Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Raska Anggada

MOS bagi siswa baru SMA Nusa Bangsa atau lebih dikenal dengan SMA SABANG, sedang berlangsung. Hari yang panas membuat semuanya cukup lelah dan lapar. Dimulai dari pemberian materi hingga istirahat pertama, lalu berlanjut dengan kegiatan di luar kelas dan di luar sekolah untuk melakukan baksos. Berakhir dengan salat Zuhur berjamaah di musala milik sekolah. Semua berlangsung selama empat hari, dan sekarang merupakan hari terakhir mereka merasakan MOS.

Tak banyak siswa dari sekolah Nada yang masuk ke Sabang, mungkin hanya ada sepuluh atau sebelas anak. Mereka sudah berpaling saat mendengar syarat untuk memasuki sekolah tersebut. Pertama, nilai akhir sekolah menengah pertama. Dengan minimal rata-rata di angka delapan.

Tak sampai di situ, setelah lolos seleksi tahap pertama, mereka harus melewati ujian tulis, ujian Toufel, tes IQ, dan terakhir ujian lisan. Namun tidak dengan Nada, ia hanya tinggal duduk manis di rumah sampai hari di mana Masa Orientasi Siswa dimulai.

"Lo udah dapat banyak?" Mita menghampiri Nada yang datang dari arah berlawanan. Keduanya tengah duduk melepas penat di salah satu bangku semen di taman. Wajahnya juga tampak lelah seperti halnya Nada.

Tugas terakhir yang mereka dan murid baru dapatkan memang tidak begitu berat, hanya mengumpulkan tanda tangan anggota OSIS. Mereka juga mengenakan almamater khusus, tetapi masalahnya, semua berpencar di seluruh sudut sekolah dengan luas bangunan 33 meter persegi.

"Baru delapan, kurang dua lagi buat capai batas minimal. Seru, sih, tapi capeknya ...." Nada menggunakan buku tugasnya sebagai kipas.

Sedangkan, Mita memilih memijat betisnya yang mulai terasa berat untuk melangkah lagi. "Setuju, kalau kita bolak-balik genap tujuh kali, sama aja kayak ibadah thawaf."

"Kalau itu dapat pahala, ini dapat sengsara," sahut Nada.

Napas keduanya beradu dengan angin di siang hari ini. Sisa tenaga kian menipis seiring pergerakan lambat matahari akan bersembunyi.

"Oh, ya. Gimana sama doi, udah ketemu belum?" Mita melempar tanya dan senyuman. Ia tahu kalau Nada pasti juga tengah mencarinya.

Namun, yang Mita dapat sebagai jawaban adalah sebuah gelengan. "Belum, dan semoga gue nggak ketemu dia dulu."

"Tapi bukannya harapan besar lo bisa ketemu dia lagi? Kenapa pas udah sampai sini lo malah mau menghindar?" tanya Mita bingung.

Dulu, setiap hari Nada tidak pernah sekalipun melewati hari tanpa menyebut nama cowok itu, tetapi sekarang mendapati sikap sahabatnya yang ragu, ia menjadi ikutan kesal.

"Bukan menghindar, Mit. Gue ... dia ... nggak ada! Nggak ada!" Nada bangkit dari duduknya, meregangkan otot, dan mencari murid yang memakai almamater berwarna cokelat susu. "Gue lanjut dulu, sampai ketemu," pamitnya, lalu menggerakkan tungkainya yang mulai memberat.

Nada menyentuh dada, mengingat namanya saja sudah sesakit ini. Ia tidak ingin memiliki rasa sakit melebihi ini. Rama, sekalipun dia tidak pernah dimiliki, tetapi Nada membiarkan nama itu bersemayam di hatinya.

Gadis itu menarik napas untuk menenangkan diri, ia tak boleh egois dengan membawa masalah pribadinya ke sekolah. Toh, cowok itu juga pasti tidak akan mengingatnya. Kedua netra cokelat madu itu menangkap keberadaan sekumpulan siswa, dua di antaranya mengenakan almamater yang Nada cari. Ia pun segera menghampiri mereka.

"Permisi, Kak. Maaf mengganggu waktunya sebentar." Gelak tawa yang tengah terdengar seketika memelan saat Nada hadir di antara mereka.

"Wah, ada dedek cantik, nih? Ada yang bisa Kakak bantu?" Seorang cowok dengan tampilan acak menyambut Nada pertama kali. Tawa kembali terdengar yang membuat suasana di sekitar Nada menjadi panas.

Gadis itu mengambil satu langkah ke belakang, memberi jarak aman. "Ini, Kak. Sa-saya cuma mau minta tanda tangan Kakak OSIS." Nada memutar pandangan, menghadap dua siswa yang memasang wajah tak ramah. "Boleh, Kak?" tanyanya ragu.

"Perkenalan dulu." Perintah cepat tersebut keluar dari salah satu cowok beralmamater dengan rambut hitam tipis.

Gadis pemilik rambut yang senada dengan matanya tersebut menghela napas. Ia pikir tidak harus mengerjakan hal yang sudah ia lakukan sejumlah tanda tangan dalam buku tugasnya, tetapi ia masih juga menuruti perintah tersebut. Demi bisa selesai lebih cepat.

Nama lengkap, alamat, asal sekolah, dan hobi sudah Nada sebutkan dengan tempo yang bisa mereka terima. Berharap ia tidak akan disuguhkan kalimat tanya menyebalkan seperti dari anggota OSIS sebelumnya.

Kedua anggota OSIS di hadapannya menyodorkan buku tugas Nada setelah menuliskan nama dan goresan tanda tangan masing-masing. Sedikit heran karena ia tidak mendapat ujian lainnya.

"Habis ini, kamu langsung ke aula buat acara penutupan MOS," ucap cowok berambut keriwil.

"Tapi saya baru dapat sepuluh tanda tangan, Kak. Mau nambah dikit lagi, boleh nggak?" Nada bertanya karena tidak ingin mendapat hukuman.

"Nggak usah, kamu langsung ke aula saja. Bukunya kamu simpen aja, buat kenang-kenangan." Jawaban tersebut disertai kedipan sebelah mata dari cowok yang berambut tipis.

Setelah mengucapkan kata terima kasih, Nada kembali menyusuri koridor untuk bisa sampai ke lantai dua, tempat di mana aula berada. Tak berselang lama, terdengar pengumuman dari pengeras suara yang diletakkan di setiap sudut sekolah bahwa untuk semua peserta didik baru agar berkumpul di aula.

Kedua netranya menangkap tangan yang melambai sembari berlari dan memanggil namanya. Nada menghentikan langkahnya di ujung tangga, lalu tersenyum saat yang ditunggunya berada di depannya.

"Udah pas?" tanya Nada.

Mita mengangguk sambil menggerakkan buku tugasnya. Keduanya lalu menaiki anak tangga yang cukup lebar. Kemudian mengambil tas di kelas bimbingan masing-masing. Nada dan Mita tidak berada dalam satu ruangan, tetapi untungnya hanya terpisah oleh dinding.

Setelah membawa perlengkapan, mereka menuju aula yang berada di gedung bagian utara. Ketika hendak memasuki ruangan yang mampu menampung tiga ratusan orang, mata Nada beradu dengan manik hitam kakak kelasnya dulu di SMP, Ajeng. Gadis itu berdiri di antara kerumunan murid yang mengenakan almamater OSIS. Nada melempar senyum sambil terus berjalan.

"Nada!" Panggilan dari Ajeng menghentikan langkah Nada dan juga Mita. Pun para anggota OSIS yang menatap ke arah Nada.

Gadis itu menghampiri Nada dengan ekspresi yang belum bisa ia artikan. Nada menoleh ke arah Mita untuk meminta jawaban, tetapi gadis itu juga tidak tahu.

"Iya, Kak? Ada apa?"

Ajeng meminta izin pada Mita untuk berbicara empat mata dengan Nada. Ia juga menyuruh Mita untuk masuk ke dalam aula terlebih dahulu. Kemudian, ia membawa Nada berdiri di pinggir pagar pembatas koridor agar tidak menghalangi jalan.

"Maaf sebelumnya, tapi aku dan yang lain lagi butuh bantuan. Dan kayaknya kamu bisa nolongin kita," ucap Ajeng.

Dahi Nada terlipat samar. "Bantuan apa, Kak?" tanyanya ragu.

"Kamu bisa main piano, 'kan? Aku inget Rama pernah cerita kalau kamu pernah les musik. Kita udah dapetin yang nyanyi, tinggal pengiringnya. Kamu bisa bantu, 'kan? Bisa dong, Nad." Ajeng sedikit merengek saat mengucapkan kalimat tersebut.

"Kak Rama?" Namun, tak sengaja Nada menggumamkan nama tersebut.

"Iya, Rama yang bilang. Kamu bisa, ya, ya, ya?"

Nada tersentak saat Ajeng menggoyangkan lengannya. "Eh, iya bisa, Kak," jawabnya kemudian. "Tapi aku punya syarat."

Wajah Ajeng berubah berseri saat Nada menyetujuinya, lalu mengangguk semangat. "Siap."

Ajeng membawa Nada kembali ke temannya dan mengatakan jika masalah sudah beres.

"Kenalin, dia Angga yang mau duet sama kamu." Ajeng memperkenalkan seorang siswa laki-laki pada Nada yang mengenakan seragam biru putih, sama seperti siswa baru lainnya.

"Nada." Ia menyebut namanya sambil mengulurkan tangan ke depan cowok bernama Angga. Lirikan tajam dari Angga membuat Nada ingin menarik tangannya.

Akan tetapi, tak berselang lama. Cowok itu tersenyum dan menerima uluran tangan Nada. "Kenalin nama gue Raska Anggada. Anggada singkatan Angga dan Nada. Uh, langsung cocok."

Nada segera menarik tangannya dan mengatur jarak dengan Angga. Jelas saja gombalan Angga membuat beberapa panitia yang mendengarnya tertawa.

Ajeng pun ikut tersenyum melihat tingkah Angga. "Nah, kalian cuma punya waktu sedikit buat milih lagu apa sebelum naik ke atas panggung. Yang ringan aja, ya. Aku tinggal ke dalam dulu."

Nada hendak menahan gadis OSIS itu karena risi dengan sikap Angga yang masih belum mengalihkan pandangan darinya. Setelah sedikit berunding, mereka akhirnya memilih lagu Manusia Kuat milik Tulus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro