Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Senyumnya


Jam istirahat pertama sudah berdering beberapa menit lalu, seisi kelas sudah berhamburan pergi ke tempat di mana mereka bisa mengisi energi. Namun, tidak untuk Nada. Gadis itu tetap di kelas bersama kotak bekal makanan yang berisi biskuit gandum, sandwich, dan susu kotak rasa cokelat.

Sembari menyantap makanan, Nada mempelajari pelajaran yang sudah ia tinggalkan beberapa hari ini. Jika menemukan bagian yang tak dipahami, Mita siap untuk membantu. Bola matanya bergerak menatap tangan yang terkulai lemah dalam gendongan. Di saat seperti itulah, rasa sedih dan bahagia menyergap bersama.

Sampai ia tak menyadari seseorang yang mengamati setiap gerakannya. Cowok itu berdiri di dekat pintu dengan perasaan yang jelas tak ada kesan bahagia sama sekali. Cukup bersyukur karena Nada masih bisa menghirup udara yang sama dengannya. Ia tidak tahu lagi jika yang terjadi lebih dari itu.

Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menarik kakinya mendekati meja Nada. Gadis itu masih fokus dengan buku di hadapannya dengan tangan kanan yang masih memainkan tangan satunya. Lagi-lagi jantung Rama seperti dihantam batu karang.

Nada mendongak ketika sebuah suara berasal dari kantong plastik yang mendarat di atas mejanya. Ia terdiam saat netra cokelatnya beradu dengan pemilik mata yang tak menyehatkan jantungnya.

“Kak Rama?” panggil Nada pelan. Ia melihat kekosongan di mata cowok di hadapannya itu.

Rama tersenyum. “Sorry, karena tadi pagi nggak jemput. Gue nggak tahu kalau lo udah masuk, tapi nanti pulangnya gue anter. Ini gue beliin susu sama roti, biar semangat belajar. Gue turun dulu.”

Gadis dengan rambut yang senada dengan matanya tersebut mengerjap saat bayangan tubuh cowok berambut hitam itu menghilang dari kelasnya. Ia menatap bungkusan di hadapannya, lalu membukanya.

Ada tiga kotak susu full cream berukuran dua ratus mili dan roti kemasan juga dalam jumlah yang sama. Ia menengok ke sekitar, tidak ada siapa pun di sana. Senyuman terbit di kedua sudut bibirnya hanya karena satu senyuman dari Rama.

Ponselnya menyala bersamaan pesan masuk.

+6285123456***

Gue beliin susu buat tulang lo, biar cepat pulih

Rotinya buat perut lo kalau lapar

Gue Rama

Eh, gue nggak tahu lo suka susu rasa apa, jadi gue beli itu aja

Jemari Nada mematung di depan layar, ingin mengabaikan, tetapi hatinya tak setega itu. “Iya, Kak. Makasih.” Hanya jawaban itu yang terkirim.

+6285123456***

Oh, ya. Kalau lo butuh bantuan atau apa aja, lo bisa minta bantuan gue. Karena alasan lo jadi kayak gini adalah salah gue.

Nada tak lagi membalas, tidak mungkin ia berkata jujur alasan apa yang membuatnya rela mengorbankan nyawanya demi orang lain. Gadis itu merebahkan kepala di atas meja sembari melempar pandangan ke jendela. “Kenapa jadi kayak gini, sih?” gumamnya.

Ia baru saja memasuki jenjang sekolah menengah pertama, tetapi hatinya sudah melambung tak tertahan lagi. Masa depannya hampir melayang di usia sangant muda, bahkan mimpinya untuk menjadi pemain piano terbaik tahun ini akan tertunda karena harus menjalani periksa tulang secara rutin.

Nada tersenyum tipis. Apa ini yang namanya jatuh hati? Belum apa-apa sudah berkorban demi bisa terus melihat senyum kaku dari seorang Rama. Ayolah, Nad, cuma dapetin Rama apa susahnya?

“Ya, susahlah! Gimana reaksi Kak Rama waktu tahu kalau aku sama dia?” Nada bergidik membayangkan jika ia akan ditertawakan Rama, bahkan mungkin akan dilihat satu sekolah.

Ia menggeleng lalu menampar kedua pipinya bergantian agar sadar jika Rama tak harus ia pikirkan lagi. Mulai dari sekarang.

***

“Lo mending pulang duluan, deh. Nggak usah mikirin gue, kaki gue udah bisa jalan normal, kok.” Nada menyuruh Mita meninggalkan dirinya yang tengah menunggu suasana sepi.

“Maunya gue juga nggak mikir, tapi bayangan lo guling-guling di tangga selalu gue pikirin, Nad.” Mita tergelak setelah mengatakan kalimat tersebut.

“Maksudnya, lo mau doain luka gue tambah parah?” Nada berdecak. “Tapi emang gue juga takut di tempat itu, takut ke dorong sama anak-anak yang jalan cepet. Kaki gue kadang masih ngilu kalau jalan lama-lama.”

“Katanya tadi kakinya udah sehat?” Mita mengembalikan kalimat yang sempat Nada ucapkan.

Gadis berambut cokelat di samping Mita mengalihkan pandangan ke arah lain. Dari sekian banyaknya perhatian yang ia dapat pasca insiden lalu, sebenarnya Nada sama sekali tidak ingin menjadi beban untuk siapa pun. “Ya, biar lo nggak khawatir lagi sama gue. Bentar lagi jemputan gue juga sampai.”

Mita berdeham tanpa bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Ia memilih fokus pada buku paket IPA. “Ngomong mbulet ae,” gumamnya.

Nada memanyunkan bibirnya, lalu melihat ponsel untuk ke sekian kalinya. Ia sudah mengirimkan beberapa pesan singkat kepada bunda, hanya berisi pemberitahuan kalau dia sudah pulang.

Akan tetapi, sampai menit terus berganti, pesan dan panggilan suara darinya tak mendapat balasan. Ia semakin merasa tak enak hati dengan Mita.

“Ayo pulang.”

Kedua kepala mendongak bersama untuk melihat siapa yang baru saja bersuara.

“Gue duluan, ya. Sampai ketemu besok.” Belum sempat tersadar dari pesona Rama, Mita segera berlalu dari sisinya.

“Eh? Mita.” Tangan Nada tidak sempat menjangkau tubuh Mita agar tetap menemaninya. Matanya melirik sekilas ke cowok yang masih berdiri di dekat pintu.

“Lo masih ada keperluan lain?” tanya Rama.

“Nggak ada, Kak. Aku lagi nunggu dijemput bunda.” Nada menjawab sambil membereskan meja.

“Nyokap lo udah berangkat?”

Gadis itu terdiam, belum ada balasan juga sampai sekarang. Luas ruangan kelas seakan menyempit dengan kehadiran Rama.

“Nad?”

Mak deg!

“Iya, Kak.” Gadis itu langsung berdiri dan berjalan mendekati Rama.

“Nyokap lo udah berangkat atau belum? Kalau belum, gue anterin.” Rama kembali bertanya saat keduanya sudah berjalan di koridor.

Jangan tanyakan jantung Nada yang masih berdendang karena Rama mengucapkan namanya. Hal kecil, tapi mampu membuat setengah kesadarannya menghilang.

“Lo nggak apa-apa?” Rama menahan langkah Nada dengan menyentuh lengan gadis itu.

“Aku nggak apa-apa. Kenapa, Kak?” Nada menahan napas karena Rama berdiri tidak jauh dari dirinya.

“Dari tadi gue ajak ngomong selalu nggak fokus. Ada yang sakit? Atau ... lo marah sama gue dan nggak mau ketemu sama gue?” Netra Rama masih dipenuhi oleh rasa khawatir.

“Bukan, nggak gitu, Kak. Tapi emang aku rasa Kak Rama nggak perlu ngelakuin ini, maksudnya antar jemput aku buat ke sekolah. Biar Kak Rama bebas mau datang dan pergi ke sekolah tanpa harus mikirin aku.” Tangan kanan gadis itu meremas tali tas yang menggantung di bahu.

Apa yang ia katakan kian membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Ia menatap Rama dengan tersenyum.

“Jadi intinya Kak Rama—“

“Intinya lo jadi tanggung jawab gue.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro