18. Mine
Sebelum lanjut baca, disarankan untuk siapin garam, biar gak diabetes. 🤗
*****
Selama di dalam perjalanan, Rama sama sekali belum mendengar suara keluar dari bibir Nada. Gadis itu tampak menikmati lagu yang mengalir melalui earphone, bahkan sejak mereka menaiki mobil, Nada sudah mengabaikannya. Rama sebenarnya tidak tahan untuk mengajak gadis itu berbincang tentang apa pun. Meski yang paling penting ia ingin mendengar jawaban.
Cowok itu menghela napas. Satu hal yang ia benci saat ke sekolah dengan mobil adalah terjebak kemacetan. Seperti sekarang saat ia harus di antara barisan mobil di tengah jalan.
"Semisal hari ini telat nggak apa-apa, ya? Besok aku jemput lebih pagi lagi." Rama mengembuskan napas pelan saat kalimatnya jelas terbuang sia-sia. Nada sepertinya sangat mendalami lagu yang ia dengarkan. Buktinya gadis itu menggerakkan jarinya seolah sedang bermain piano.
Menggunakan cara lain, Rama menggenggam tangan Nada. Gadis itu langsung menoleh sambil melepas salah satu earphone dan tangannya dari Rama.
"Kenapa, Kak?" tanya Nada bingung. Ia merasa tak tenang saat telinganya mendengar suara yang selama ini dihindari.
Rama menginjak pedal gas pelan saat mobil di depannya bergerak perlahan.
"Kamu masih marah sama aku. Aku minta maaf, deh. Asal jangan cuekin aku, ya? Nggak enak banget berduaan di mobil, tapi kamu cuma diam kayak gini," ucap Rama.
Nada tak bisa mendengar jelas apa yang sudah dikatakan oleh Rama. Telinga gadis itu mulai berdenging. Dadanya juga terasa sesak disertai keringat dingin yang membasahi telapak tangan dan wajah.
"Kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba pucet gitu?" Nada hanya bisa melihat gerakan bibir Rama tanpa bisa mendengarnya. Ia mencoba memasang earphone kembali dengan tangan gemetar.
"Bisa cepetan, Kak?" ucap gadis itu terdengar begitu pelan. Rama melihat jalanan yang begitu padat, terlalu sulit untuk mencapai tepi jalan. "Kita langsung ke sekolah aja, Kak."
Rama membagi fokus antara jalanan pagi dan Nada yang bersandar lemah pada pintu mobil. Gadis itu membenarkan arah AC agar tepat mengenai tubuhnya.
Meski tak memakan waktu lama, tapi bagi kedua pasang sejoli tersebut sangatlah lama. Setelah berhasil melewati jalanan macet dan sampai di sekolah, Nada segera membuka pintu untuk menghirup udara segar. Ia juga melepas penutup telinga yang kali ini hampir saja tidak bisa menyelamatkannya.
"Kamu segitunya takut sama aku sampai kayak gini?" tanya Rama. Ia tersenyum getir. Mungkin bagi Nada, ia cowok yang berbahaya dan pantas untuk dijauhi.
Nada menoleh dengan alis saling bertaut. "Ngomong apa, sih, Kak? Makasih tumpangannya, ya."
Gadis itu turun dan terhuyung. Ia bersandar pada mobil untuk menggerakkan kaki yang masih terasa lemas. Rama segera menyusul, lalu berdiri tepat di depan Nada.
"Kamu sakit, Nad? Tapi tadi dari rumah kayak baik-baik aja, 'kan? Kita ke UKS dulu."
Nada menepis tangan Rama yang hendak membantunya berjalan ke UKS. Bukan tak mau, tapi ia tidak ingin terlihat lemah di depan Rama. "Aku nggak apa-apa, Kak. Mau ke kantin aja."
Meski dipenuhi oleh rasa kecewa, Rama tetap mengikuti langkah pelan Nada ke kantin. Gadis itu seperti memiliki rahasia yang tak ingin orang tahu. Bahkan Rama, karena dia bukanlah orang yang penting buat Nada.
"Buk, pesen teh manis panas, satu, ya," ucap Nada sesampainya di kantin. Ia mengambil duduk di dekat dinding agar bisa bersandar.
"Kak Rama mau minum juga?" tanya Nada pada Rama yang mengambil tempat di hadapannya.
"Nggak, makasih," jawab Rama malas. Ada kalimat lain yang lebih ingin dia dengar dari mulut Nada. "Kamu nggak mau perjelas hubungan kita, Nad? Apa waktu udah hapus nama aku dari hati kamu?"
"Iya, ya. Aku mau."
"Mau apa?" Rama memutar kepala Nada agar mau menatap wajahnya ketimbang menatap ke arah lain. "Kalau ngomong jangan nanggung, deh. Suka banget bikin aku khawatir."
"Ih, jangan pegang-pegang, Kak. Jantung aku ajeb-ajeb, nih." Tangan dingin Nada menepis tangan Rama yang masih betah bertengger di kepalanya. Wajahnya terasa panas saat dipandangi Rama terus menerus.
"Ya, makanya. Maksudnya mau kamu itu ke mana?" desak Rama.
Perdebatan kecil mereka terpotong oleh datangnya pesanan Nada. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu menyesap minuman hangat dan manis itu. Kemudian ia mencuri pandang pada Rama yang masih saja menatap lekat ke arahnya.
Nada berdeham pelan. "Ya, ya ... aku mau perjelas status kita, makanya aku jawab mau buat pertanyaan Kak Rama kemarin. Aku mau jadi ...."
"Nih, minum aja. Nggak usah dilanjutin. Aku udah paham." Rama menyodorkan gelas ke mulut Nada agar tidak mengucapkan kata yang pastinya akan membuat ia bahagia.
Wajah lelaki yang semula suram itu kini menjadi berseri. Tatapannya juga menjadi lembut meski tidak bisa beralih ke tempat lain.
"Tapi tadi Kak Rama minta dijelasin. Ini jantung aku suaranya sampai kedengaran, Kak," adu Nada setelah menghabiskan setengah gelas minumannya.
"Siapa yang nyuruh jawabnya nanggung."
"Kak Rama sendiri yang terus nanyain. Kan, jadi bosen yang denger, Kak."
"Cieee, yang jadi pacar aku." Tangan Rama kembali mendarat di kepala Nada. Bedanya kali ini disertai usapan yang membuat rambut gadis itu berubah.
"Diem napa, Kak. Seneng banget bikin aku jantungan." Nada menunduk saat mengatakannya.
"Mending jantungan, tapi pasti, 'kan? Daripada nungguin tanpa kabar nggak jelas. Eh, pengen peluk, deh, Nad."
Nada kembali menatap lelaki yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya dengan mata melebar. "Rasanya mau pingsan ini, Kak."
"Ya, udah pura-pura aja, biar bisa aku gendong. Ayo." Rama berdiri dan menunggu tubuh Nada untuk pura-pura terkulai.
"Dih, ngaconya nggak dipikirin dulu. Kalau gitu aku pamit ke kelas duluan, Kak." Gadis itu juga beranjak dari tempat duduknya tanpa menghabiskan minuman yang masih setengah gelas.
"Tungguin di sini, aku bayar minuman kamu dulu."
Tangan Nada ingin menahan lelaki itu, tetapi kalah cepat dengan langkah Rama yang tak ingin membuang waktu.
"Ayo," kata Rama sambil menggenggam tangan Nada yang terasa dingin.
"Eh, ke mana, Kak? Nggak usah dipegang kayak gini juga, Kak." Nada mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Rama juga kian kuat. Sedari tadi ia mengulum senyum mendapat perlakuan manis dari Rama.
Keduanya terus berjalan dengan jarak saling berdekatan. "Santai aja, di sini udah banyak yang gandeng tangan pasangan, tapi selama ini juga aku cuma bisa jadi penonton."
"Kasihan banget kamu, Kak. Padahal bisa aja nyari pasangan dengan jumlah murid sebanyak ini." Senyum lebar tak bisa terlepas dari bibir keduanya. Hati mereka tengah bersemi setelah penantian teramat panjang.
"Kalau aku maunya cuma kamu, gimana? Jadi, nggak bisa tertarik sama cewek modelan apa aja karena udah diisi oleh nama Nada."
Nada mendorong lengan Rama karena gemas. "Halah, Kak. Baru juga resmi udah ngegembel."
"Tapi aku serius, ya," balas Rama yang tak ingin memungkiri ucapannya.
Nah, sampai di sini manis-manisnya.
Sampai ketemu lagi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro