Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9| Puncak

Jeffrey Esa Kurniawan

Di dua lap terakhir, gue masih mengejar celah untuk membalap Marc. Dia handal di tikungan kiri. Gue sadar kapabilitas diri dan menghindari celaka dengan menyalipnya di area yang ia sukai. Namun, berharap hanya pada lintasan belok kanan tentu tidak begitu menguntungkan.

Di lap terakhir, gue berhasil mendahului posisi Marc, tepat selepas dari tikungan kesembilan. Tak ingin memberinya kesempatan, gue makin agresif menggeber mesin motor. Di pikiran gue, gue nggak boleh membiarkan celah sedikitpun. Marc lagi-lagi unggul sepersekian detik dari gue. Adegan menyalip side to side terjadi hingga di section terakhir, tepatnya tikungan kelima belas.

Tak mau kalah, gue terus mengejar Marc. Di tikungan keenam belas, alias tikungan terakhir, gue menyalipnya. Gue termasuk beruntung karena itu adalah tikungan belok kanan. Lepas dari tikungan, tak ingin lengah, gue melaju cepat di lintasan lurus. Gue dan Marc melaju bersama menuju garis finish.

Sorakan penonton terdengar membahana. Gue menekan laju motor secara bertahap. Jujur, gue bingung dengan hasil dari pemenang di balapan kali ini. Gue melihat anggota tim gue yang berada di pinggir lintasan. Mereka menyodorkan bendera kebangsaan gue.

"Me? I am the champion?" tanya gue begitu motor terhenti.

Gue bertanya karena murni tidak tahu, bukan songong. Padahal jawabannya sudah jelas. Dengan badan gue dipeluk-peluk gini, jelas jawabannya adalah gue.

"You're first. Luigi is the third."

Gue meninju udara dan berteriak kesenangan. Ini jelas kemenangan yang membahagiakan. Tidak pernah sebelumnya gue dan Luigi, rekan berbagi garasi, bisa naik podium bersama.

Salah seorang anggota tim gue menyodorkan pakaian khusus. Seketika gue ingat. Gue sudah merencanakan selebrasi spesial andaikan gue berhasil menjadi juara pertama di sirkuit pertama musim ini.

Gue turun dari motor. Dengan senyum selalu terpasang di wajah, gue memakai atasan kostum panda bercorak hitam dan putih. Gue kembali naik motor sambil membawa bendera merah putih di tangan kiri. Kali ini, gue melakukan satu lap mengelilingi sirkuit sambil mengibarkan bendera dan dengan tampilan baru.

Ketika tiba di pit, gue turun dari motor, langsung memeluk Om Adam yang sudah berdiri menunggu di sana. Dia nepuk-nepuk bahu gue, tepukannya yang bertenaga membuat gue sadar bahwa ini semua nyata. Tak terasa air mata gue merembes keluar.

Setelah sekian lama, gue berhasil dapat kesempatan naik podium di posisi tertinggi!

"Selamat, Jef! Ini baru permulaan, okay?" Gue mengangguk dan menyusut air mata. Om Adam terus menepuk bahu gue dengan bangga. "Tuh, motor lo sudah masuk display. Buruan sapa-sapa anggota tim yang lainnya."

Gue berjalan masuk ke kandang dimana motor gue sudah diparkir dengan papan nomor bertuliskan angka satu di depannya. Gue melihat ke slot parkir ketiga. Benar, motor Luigi di sana. Kabar baik tadi bukan fantasi gue semata.

"Jef, selamat," Marc si juara dua menyalami tangan gue. "Good game." Gue membalas ucapannya. Dia juga menyalami Luigi yang baru saja tiba di samping motor.

Masih dengan adrenalin yang menggebu-gebu, gue melemparkan diri ke anggota tim yang bersorak gembira di balik pagar pembatas. Semuanya gue kasih high five. Gue sadar, tanpa dedikasi mereka menyiapkan motor yang bagus, gue nggak akan bisa merasakan euforia ini lagi.

"Panda man, huh?"

"This is for my Akio," sahut gue penuh rasa bangga sambil melepas helm.

Setelah sekian waktu berlalu, gue baru sempat melihat ke arah tribun penonton. Dengan banyaknya orang di sana, gue jelas tidak bisa melihat keberadaan Gladis dan Akio. Sama saja mencari jarum dalam jerami. Mustahil.

"Jeffrey Kurniawan," gue menoleh karena nama gue dipanggil. Ternyata awak media.

Gue balik badan sejenak. Luigi dan Marc sudah menyelesaikan wawancaranya selagi gue masih asyik bertukar kata dengan tim gue tadi. Kini giliran gue tiba.

Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan jenis pertanyaan umum. Seperti, bagaimana perasaannya? Hal apa yang dirasa paling sulit? dan masih ada lagi lainnya. Lalu, di akhir sesi wawancara, ada satu pertanyaan yang mampu membuat gue tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Pertanyaannya tentang kostum panda yang gue kenakan untuk acara selebrasi hari ini.

"Panda is my son's favorite animal toy. Let's say, from now on, panda also becomes my spirit animal."

Selesai mengucap kata terakhir, gue berjalan ke pit box. Di sana lagi-lagi sorakan terdengar. Keributannya dikalikan dua karena pit box milik tim Luigi juga sedang merayakannya.

"Jef, congrats!" sapa Luigi begitu melihat kedatangan gue.

Kita berpelukan ala cowok dan saling memberi selamat. Layaknya para murid yang langsung membahas soal begitu keluar ruang ujian, gue dan Luigi juga membahas tentang pertandingan barusan dengan heboh. Hingga obrolan kita dihentikan oleh seorang panitia penyelenggara yang menyuruh gue dan Luigi untuk naik ke podium.

Acara di atas podium ya begitu-begitu saja. Serah terima piala, saling mengucap selamat, lalu dilanjutkan dengan semprat-semprot champagne. Gue sempatkan dadah-dadah ke tribun penonton, menyapa sekaligus berterima kasih pada fans di sana.

--

Orisha Gladis Alaia

Aku sabar menunggu Jeffrey turun dari podium. Kata Om Adam, lebih baik aku menunggu di pit box. Di area podium terlalu banyak awak media, malah nantinya kehidupan personal Jeffrey jadi tersorot. Aku yang tidak rela wajah putraku terpampang sembarangan di lini media massa secara berlebihan, menerima masukan Om Adam.

Jeffrey muncul tak lama kemudian. Pandangan kami bertemu. Suamiku langsung mengambil langkah lebar, mengabaikan beberapa orang yang ada di sana, dan tiba tepat di depanku dalam sekejap mata.

"Shasha."

Jeffrey memeluk tubuhku erat. Terlalu erat hingga untuk aku bernapas rasanya berat. Namun, aku tak tega melepaskan pelukannya. Meskipun dia hanya mengeluarkan satu kata, yaitu memanggil namaku, aku tahu rasa bahagianya menggunung.

"Selamat, Jeffrey. You're amazing."

Jeffrey mengurai pelukan, namun tangannya masih berada di bahuku. "This is for you, for Akio."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Papa Jeffrey."

Tindakan Jeffrey berikutnya sungguh di luar dugaan. Dia menciumku di depan banyak orang! Parahnya, saat ini perhatian mereka semuanya sedang tersorot ke arah Jeffrey si pemenang. Jangan lupakan ada beberapa buah kamera yang daritadi getol mengekori Jeffrey.

"Jef, anak lo nggak mau disapa?" suara Om Adam menyadarkan Jeffrey.

"Akio kok nggak semangat?" Jeffrey mengambil Akio dari gendongan Om Adam. Akio langsung mencari posisi nyaman di bahu sang ayah. Matanya yang kuyu menatapku sambil berkedip pelan.

"Sudah lewat jam tidur Akio, Papa," ucapku memberi tahu.

"Yah, sayang banget," ucap Jeffrey, namun tak ayal ia menggoyangkan tubuhnya, berusaha membuat Akio terlelap. "Tadi Akio lihat selebrasi aku nggak? Waktu aku pakai baju panda?"

Aku meringis sebagai jawabannya. Boro-boro melihat. Akio bahkan sempat terlelap di pangkuanku meski orang-orang di sekitar berteriak kegirangan atas kemenangan Jeffrey. Aku pun heran, bagaimana Akio bisa tidur dengan kondisi ramai seperti itu?

"Besok aku tunjukkin video kamu ke Akio."

Akio masih berada di gendongan Jeffrey. Aku juga masih berdiri di sisi Jeffrey ketika suamiku itu dan pit crew lainnya mulai berdiri melingkar di dalam ruangan yang relatif sempit ini. Jeffrey mengeluarkan beberapa patah kata sebagai pidato singkatnya atas kemenangan barusan. Ia seperti tidak pernah lelah untuk mengucap kata terima kasih pada semuanya.

Dari samping, aku memandang Jeffrey dengan tatapan kagum. Dia terlihat dewasa. Tingkahnya di luar sirkuit yang kekanakan dan tak jarang menyebalkan, sering membuatku lupa bahwa usia kami terpaut empat tahun. Jeffrey terlihat seperti orang lain, dalam konteks menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.

Akio sukses terlelap di tangan Jeffrey ketika acara telah berakhir. Suara-suara di sekitar ia jadikan lagu pengantar tidur. Yang awalnya aku merasa takjub dengan kemampuan Akio, akhirnya aku malah merasa kasihan padanya. Akio pasti terlalu lelah dengan aktivitas hari ini hingga tidurnya begitu nyenyak.

"Jeffrey, aku pulang dulu sama Akio, ya? Kasihan posisi tidurnya kayak gitu," ucapku sambil mengangsurkan tangan meminta Akio dari Jeffrey.

Jeffrey menunduk sedikit. Tangan kirinya menepuk-nepuk punggung Akio pelan. Dia tidak begitu saja menyerahkan Akio padaku.

"Aku pamit dulu sama Om Adam. Habis itu kita pulang bareng."

Menepati janji untuk pulang bersama, aku baru sadar bahwa malam hari di Qatar terasa berangin dibanding siang hari. Kelembabannya masih ada. Namun, setidaknya aku merasa lebih baik saat ini ketimbang berjalan-jalan di bawah bayangan payung lebar untuk menghalau terik matahari.

Untaian jemariku dan Jeffrey bergoyang pelan, mengikuti langkah kaki kami berdua. Tiba di depan motorhome yang menjadi rumah sementara kami, aku berniat melepasnya. Namun Jeffrey menggeleng, menolak tindakanku. Ia memilih jalan yang susah dengan menekan password di panel pintu masuk menggunakan jari telunjuknya yang teracung, tanpa mau meninggalkan untaian jemari kami.

"Sampai kapan ini mau dilepas?" tanyaku sebelum melangkah masuk.

"Nggak usah dilepas. Aku mau dekat-dekat kamu aja pokoknya."

"Oh, come on, Jeffrey," keluhku. "Kita berdua nggak bisa masuk bersamaan."

"Bisa. Tinggal jalan miring kayak kepiting."

Jeffrey yang dewasa telah menghilang. Sosok yang berdiri di sampingku kini adalah Jeffrey yang asli, yang menyebalkan hingga bisa bikin keki setengah mati.

Manik mataku berputar jengah. Aku melepas untaian tangan secara paksa dan melangkah masuk lebih dulu. Aku tahu, di balik punggungku, Jeffrey sedang menahan tawa.

"Taruh Akio di kasur dulu. Habis aku ke toilet, biar aku yang gantiin bajunya," ucapku sebelum berlalu pergi.

Aku yakin, aku pergi ke toilet tidak terlalu lama. Saat di dalam sana, aku justru terburu-buru menuntaskan hasratku. Aku bergegas karena tak ingin membuat Akio lama menunggu. Tidur dengan pakaian penuh keringat dan debu hasil beraktivitas di luar tentu tidak akan membuatnya nyaman. Namun, begitu aku sampai di master bedroom, aku tak mendapati Akio di mana pun.

Masa sih Akio sudah bangun?

"Jeffrey," panggilku sambil mencari-cari. Ternyata Jeffrey sedang duduk di sofa, berusaha melepas pelindung di kedua lutut. Pantatnya menggencet kepala boneka koala tanpa ampun. "Akio mana? Kok nggak ada di kamar?"

"Ada kok," Jeffrey menunjuk arah lain, arah yang berlawanan dengan kamar utama. "Akio ada di kamar itu, bukan di kamar kita."

"Jeffrey ...."

"Malam ini aku mau tidur berdua sama kamu."

"Hah," tanpa sadar aku menghela napas. "Akio kan juga mau disayang Papa-Mamanya. Kasih Akio kesempatan dong, Jeffrey. Kamu nggak ingat ya, pagi tadi waktu Akio terbangun di kasur yang beda dengan biasanya, dia nangis-nangis histeris? Padahal hari-hari sebelumnya Akio bisa bangun sendiri."

"Kamu nggak mau tidur sama aku?"

Lho, kok? Kenapa Jeffrey membalas dengan nada kesal? Malam yang lalu dia sudah mendominasiku. Masa malam ini juga begitu?

"Malam ini kita tidur bertiga."

"Aku mau berdua sama kamu, Shasha. Lagian, Akio sudah bisa tidur sendiri kok."

"Kalau kayak tadi pagi, gimana?"

"Nggak bakal. Akio pernah terbangun di ruangan itu sebelumnya, jadi nggak bakal kaget. Jangan terlalu memanjakan Akio, dong."

"Bukan memanjakan," sentakku kelepasan dengan nada tinggi. "Kalau memang mau ngajarin Akio dengan perubahan kondisi, jangan tiba-tiba ditinggal gitu aja. Tangisan dia tadi pagi menunjukkan ketakutan. Aku nggak mau Akio merasa dibuang orang tuanya begitu saja."

"Kamu lebay. Dimana-mana, nangis ya sama aja."

"Kamu nggak pernah di rumah, nggak mungkin kamu mengerti perbedaan tangisan Akio. Kamu nggak seperhatian itu sama anak."

Kening Jeffrey terlipat dalam. Wajahnya yang rupawan menegang. Ucapanku barusan tidak kunjung dibalas. Detik itu juga, aku tahu ada sesuatu yang salah.

"Iya. Aku memang bukan ayah yang baik. Aku nggak perhatian sama anak."

Seketika udara di sekitarku terasa memadat. Aku tercekat tak bisa bernapas. Aku telah memantik bom waktu, padahal aku tahu selama ini Jeffrey selalu merasa rendah diri perihal mengurus anak kami.

"Jeffrey, bukan git...."

"Fine, kamu urusin Akio," Jeffrey berdiri dari posisi duduknya. "Silahkan kalau kamu mau nemenin dia tidur. Aku nggak apa-apa. Aku bisa tidur sendiri kok. Aku nggak akan bergantung sama kamu."

Aku sadar ucapanku tadi ada yang salah. Namun, menurutku balasan Jeffrey terlalu berlebihan. Dan lagi, apa pula kalimat terakhirnya itu? Tidak akan bergantung lagi padaku? Huh, benar-benar tipikal Jeffrey si anak tunggal yang egois.

Dia pikir aku akan mengalah dalam peperangan ini? Tentu saja dia salah besar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro