Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Attention

Kring!!!

"Akhirnya!" Ucap lega Gaon yang begitu stres memikirkan materi yang sedari tadi tidak masuk ke otak.

"Zee, kemana Arin? Kok sampai sekarang belum kembali?" Tanya Gaon yang melihat Zee berjalan keluar kelas.

"Gue gak tau," Zee berjalan dengan terburu buru dengan wajah khawatir.

"Ada apakah ini? Third cewek lo kenapa? Sepertinya ada yang gak beres!"

"Ikuti mereka yuk," ajak Zayn yang sangat bosan di kelas.

***

Zee, Zoya dan Fiona pergi berkeliling sekolah untuk mencari keberadaan sahabatnya. Dengan dibantu oleh teman sekelas cowoknya. Mereka berpencar mengelilingi sekolah.

"Gue coba telpon Cakra dulu," ucap Guntur sambil terus mencari keberadaan Arin.

"Emangnya Arin kemana? Apa perlu gue bilang ke anak penyiaran buat bantu cari Arin?" Seru Gaon.

Dengan sorot mata yang tajam Fiona membunuh Gaon yang saat itu berdiri didepan cowok itu.

"Jangan aneh-aneh! Bisa bisa gigi mu nanti copot 4 mau!" Bentak Fiona.

"Galak amat jadi cewek!" Cibir Gaon.

Mereka terus mencari ke setiap sudut sekolah. Menanyai setiap siswa dan siswi yang mereka lewati tapi tak ada yang tau.

Sampai mereka sampai di sebuah ruangan yang menarik perhatian mereka.

"Uy, siapa tau Arin terkunci didalam sini," ujar Third yang mencoba membuka pintu ruangan itu dengan paksa tapi tak bisa terbuka.

Semua perhatian tertuju kepada pintu itu. Terutama Fiona, dengan keahliannya dalam bela diri Taekwondo yang selama ini dia geluti.

"Minggir!" Pinta Fiona yang bersiap untuk menghancurkan pintu itu.

"Fiona? Mau apa lo? Mau buka pintu itu sendiri? Jangan ngaco Fion, plis jangan ngaco!" Tolak Gaon karena takut terjadi apa apa.

Tanpa memperdulikan ucapan Gaon, Cewek itu mengambil ancang-ancang yang cukup dan dia menendang pintu itu dengan sangat kuat. Hanya sekali tendangan, Fiona dapat membuka pintu yang terkunci itu terbuka lebar.

"Wow!" Anak laki laki yang melihatnya terkagum kagum melihat kekuatan teman perempuan mereka ini.

Zee dan Zoya memeriksa kedalam ruangan itu tapi tak ada siapa pun didalamnya. Bahkan sampai di bantu dengan temannya yang lain mencari di setiap sudut ruangan itu tak ditemukan nya seorang gadis bernama Arindia.

"Sepertinya Arin gak disini deh," seru Zoya yang hampir menyerah.

"Terus dia dimana? Ponselnya gak aktif!" Bentak Zee yang sangat khawatir akan temannya itu.

"Ponselnya gak aktif? Ponsel Cakra juga! Apa jangan jangan?" Ucap Guntur curiga.

"Jangan ngaco lo Tur, Cakra loh sedang bersiap untuk pertandingannya. Dia kan dispen tu. Kalau gak percaya tanya aja Zee," sahut ketus Zayn yang berusaha mencari informasi keberadaan Arin.

"Bener juga -"

"Tapi bisa juga benar, bagaimana kita pergi ke gedung Tae-"

Ucapan Zoya terpotong saat mendengar suara telpon berbunyi.

Sebuah panggilan masuk dari Arin.

"Halo, Rin! Lo dari mana sih! Kami nyariin lo tau!" Teriak Zoya.

"Ya maaf,"

"Emang lo sekarang ada dimana?" Tanya Zoya.

"Gue ada di kantin nih, lagi makan"

"Yudah, lo tunggu disana. Gue ketempat lo sekarang ya!" Perintah Zoya.

Semua orang merasa lega, setelah mengetahui keberadaan Arin.

"Dimana?" Tanya Guntur penasaran.

"Tadi Arin bilang dia di kantin," jawab Zoya.

"Yaudah, tunggu apa lagi ayo pergi! Keburu kehilangan jejak," seru Zee yang berlari keluar diikuti yang lainnya.

***

"Bagaimana? Mereka lagi ngari kamu?" Tanya Cakra yang sedang memegang dua nampan di tangannya yang berisi makanan.

"Iya, mereka mencariku,"

Cakra duduk dihadapanku, menatapku perhatian.

"Ada apa?" Tanya Cakra.

Soron mataku saat itu tertuju oleh sepasang orang yang berjalan memasuki kantin. Dengan senyum bahagia yang menghiasi wajah mereka. Membuatku merasa sangat kesal.

Cakra menatap kebelakangnya, cowok itu memasang wajah sinis nya melihat Ahmed dan Gina berjalan menghampiri mereka.

"Aits, mau kemana?" Cegat Cakra saat Ahmed dan Gina berjalan di dekat nya.

"Mau beli makanan kak Cakra," Jawab Gina dengan memainkan suaranya menjadi imut untuk menggoda kakak kelas.

"Hmm, mau beli makanan! Tapi, makanan di tempat ini sudah ku beli semua. Jadi maaf, anda tidak bisa membelinya!" Seru Cakra sombong.

Aku memutar bola mataku dan tersenyum puas. Melihat wajah Gina yang kebingungan dibuat Cakra. Bahkan Ahmed tidak bisa berkata kata jika sudah menghadapi Cakra.

"Tapi kak, ini kan bukan-" ucapan Gina terhenti sejenak saat melihat Zayn, Gaon, Guntur, dan Third datang bersama dengan Zee, Zoya dan Fiona.

"Bukan sekolah milik bapak gue? Itu yang mau lo bilang?" Teriak Zayn yang perlahan mendekat.

"Ada apa ini?" Gumam Ahmed yang berdiri mematung di hadapan Cakra dkk dan ketiga sahabatku yang terlihat siap menerkam siapa saja.

"Stttt! Dengarkan aku baik-baik! Sekolah ini milik ku" bisik Zayn kepada dua sejoli di hadapannya.

"Kuingatkan sekali lagi! Jangan pernah berurusan dengan kami lagi. Ingat itu!" Ancam Zayn yang terlihat marah. Matanya yang sinis menusuk tajam di hati.

Ahmed yang mendalat ancaman itu langsung menggandengan pacarnya itu keluar kantin tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri.

"Kena mental ya!!!" Teriak Guntur kesenangan.

"Mental breakdance!!!" Timpal Third disamping Guntur.

Saat itu sorot mata sahabat ku dan Cakra seketika mengarah ke kami berdua. Sorot mata yang mereka lontarkan kepada Gina dan Ahmed kembali mereka tunjukan kepada kami.

"Dari mana lo! Kenapa gak bilabg ke gue kalau gak masuk kelas, hah!" Teriak Zee yang kesal.

"Kenapa matamu bengkak? Habis nangis?" Fiona duduk disampingku memeriksa mata ku yang terlihat bengkak akibat menangis.

"Enggak, gue gak papa," karena tak pamdai berbohong. Ekspresi wajahku terlihat jelas bahwa aku sedang bohong dan sedang terjadi apa apa.

"Lo habis nangis atau di tonjok Cakra! Katakan kegue cepat. Biar ku tonjok dia balik!" Seru Fiona yang mengambil batu es untuk mengompres mataku.

"Emangnya berani nonjok gue hah, Piona!" Cibir Cakra yang terlihat duduk di hadapan ku.

"Perlu keuks?" Tanya Zee yang turut peduli.

"Tidak usah teman teman,"

"Nah, suara li berubah! Fiks lo habis nangis!"

"Siapa yang buat lo nangis?"

"Dia?" Zee menunjuk Cakra menuduhnya membuat Arin menangis.

"Aniya! Dia tak bersalah," elakku.

***

"Attention please!" Ucap seorang yang asing yang masuk kedalam kelas sambil membawa buku besar dan penggaris besi yang panjangnya 1 meter.

Seluruh perhatian tertuju kepada seorang pria muda dengan kemeja hitam dan celana kain putih yang ia kenakan.

"Selamat siang semuanya," sapa pria itu dengan ramah. Senyum tipis tersirat di wajahnya yang terlihat sangat segar.

"Siang" jawab sebagian siswa yang masih terdapat niat untuk belajar siang itu.

"Ada apa ini? Kenapa semuanya terlihat sangat lesu!" Tanya pria muda itu menatap seisi kelas dengan tatapan prihatin.

Terlihat seorang bernama Jihan si juara kelas mengangkat tangannya yang ingin mengajukan sebuah pertanyaan.

"Maaf sebelumnya, bukannya ini jam nya bu Ayu pada mata pelajaran matematika peminatan, tapi mengapa anda yang memasuki kelas kami? Kalau boleh tau anda siapa ya!" Tanya Jihan yang mewakili semua siswa di kelas.

"Pertanyaan yang bagus, kalau boleh tau siapa namamu!" Terlihat pria itu begitu senang mendapat pertanyaan seperti itu dari murid disana.

"Saya? Nama saya Jihan Permata Bintang," kenal Jihan yang terlihat tak tertarik.

"Oke, Jihan. Saya kan menjawab pertanyaan anda," pemuda itu terlihat sangat bersemangat walau kami semua di dalam kelas sangat tidak bersemangat.

"Perkenalkan nama saya Anjasmara Dirgantara, kalian bisa panggil saya pak Anjas. Saya disini sebagai guru baru yang berbagi tugas dengan bu Ayu untuk mengajar kalian matematika peminatan," perkenalan pria itu kepada kami.

"Kakak PKL lagi?" Seru Cakra sinis.

Mengingat pak Anjas terlihat begitu muda. Membuat Cakra beranggapan bahwa pak Anjas adalah kakak PKL yang datang untuk mengajar.

"Maaf, saya bukan kakak PKL! Tapi saya guru disini!" Sahut Pak Anjas dengan santai.

"Apa kami bisa percaya?" Teriak Gaon tak percaya.

"Mau bikti! Akan ku tunjukan," pak Anjas menunjukan surat lamaran kerjanya di sekolah ini dan di tandatangani langsung oleh direktur sekolah.

"Kalian tidak percaya?"

Seketika Cakra dkk terdiam kaku saat melihat bukti yang di perlihatkan ke mereka. Tak menyangka pria muda itu menjadi guru matematika mereka mulai saat ini.

"Saya disini mau bertanya kepada kalian semua yang ada di dalam kelas ini!" Suara pak Anjar begitu menggelegar hingga dapat terdengar dari luar ruangan kelas ini.

"Siapa yang pandai dalam matematika dan tidak, beri tahu saya 5 orang teratas dan 5 orang menurut kalian teman sekelas,"

"Maaf, bukannya itu hal yang sangat sensitif untuk di katakan kepada siswa?" Ucap Cakra yang membuat pak Anjas terdiam sejenak.

"Benar, tapi itu cara saya mengajar! Biar saya tau anak yang berpotensi dan tidak!"

"Tapi kan bisa bapak lihat sendiri nanti pas ada tugas atau ulangan harian!" Kata Cakra yang membuat pak Anjas takjub.

"Kau sangat pintas berbicara! Pasti nilai mu tinggi di antara siswa yang lain," pak Anjas menghampiri Cakra dan membaca tag nama yang terdapat di jas yang Cakra kenakan.

"Raden Cakra Rahagi Wicaksono? Kau seorang bangsawan?" Tanya pak Cakra yang salfok ke nama Cakra.

"Bisa dibilang begitu," jawab Cakra.

"Baguslah, berati kau tau sopan santun dan berpengetahuan luas," pak Anjas kembali kemeja nya.

Setelah beberapa saat dia terdiam sambil membuka buku absen di tangannya. Pandangannya tertuju ke arah ku. Yang setengah mengantuk hari itu.

Pak Anjas menghampiriku, Beliau membuka buku tugasku dan melihat banyak angka di bawah 50 di dalam nya.

Pak Anjas menghela nafas berat.

"Ini yang dinamakan nilai?"

Ucapan itu sontak membuatku deg degan dibuatnya.

Dengan tatapan mematikan yang terlihat jelas di wajahnya, pak Anjas menutup buku ku dan menaruhnya ke atas meja.

Pak Anjas kembali ke depan dan mulai mengajar.

Setelah kelas selesai, dia memanggilku kedepan.

Dia menyuruhku membawa buku tugasku.

"Ada apa pak?" Tanyaku gugup.

Pak Anjas memeriksa satu persatu buku tugasku dan mencatat yang ada di buku besarnya.

"Pulangan nanti ke ruangan saya, bawa buku matematikanya!"

Aku terkejut tak ketulungan. Mengapa pak Anjas menyuruhku keruangan nya?

"Dia membuka buku tugasku dan melihat banyak angka di bawah 50 di dalam nya.

Pak Anjas menghela nafas berat.

"Ini yang dinamakan nilai?"

Ucapan itu sontak membuatku deg degan dibuatnya.

Kak Anjas kembali ke depan dan mulai mengajar.

Setelah kelas selesai, dia memanggilku kedepan.

Dia menyuruhku membawa buku tugasku.

"Ada apa kak?" Tayaku gugup.

Kak Anjas memeriksa satu persatu buku tugasku dan mencatatnya di buku besarnya.

"Pulangan nanti ke ruangan saya, bawa buku matematikanya!"

Aku terkejut tak ketulungan. Ngapain Pak Anjas menyuruhku keruangan nya?

"Anjas! Lo belum jadi guru disini! Jadi jangan sembarangan nyuruh anak orang ke ruangan" teriak Cakra dari bangkunya.

"Tapi saya pengganti guru kalian jadi saya ada hak disini"

"Jadi gitu? Tapi saya keberatan"

"Kenapa keberatan? Emang dia siapa mu?" Pak Anjas berdiri dari kursinya dan menatap Cakra dengan tatapan menantang.

"Dia pacar saya!" Bisik Cakra.

"Kalau dia pacarmu! Ajari dia, sampai nilainya membaik 100%. Bisa?" Pak Anjas balik membisik.

Percakapan itu terhenti disitu dan Pak Anjas pergi tanpa berkata apa pun lagi.

"Maaf sebelumnya, tapi mengapa bapak menyuruhnya pergi keruangan bapak?" teriak Cakra dari bangkunya.

"Seterah saya dong, saya kan gurunya!"

"Jadi gitu? Tapi saya keberatan"

"Kenapa keberatan? Emang kamu siapa gadis ini?" Pak Anjas berdiri dari kursinya dan menatap Cakra dengan tatapan menantang.

"Dia pacar saya!" Bisik Cakra.

"Kalau dia pacarmu! Bantu dia merubah nilainya, sampai nilainya membaik 100%. Bisa?" Pak Anjas balik membisik.

Pak Anjas melangkah pergi keluar kelas meninggalkan ruangan dengan cepat.

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro