Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7| Biscuit

Orisha Gladis Alaia

"Kamu yakin nggak apa-apa?"

"Percaya sama aku. Dulu kamu kan juga pernah masuk ke area pit box. Malah, waktu itu aku sudah mau race. Sekarang belum ada race, pasti di sana nggak terlalu sibuk."

"Gitu ya?"

"Iya."

"Oke, deh."

Jeffrey berhenti sejenak untuk memandangi makanan yang terhidang di atas meja. Berjejer rapi siap dimasukkan ke keranjang. "Ini yang terakhir? Kok kayaknya lebih dari tiga puluh buah?"

"Adonan tepung satu setengah kilogram, ternyata bisa untuk bikin biskuit sampai tujuh puluh lebih keping."

"Wow! Capek nggak?"

"Nggak. Aku bawa enjoy aja. Lagain aku kan dibantu Akio."

"Ini nanti satu orang satu? Punya aku mana?"

Kebiasaan. Jeffrey tak mau kalah.

"Punya kita bertiga sudah aku simpan sendiri di lemari. Ini nanti masing-masing orang satu. Sisanya terserah Akio mau kasih ke siapa."

Jeffrey meletakkan bungkusan terakhir ke dalam keranjang kecil berwarna oranye, mirip keranjang belanja di mall. Ia memanggil Akio yang tengah asyik menata teman-temannya di atas sofa. Mulai dari boneka ukuran sekecil bola tenis hingga sebesar helm Jeffrey ada semua di sana.

"Ayo kita siap-siap pergi menyapa uncle and aunty."

"Uti? Mana uti?"

Aku terkekeh. "Maksud Papa tadi, Om dan Tante. Eyang uti nggak ada di sini." Aku berjongkok dan membenahi tali tas di bahu Akio. "Akio mau bantu Mama bawa keranjang? Kita bagi-bagi biskuit ke temen kerja Papa."

Akio mengangguk semangat.

Seharian kemarin aku dan Akio bekerja sama mulai dari membuat biskuit hingga mengemasnya. Awalnya, aku kira aku tidak punya cukup waktu untuk mencetak stiker bergambar foto keluarga trio Kurniawan dengan ucapan "Semangat" di bawahnya. Untuk berjaga-jaga aku juga membuat stiker lain berisi informasi bahwa biskuit buatan kami menggunakan tepung gluten free, less sugar, dan total kalori 120 kkal. Untungnya kemarin Jeffrey pulang terlambat. Aku dan Akio jadi punya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan semuanya.

Akio membawa keranjang kecil di tangan kirinya. Ia berjalan di depan bersisian dengan Jeffrey. Melihat mereka begitu akrab, aku diam-diam mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel.

Perjalanan yang kami tempuh tidak terlalu jauh. Motorhome Jeffrey berada tepat berseberangan dengan dua buah truk yang difungsikan sebagai kantor. Desainnya dibuat teduh, jalan di antara kedua truk dipasangi tenda, bahkan sebenarnya ada ruang konferensi terbuka di atas truk itu.

Di belakang truk, langsung tersedia akses pintu belakang menuju garasi atau pit box. Garasi milik tim pabrikan ini dipisahkan dengan sekat menjadi dua bagian, corner untuk Jeffrey dan corner untuk Luigi. Kami belok kanan, menuju area kerja milik Jeffrey.

Rupanya ada Om Adam di sana. Om Adam menyambut kedatangan kami dengan heboh. Begitu melihat isi keranjang yang dibawa Akio, Om Adam langsung tahu maksud kedatangan kami ke sana.

Pembagian biskuit dimulai. Akio yang melakukannya. Dengan berani Akio berjalan dan menyapa setiap orang di sana. Dia juga ingat pesanku untuk mengatakan kalimat: "Semangat, Om, Tante. Terima kasih sudah jaga Papa." Akio tentu mengucapkannya dengan gaya imut andalannya.

Rekan kerja Jeffrey memberi respon yang hangat. Awalnya mereka bingung dengan kalimat Akio, aku dan Jeffrey tidak lelah untuk menerjemahkannya. Om Adam pun membantu.

Setelah semua orang di ruangan itu mendapat biskuit, Akio meletakkan keranjangnya sembarangan. Ia kini bisa fokus mengamati dua motor bernomor 77 di tengah ruangan. Tampaknya, Akio sudah menahan diri sejak tadi. Dengan kedua tangan di depan perut, berusaha tidak menyentuh apa pun karena sudah aku peringatkan, Akio memutari motor yang lebih tinggi daripada tinggi badannya.

"Motoy Papa?" Akio mendongak, meminta jawaban pada Jeffrey.

Jeffrey menggendong Akio, memberi area pandang yang lebih luas dari atas. Raut wajah Akio seketika berubah. Bahkan dari bibir mungilnya muncul seruan kagum.

"Wah! Motoy keyen!"

"Iya, tahun ini Papa dapat mesin baru."

Celotehan panjang-lebar Jeffrey tidak aku hiraukan. Aku tidak mengerti. Aku biarkan Jeffrey bercerita sekaligus pamer pada anak usia dua tahun. Aku sendiri meraih keranjang kosong yang daritadi dibawa Akio dan keranjang setengah penuh yang semula dibawa Jeffrey, menumpuknya jadi satu.

Ketika Jeffrey dan Akio masih asyik bersama, Steven masuk ke ruangan. Sebenarnya Steven bukan termasuk kru yang bekerja di garasi. Aku yakin kedatangannya ke sini untuk mengingatkan Jeffrey akan jadwal kerja berikutnya.

Di kesempatan itu, aku memberikan satu keping biskuit untuknya.

"Ini ada hadiah dari Akio untukmu. He wants you to be good to his Papa," candaku.

"Thank you," balas Steven. Ia memandangi stiker foto keluarga kami dan berkomentar. "Is it Akio? He is such an adorable baby."

"Iya, foto itu diambil bulan Februari lalu, ulang tahun keduanya. Padahal baru satu bulan berlalu, tapi Akio yang sekarang tampak jauh lebih dewasa dibandingkan saat itu."

"Anak kecil memang cepat sekali berkembang."

Aku setuju.

"Oh ya, apa kau kemari untuk mengingatkan Jeffrey jadwal berikutnya?"

"Oh tidak," ucapnya sambil menggeleng ramah. "Aku tadi mampir ke truk kalian untuk menaruh beberapa barang permintaan Jef. Karena tidak ada orang sama sekali, jadi aku tebak kalian pasti sedang jalan-jalan di sekitar sini."

Aku terkejut. Kalau begitu, berarti bukan hanya Om Adam saja yang mengetahui password masuk truk kami? Ugh, aku harus lebih berhati-hati. Terutama saat meletakkan pakaian dalam.

Bunyi mesin motor yang dibunyikan dengan kencang mengagetkanku. Bukan hanya aku, Akio juga. Anak itu melompat dan segera menyambar ujung gaunku untuk berpegangan. Aku melihat kesal pada si pelaku berwajah tengil yang kini sedang duduk di atas motor.

Dasar, Jeffrey!

"Motoy mayah," celoteh Akio. Ia sudah maju selangkah, tak lagi bersembunyi di balik kakiku.

"Akio, sini. Duduk sini," ucap Jeffrey sambil menepuk-nepuk bagian depan motornya.

"Hati-hati, Jef," ucap Om Adam memberi peringatan. Dia tidak melarang, jadi, tidak apa-apa, kan?

Steven menggendong Akio dan mendudukkan bocah itu di depan Jeffrey. Tak ingin ada hal-hal tak terduga terjadi, misalnya Akio tanpa sengaja menekan suatu tombol di motor itu dan membuatnya rusak, aku sekali lagi memberi peringatan pada Akio untuk tidak menyentuh apa pun tanpa dipersilahkan sang ayah. Akio mengangguk patuh. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Boleh elus-elus kok," ucap Jeffrey. Ia memberi contoh. "Kayak gini. Dielus yang pelan, kayak Akio elus-elus si panda."

Akio mengikuti gerakan yang dicontohkan Jeffrey. "Motoy janan mayah ya. Motoy baik ama Papa Akio."

Huaaa, aku tak kuasa menahan tangis. Pipiku basah oleh air mata yang entah sejak kapan berkumpul di kelopak dan tahu-tahu meleleh. Tak mau terlihat lemah, aku balik badan. Kuusap air mata dengan punggung tangan sambil mengipasi wajah.

Calm down, Gladis! Your little boy grows up to be a little man. Akio akan tetap kecil di mataku, tapi hatinya terus tumbuh besar seiring waktu.

"Shasha, kenapa?" Jeffrey mematikan mesin motor dan menggendong Akio turun. Fokus Jeffrey terarah padaku. Ia memaksaku untuk menghadap ke arahnya.

"I am okay."

"No, you're not," Kedua alis Jeffrey bersatu di tengah. "Kenapa? Jangan bilang kelilipan."

"Aku beneran baik-baik aja, Jeffrey. Aku cuma terharu karena ucapan Akio tadi ke motor kamu. Akio perhatian sama kamu."

Melihatku menangis, Akio merentangkan tangannya, minta pindah ke gendonganku. Aku pun menerimanya. Bagaikan tahu perasaanku, Akio memeluk leherku dengan kedua tangannya. Seketika dia bersikap layaknya bayi yang manja.

Tak ingin mengacaukan suasana, aku segera berpamitan pada orang-orang di sana. Jeffrey membawa keranjang di tangannya, sedangkan aku menggendong Akio yang menempel tak mau lepas. Akio sudah tidak lagi bersemangat membagikan biskuit.

"Akio, ada Om Rossi, tuh," bujukku. Akio menggeleng dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.

Akhirnya, pekerjaan membagi-bagikan biskuit beralih tugas ke Jeffrey. Akio hanya bertugas dadah-dadah atau high five pada mereka yang meminta. Pembalap-pembalap ulung yang kami temui, diabaikan Akio. Kecuali satu, Luigi.

"Halo, Akio."

"Om Igi." Akio menggerakkan kedua kakinya, minta diturunkan. Ia menarik dua bungkus biskuit dari keranjang yang dibawa Jeffrey. Bocah itu menyorongkannya pada Luigi. "Untuk Om Igi."

"For me?" Luigi terkejut.

"Curang, aku hanya dapat satu, kenapa Luigi dapat dua?" Canda Fabio. Ia ikut-ikutan merunduk di depan Akio, bersebelahan dengan Luigi. "Can I have one more?"

Akio memperhatikan dengan seksama. Aku tidak tahu apakah Akio mengerti isi percakapan itu. Namun, Akio menggeleng. Ia menunjukkan jari telunjuknya pada Fabio.

"Atu ajah."

"Satu? One?" Fabio meniru gerak tangan Akio.

"Atu," Akio mengangguk pasti. Kini ia mengacungkan jari telunjuk dan jari manisnya ke arah Luigi. "Om Igi, dua."

Luigi berseru senang. Ia tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Fabio. Lagaknya berasa memenangkan posisi podium.

"Hah, aku kalah." Fabio mengeluh. Ia menoleh ke arah Jeffrey. "Om Igi artinya apa?"

"Om itu uncle. Igi diambil dari nama Luigi. Akio sendiri yang membuat sebutan itu. Aku dan istriku tidak mengajarinya sama sekali."

"Mereka benar-benar sudah dekat."

"Ya, aku juga cemburu padanya." Aku Jeffrey.

Kami kembali ke tempat istirahat setelah makan siang di hospitality. Kini Akio telah menjadi selebriti cilik. Akibat bagi-bagi biskuit, Om dan Tante dari tim Jeffrey tiap bertemu dengan Akio selalu menyapa. Kalau sedang mood, Akio akan membalas dengan lambaian tangan. Kalau sedang serius makan, ia akan menganggap sapaan itu bagai angin lalu.

Kini aku bisa melihat sebagian diri Jeffrey pada Akio. Mereka mudah kenal banyak orang dan cepat populer. Mereka juga memiliki sebagian sifat selfish yang bikin aku geleng-geleng kepala. Untung saja sampai saat ini Akio tidak terlalu menyebalkan seperti si Papa.

Begitu sampai di rumah, Akio langsung berlari menghampiri sofa. Ia memanjat naik, membuat boneka yang ia susun pagi tadi berhamburan jatuh. Akio tampak tak peduli. Dengan posisi tengkurap, ia menungguku berjalan mendekat. Matanya sudah kuyu. Akio mengantuk.

"Papa, kamu ada jadwal nggak siang ini?"

"Jam tiga. Kenapa?" tanya Jeffrey balik setelah ia meletakkan keranjang di atas meja makan.

"Bantuin aku, mau?"

"Bantu apa Mama Shasha?"

"Antar Akio tidur siang." Ia menunjuk Akio yang kini sedang menguap lebar. "Aku mau beresin baju kotor dulu."

"Will you join us?"

"Sure," jawabku mantap. Aku pun sebenarnya lelah, tapi ada tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Jeffrey menggendong Akio yang kepalanya langsung terkulai di pundak sang ayah. Jeffrey tidak segera ke kamar. Ia malah menghampiriku, memberikan kecupan di puncak kepalaku.

"Don't push yourself too hard, Shasha."

Pekerjaanku tidak sebatas mengurus baju kotor. Aku membereskan alat-alat bermain Akio yang berserakan. Ketika melihat jam, tahu-tahu waktu berlalu dengan begitu cepat. Sebentar lagi waktunya makan camilan Akio. Aku belum menyiapkan buah-buahan potong.

"Shasha, kamu belum selesai?"

Aku menoleh. Bibirku melengkung ke bawah sambil menggeleng. "Belum."

"Come here," Jeffrey duduk di sofa dan menepuk area kosong di sebelahnya. "Aku antar kamu bobo kayak Akio."

"Aku nggak ngantuk."

"Tapi kamu capek."

Aku melihat jam yang dipajang di rak dapur. "Sebentar lagi jam tiga."

"Masih ada setengah jam, Shashayang."

Karena Jeffrey terus memaksa, aku pun menurut. Begitu duduk, lengan Jeffrey langsung menarikku mendekat. Ia memintaku untuk bersandar padanya. Jeffrey memberikan perhatian ekstra untukku yang sedang lelah secara mental.

"Hm, jadi karena itu tadi kamu nangis. Kamu kaget lihat Akio jadi mandiri dan dewasa, hm?" Jeffrey mengusap punggungku. Rasa hangat menyelimutiku. "Kamu nggak sadar ya, Akio bisa gitu karena punya Mama Shasha lho."

"Tapi aku nggak rela."

"Kenapa?"

"He is not a baby anymore."

Jeffrey tertawa renyah. "Being a little bit independent doesn't mean he is not your baby. Akio masih butuh kamu, Shasha."

Aku mengangguk di dada Jeffrey. "Aku tahu. Tapi, gimana ya... Rasanya aneh aja. Mungkin perasaan ini cuma dirasakan oleh ibu yang pertama kalinya punya anak."

"Coba kamu deskripsikan."

Aku menegakkan punggung. Mataku memandang Jeffrey, menjawab tantangannya.

"Aku ingat banget dulu Akio waktu lahir badannya kecil. Selalu nggak mau jauh dari aku. Apa-apa carinya aku. Sekarang dia sudah bisa jalan sendiri, lari malah, nggak nungguin aku apalagi gandeng tangan aku."

"...."

"Akio yang dulu sebesar ini," aku menunjukkan lengan bawah tanganku. "Sekarang sudah segini," kini tanganku bergerak membuat garis imajiner di tengah panjang paha. "Like, boom! My pretty baby is gone! He is no longer there!"

"Hm, aku paham," Jeffrey mengangguk, tak lagi berani mempertanyakan perasaanku. "Sini, cuddle lagi."

Aku memeluk Jeffrey untuk beberapa menit, sebelum pada akhirnya melepas Jeffrey dengan tak rela untuk persiapan berangkat kerja. Aku mengantarnya hingga ke depan pintu. Belum sampai pintu terbuka, Jeffrey menjentikkan jarinya, seolah ia lupa menyampaikan sesuatu.

"My power energy."

"Hm? Apa?"

"Ritual aku tiap mau tanding," Jeffrey meringis. "Telepon kamu."

"Memangnya kamu mau tanding?!"

"Hm, bukan tanding sih. Tapi dua hari, yaitu hari ini dan besok, mulai masuk tes pra-musim. Aku cobain mesin motor, untuk nantinya dapat mesin motor yang sudah pas, untuk disegel dan dipakai selama satu musim pertandingan berlangsung."

"Oh, masih latihan dong itu namanya?"

"Tes pra-musim itu penting, Shashayang," jelas Jeffrey mencubit pipiku gemas. "Karena mesin yang mau aku pakai selama musim ini, berarti ditentukan mulai dari dari tes ini."

"Hm, gitu ya. Makes sense."

"Jadi, nanti sebelum aku masuk sirkuit, aku telepon kamu, ya?"

Aku mengangguk. "Okay. Berarti kamu balik ke rumah jam berapa?"

"Mulainya aja nanti ketika matahari tenggelam. Kemungkinan aku baru pulang tengah malam. Bobo aja duluan."

Aku mengangguk menjawabnya, meski dalam hati aku berniat menunggu Jeffrey pulang semalam apa pun itu. Aku memangkas jarak dan mengalungkan lengan di leher Jeffrey. Dia tersenyum. Dengan bahasa tubuh seperti itu, Jeffrey tahu bahwa aku akan memberinya ciuman panjang, bukan hanya kecupan-kecupan ringan biasa. Anggap saja sebagai ciuman keberuntungan, mungkin, hehe.

Aku tidak tahu sudah berapa menit kami melakukannya tepat di depan pintu. Tahu-tahu, pintu terbuka. Om Adam berniat masuk tanpa menekan bel.

"Ekhem," Om Adam berdeham sungkan sambil mengetuk dinding dua kali. "Gue datang buat jemput Jef."

Wajahku memerah. Selain karena malu, juga karena kehabisan napas. Aku segera menarik tubuh Jeffrey, menjadikannya tirai agar Om Adam tidak melihat penampilanku yang kacau.

"Aku berangkat dulu ya, Shashayang," bisik Jeffrey sambil mengecup pelipisku. "Thanks for the kiss. Aku jadi semangat, hehe."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro