papanya yang sangat kasar. Dia menyadari bahwa dia tak seharusnya berteriak kepada papanya tapi dia tak bisa membendung emosinya lagi.

"Anak gak tau diuntungkan! Sukanya balapan! Sekarang kena batunya kan. LEBIH BAIK MATI SAJA DI  DIJALANAN. JANGAN BUAT REPOT ORANG TUA!" Ucapan Papa membuat Mawar terluka. Padahal dengan jelas Papa adalah orang yang membuat adiknya tak sadarkan diri seperti ini.

"Jika tak menginginkan kami hidup, kenapa tidak bunuh kami berdua!" Gumam Mawar yang terdengar di telinga papanya.

Papa menatap Mawar sinis "kau mau ku bunuh!" Seru papa membuat jantung Mawar berdegup berantakan.

Gadis itu tak menyangka papanya akan mengatakan hal yang itu kepadanya.

Mawar menangis tersedu sedu di pojokan, melihat papanya keluar dari kamar Cakra dan membanting pintu dengan sangat kasar. Membuat hati gadis itu hancur.

Banyak orang bilang kalau cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi bagi Mawar cinta pertamanya bukanlah ayahnya. Tapi jika di tanya tentang orang yang membuat hatinya sakit dia pasti akan berteriak Papa! Papa adalah orang pertama yang membuat hatinya hancur berkeping keping.

"Aku benci papa!" Lirih Mawar dengan tatapan penuh amarah berjalan menghampiri Cakra.

Selang beberapa menit, terasa tangan Cakra yang di genggam oleh Mawar bergerak pelan.

Dengan rasa gembira Mawar menghapus air matanya yang sedari tadi mengalir deras di pipinya. Menggenggam tangan adiknya dengan erat berharap agar adiknya sadarkan diri.

Perlahan kedua mata anak laki laki itu terbuka. Membuat Mawar menjadi sangat lega.

"Cakra! Kamu lihat gue?" Tanya Mawar yang menatap Cakra antusias.

Luka di kepala bagian belakang menyebabkan Cakra sedikit kesakitan saat cowok itu tersadar.

"Bentar, kakak panggil dr. Sam dulu!" Mawar yang senang mencoba memanggil dr. Sam tetapi Cakra menahannya.

Tangan Cakra menggenggam erat tangan kakaknya yang mencoba meninggalkannya.

"Nanti saja!" Dua kata keluar dari Cakra pelan.

Mawar menuruti apa yang adiknya mau. Dia duduk di damping ranjang adiknya. Sambil memeluk nya dengan sangat erat.

Wajah gadis itu tenggelam dalam pelukan Cakra, air mata mengalir begitu saja dari wajah Mawar yang gembira akan sadarnya Cakra.

"Ku pikir kau akan meninggalkan ku!!!" Lirih Mawar sedih.

Cakra mengelus pelan rambut kakaknya, "aku gak akan meninggalkan mu! Maaf sudah membuatmu takut!" Air mata Cakra jatuh. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi kakaknya.

"Maafkan aku!" Ucapnya berkali kali.

Mawar menatap adiknya lekat lekat sambil melihatkan senyuman manisnya. Dia menghapus air mata yang masih mengalir di mata adiknya dengan pelan.

"Kenapa minta maaf, kamu sudah cukup melindungi ku, tapi aku yang tak bisa melindungi mu!" Seru Mawar mencoba menghibur adiknya.

"Kau mau makan? Minum?" Tanya Mawar yang sangat gembira.

Cakra hanya menggeleng menolak tawaran Mawar, "aku gak mau makan atau minum!" Kata Cakra.

"Kenapa?"

Cakra hanya terdiam menatap wajah kakaknya yang memerah.

"Ini kenapa?" Tanya Cakra penasaran sambil menyentuh pipi kakaknya yang memerah.

Karena tak mau adiknya tau kalau ini bekas di tampar oleh papanya, Mawar cepat cepat menutupi nya dengan rambut.

"Gak papa kok, tadi aku pakai blush on ketebalan!" Elaknya agar adiknya gak khawatir.

"Kakak mau tanya sesuatu ke kamu?"

"Kenapa kamu gak ngelawan malam itu? Kenapa kamu membiarkan tubuhmu di injak injak sama papa?" Tanya Mawar penasaran.

Cakra hanya tersenyum manis sambil mengelus rambut kakaknya.

"Aku tidak bisa," jawab Cakra pelan.

"Kenapa tidak bisa? Kamu kan pemegang sabuk hitam taekwondo. Kan seharusnya bisa melawan?"

"Memang benar aku bisa melawan," Cakra terdiam sejenak.

"Tapi, aku gak mungkin menggunakan kekuatanku untuk menyakiti papa, aku gak mungkin melukai papa,"

"Hanya karena papa mabuk, aku boleh memukulnya gitu? Gak kak, prinsip ku. Aku tidak boleh melawan orang yang lemah," lanjut Cakra yang membuat hati Mawar bergetar terharu mendengar jawaban adiknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro