1. Hari Sial Ku
"Mas? Sudah selesai belum? Sebentar lagi sudah jam 7, nanti saya telat lagi kesekolah" tanyaku terburu buru.
Aku menatap berulang kali jam tangan ku.
"Sebentar, ini masih di perbaiki. Sebentar lagi selesai"
"Cepetan,"
Dengan perasaan gelisah karena takut telat aku terus saja desak mas tukang servis itu untuk mempercepat gerakannya.
"Nah sudah selesai," menyodorkan kamera milikku yang selesai di perbaiki
"Maaf lama ya dek," sambung nya.
Aku buru buru mengambil kameraku dan memasukkannya kedalam tas kamera.
"Terima kasih"
Dengan langkah kecilku, aku berusaha berlari sekuat tenaga menuju sekolah yang jaraknya cukup jauh dari tempat servis tadi.
Dengan terus melihat jam tangan ku. Aku merasa sangat terlambat tapi aku harus terus berlari agar sampai kesekolah.
Aku tau aku akan telat walau sudah berlari sekuat tenaga.
"Ah, akhirnya sampai juga" aku mengatur nafas yang terengah-engah melihat gerbang besar sekolahku.
Dalam hatiku, "gak masalah terlambat asal tetap turun sekolah dan gak bolos"
Aku menatap gerbang sekolah mencoba mencari cela masuk kedalamnya.
"Hei, telat juga kamu?" Tanya seorang anak laki-laki yang berada di ujung gerbang.
Aku terkejut seperti orang kesetanan.
"Ck, kamu lagi, kamu lagi. Gak puas-puasnya muncul di kehidupanku" ucapku sebal.
Aku memalingkan pandanganku dari anak laki-laki itu. Dan masih mencari cara agar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahuan.
"Percuma, walaupun kamu manjat dinding pun gak bakal bisa masuk," gumam anak laki-laki itu.
"Ya!!! Cakra. Namanya juga usaha," decak ku.
"Usaha apa?" Ucap seorang dari balik gerbang.
Dengan membawa buku besar dan penggaris kayunya. Seorang itu membuat perhatian ku dan Cakra tertuju kepadanya.
"Hehehe, pak Siwa, apa kabar pak?"
Aku tersenyum malu.
"Arin, Cakra. Tumben kalian bisa terlambat bareng ada apakah ini,"
Kata kata itu membuatku membeku seketika. Apalagi melihat pena Pak Siwa yang tengah mencatat nama kami di buku besar miliknya.
"Idih, pak. Apa yang bapak pikirkan itu gak bener," elak Cakra.
Pak Siwa menatap kami berdua dengan sinis seakan akan tau apa yang ingin kami ucapkan kepadanya.
"Bapak gak mau denger alasan dari kalian berdua,"
Cakra yang gak pantang menyerah sebelum bisa masuk sekolah dengan aman berusaha memberi alasan yang sangat pas.
"Pak, Cakra kan kemarin dapat mendali emas untuk sekolah. Nah, tadi malam Cakra naik pesawat terakhir jadi sampai rumah tengah malam pak, belum lagi beres beres,"
Karena aku memiliki sikap tidak mau kalah. Aku langsung menyahut apa yang di ucapkan Cowok itu.
"Pak Siwa yang baik hati, Arin telat gara gara kamera ini. Kan, kemarin Bapak yang nyuruh Arin perbaiki. Kemarin masnya bilang malas selesai sekalinya tadi pagi Arin kesana masih harus menunggu. Jadi..."
Pak Siwa menatap kami berdua dengan cermat.
Aku berharap dengan alasan itu aku bisa lolos dari hukuman.
"Baiklah, kalian boleh masuk,"
Mendengar ucapan itu aku dan Cakra berteriak kesenangan tanpa tau kelanjutan dari kata kata pak Siwa.
"Tapi kalian harus lari 8 putaran lapangan dulu baru boleh masuk kekelas," lanjut beliau.
Kami berdua seketika membeku saat tau kelanjutan ucapan pak Siwa tadi.
"Pak...," Ucapkan kami terpotong.
"Gak ada alasan lagi! Kalau gak bapak kasih 10 putaran tambahan lagi. Bagaimana?"
Tanpa berfikir panjang kami langsung berlari menuju lapangan dan menyelesaikan hukuman kami.
Dengan langkah kaki kecil ku aku berusaha sekuat tenaga memutari lapangan itu.
Sementara aku masih berusaha berlari 3 putaran milikku.
Anak laki laki di depanku sudah melakukan 6 putaran berkat kaki panjang dan tenaganya yang masih banyak.
"Sudah berapa putaran?" Tanya Cakra sambil menyamakan langkahnya denganku.
"Bukan urusanmu!" Aku berlari dengan penuh tenaga meninggalkan cowok itu di belakang.
Gak butuh waktu lama, cowok itu menyamai langkah kaki ku lagi.
"Sini ku bawa tas dan kamera mu," tawarnya sambil mengambil tas dan kameraku.
"Gak usah,"
Aku menolaknya dan apa yang terjadi selanjutnya. Ya, kameraku terjatuh saat aku mencoba mempertahankan kamera ku dari Cakra.
Aku panik saat melihat kamera yang baru saja sembuh dari penyakitnya harus terjatuh di tanah lapangan itu.
Aku menatap marah Cakra yang mencoba mengambil kamera ku.
"Ya!! Jangan kau sentuh kameraku."
Aku membeku melihat kamera kesayanganku itu rusak kembali.
"Sungguh sialan," ucapku marah.
Aku mengambil paksa kamera ku dari tangan Cakra.
Dengan tatapan kesal aku pergi berlari melanjutkan hukumanku agar dapat masuk ke kelas.
***
"Aish, bajuku basah karena keringat. Sunggu memalukan,"
Sunggu hari yang sial, sudah terlambat. Kamera rusak lagi. Begitulah awal hariku hari ini.
Suasana sekolah sudah cukup sepi. Aku mengendap endap agar tidak ketahuan terlambat.
Tapi untungnya, saat masuk ke dalam kelas lewat pintu belakang. Tidak ada guru yang menjaga.
"Fuh~ syukurlah gak ada guru"
Aku merubuhkan tubuhku di bangku kelas ku. Dan menghela nafas lega.
"Cie, yang terlambat"
Ekspresi teman temanku sungguh random saat melihatku datang terlambat.
"Tumben lo terlambat, gak ada yang nganter?"
Fiona menarik kursinya kesampingku dan mengelap keringatku dengan perlahan dengan handuk kecil yang selelu dia bawa.
"Kali ini ku ampuni kau, ku tulis kau hadir. Lain kali jangan terlambat lagi,"
Sebagai seorang sekertaris kelas yang selalu mengisi absen dan jurnal kelas. Zee terkadang tidak bisa di ajak kerja sama untuk urusan absen. Walaupun terlambat satu detikpun dia sudah menulis huruf A di buku absennya.
"Ya maaf Zee," mohonku.
Selang beberapa menit, aku teringat satu lah. Aku melihat sekeliling kelas tapi ada satu yang kurang.
"Zee? Apa kamu lihat tikus curut?" Tanyaku.
Sahabatku bingung siapa yang ku maksud tikus curut.
Gaon?
Guntur?
Third?
Cakra?
Zayn?
Jika ku sebut tikus curut pasti dalam pikiran mereka adalah mereka berlima. Lima sekawan yang sangat menjengkelkan di kelas.
Belum sempat mengucap, tiba tiba Cakra datang dengan tatapan dingin yang di buat buatnya.
"Cakra! Hari ini lo alpa," teriak Zee.
Cakra mengabaikan ucapan Zee dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi paling belakang.
Dia seperti acuh tak acuh dengan kata kata itu.
"Ya gak bisa gitu dong Zee, kalau sahabat lo Arin lo maafkan, kalau Cakra atau kami lo alpa"
Keempat sahabat Cakra ngamuk karena merasa Zee tidak adil.
Tapi apalah daya, saat melihat Zee memegang pena nya dengan tatapan sinis. Mereka langsung kicup tak berani melawan.
"Masih mau protes? Gue tulis alpa di nama kalian berlima,"
Kekuatan seorang sekertaris kelas. Tapi kadang tidak pernah ada yang mau mendengar.
***
"Ah, kameraku benar benar rusak sekarang,"
Aku putus asa, karena ini adalah kamera pertama ku yang aku beli sendiri dengan uang ku.
Untung saja itu bukan kamera sekolah. Jika kamera sekolah habislah aku!!!
Uhuk!!!
Seseorang menyodorkan minuman dingin ke hadapanku.
"Terima kasih,"
Aku meminum minuman pemberiannya tanpa melihat siapa yang memberikan itu.
Orang itu duduk di sampingku perlahan.
"Apakah beneran rusak?" Tanya nya
Aku menoleh kearahnya dan bertapa terkejutnya saat itu, dia adalah Raden Cakra yang membuat awal hariku sangat sial.
"Kamu tu ya, kenapa selalu muncul di hadapanku, ntah di kelas di halaman belakanh sekolah, di atap, di kantin, selalu aja ada!" Omelku kesal.
"Lah, kok ngamuk?"
Aku langsung pergi meninggalkan Cakra sendiri di sana dan meninggalkan kameraku tanpa kusadari.
***
"Arin hari ini kamu kan yang bertugas di tempat latihan Taekwondo?"
Ahmed mengingatkan tentang tugasku.
"Ahmed? Kameraku rusak, kamu aja gin yang kesana?" Tawarku
Mendengar kata Taekwondo hari ini aku sangat sensitif.
Hanya karena Cakra aku sangat kesal dengan kata itu dan tidak mau berurusan dengan nya lagi.
"Kan sudah di jadwal Rin? Gak bisa di ubah, kalau kameramu rusak nih ada kameraku. Aku bawa dua tadi,"
Ahmed mengambilkan kameranya dan memberikannya kepadaku.
Gak ada alasan lagi ya!
Tatapannya sangat membuat jantungku bedegub dengan cepat. Mengingat dia adalah orang yang aku suka.
"Gini aja gin kak Ahmed, aku tukaran sama kak Arin," Tawar Sinta adik kelas 2.
Aku mengangguk tapi Ahmed masih mempertimbangkan tawaran Sinta itu.
"Yasudah, kali ini aja ku izinin,"
Aku dengan kamera Ahmed langsung bergegas ke gedung bulu tangkis dimana seharusnya Sinta bertugas mencari informasi disana.
Aku masuk kedalam gedung dengan kamera Ahmed, membuatku melupakan semua yang terjadi tadi lagi.
Mengambil banyak foto untuk di jadikan dokumentasi dan untuk tugas akhir sekolah yang harus ku susun sebelum lulus.
Prak!!!
Tak sengaja aku menginjak raket salah satu atlit bulu tangkis disana.
Aku sangat panik saat melihat raket itu beradi di bawah telapak kakiku.
Dengan panik aku mengambil ramet itu dan memastikan kalau raket itu tidak rusak.
Ravi teman seangkatanku di kelas XII MIPA 3 yang merupakan atlit andalan sekolah.
"Kau menginjaknya?"
Ravi manatapku dengan tatapan dingin yang membuatku membeku dan tak dapat berkata apapun.
"I-ini, milikmu?" Tanyaku kaku.
Dalam benak ku, aku merasa sangat sangat sial hari ini.
Raket seharga 30 juta milik Ravi ku injak hingga lecet.
Ravi menatap raket kesayangannya menatapku dengan tajam.
"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Decakku
Ravi melempar kok yang dia pegang dengan sangat kencang di lantai.
Mengisyaratkan bahwa dia sangat marah. Tapi dia tidak bisa melukaiku, karena seorang wanita.
"Untung saja kau adalah seorang wanita. Jika tidak, wajamu sudah babak belur di tanganku" bisiknya
Seketika aku diam membeku, pertama kali aku melihat seorang laki laki yang menahan emosinya karena lawannya adalah seorang wanita.
"Ma-" ucapanku terpotong olehnya.
"Pergi dari sini. Kau gak mau kan melihatku lepas kendali?"
Melihat Ravi menahan amarahnya, aku langsung pergi meninggalkan gedung bulu tangkis menuju kelasku.
Jantungku masih sangat berdebar karena sangat taku.
Bisa bisanya. Gadis biasa sepertiku menginjak raket mahal milik Ravi yang dikenal sangat dingin itu.
Ya, betapa sialnya hari ini.
Kenapa kesialan datang bertubi-tubi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro