5| Empe
Jeffrey Esa Kurniawan
Kata Gladis, gue harus mau berinisiatif. Kalau benar-benar ingin dekat dengan Akio, gue harus mau melangkah tanpa diminta. Gladis menyarankan agar gue mengajak Akio bermain lebih dulu. Jangan menunggu diajak bermain oleh Akio.
Bocah dua tahun, main apa sih? Gue kan bingung. Mau gue ajak nonton kartun, tapi kata Gladis lebih baik Akio diajak bermain permainan yang menggunakan fisik.
"Kamu lihat tadi Akio asyik mainan helm Luigi, kan? Coba deh kamu ajak main cilukba Akio pakai helm kamu, atau main apa pun. Aku mau siap-siap goreng tempe dulu."
Mainan helm? Apa serunya? Meskipun ragu, gue tetap mencoba saran Gladis. Gue ambil helm dari rak, lalu memanggil Akio. Melihat benda yang gue bawa, Akio langsung memanjat naik ke sofa dan duduk di sebelah gue.
"Ini namanya helm."
"Nya Om Igi." Jari bantat Akio menunjuk-nunjuk helm gue.
"Ini punya Papa. Punya Om Luigi kan tadi ada di rumahnya."
"Nya Papa?"
Yee, si bocil nggak percaya. Dia belum tahu aja kalau desain helm tiap pembalap itu dibuat beda-beda. Itu artinya, hanya ada satu helm seperti ini di muka bumi, yang original.
"Iya, punya Papa."
"Au!"
Gue menyerahkan helm gue pada Akio. Dia langsung memeluknya di depan perut, persis sama posisinya dengan saat tadi memeluk helm Luigi.
Gue nggak ngerti. Apa asyiknya meluk helm, sih? Apakah fungsi helm bagi Akio hanya untuk dipeluk seperti boneka?
"Cara pakai helm bukan gitu," ucap gue sambil mengambil helm dari tangan Akio dan memasangnya di kepala. "Nih, kayak gini. Helm itu keras, bisa melindungi kepala dari benturan."
"Akio! Akio!" Si bocil berdiri di sofa dan berusaha melepas helm dari kepala gue.
Takut Akio jatuh, gue membawanya turun ke lantai. Gue ikut duduk gelosoran. Gue melepas helm dan menyodorkannya pada Akio. Namun, belum sempat kedua tangan Akio menyentuh, langsung gue tarik lagi.
"Coba, ini namanya apa dulu?"
"Apah?"
"Helm."
Akio cuma mengangguk. Matanya terkunci pada benda di tangan gue. Lagi-lagi, dia berusaha merebut.
"Tiruin dulu Papa ngomong apa. Nanti Papa kasih. Coba, ngomong he-lem."
"Lem."
"He-lem."
"Ee-lem."
"He-lem."
"Eeee-lem."
Gue tertawa. Akio berusaha keras menirukan bunyi yang gue contohkan. Tak mau buru-buru membuat Akio puas, gue memberikan quiz dadakan untuk Akio.
"Bunyinya kambing gimana?"
"Embeee...."
"Kalau sapi?"
"Embeee...."
"Itu kambing. Kalau sapi 'moo'."
"Moo...."
"Kucing. Kucing gimana?"
"Meong."
"Gimana? Papa nggak dengar."
"MEONG MEONG MEONG."
"Itu mah kucing garong, pakai teriak-teriak."
"Papa Jeffrey, jangan nakalin Akio!" Gladis berteriak memberi peringatan.
"Akio au tuh!" Akio kembali menunjuk helm di tangan gue.
"Ini apa namanya?"
"Eeee-lem."
"Pintar," gue mengusap kepala Akio. Kali ini gue benar-benar memberikan helm padanya. "Mainnya jangan bar-bar ya. Jangan dibanting. Ini untuk dipakai Papa tanding."
"Kasih yang nggak bakal Papa pakai aja. Itu kan banyak helm."
Gue melihat ke arah rak. Ada dua helm lagi yang sudah jarang gue gunakan. Benar juga apa kata Gladis. Lebih baik gue kasih Akio kesempatan main-main sama helm yang memang sudah "rusak". Namun, ketika gue ingin menggantinya, Akio kukuh tidak mau ditukar. Alhasil, gue berjaga-jaga, menjaga agar helm gue tidak rusak di tangannya.
Akio lagi-lagi memeluk helm di depan perutnya. Tidak lama. Gerakan berikutnya adalah kedua tangan Akio memukul helm layaknya gendang. Akio berusaha mengangkatnya, namun tidak bertahan lama. Dia segera meletakkannya kembali ke lantai karena helm itu terlalu besar dan berat baginya, meskipun sesungguhnya tidak lebih dari dua kilogram.
Tak kehabisan akal, Akio menggulingkannya. Gue masih diam, tidak menginterupsi.
Tiba-tiba saja Akio berdiri. Ia menunduk, kepalanya menyundul bagian dalam helm. Rupanya Akio ingin meniru gue, seperti ketika tadi gue memakai helm di kepala.
Tawa gue sontak meledak. Sumpah, Akio tuh lucu banget. Meskipun secara penampakan Akio mirip gue, secara kepribadian dia lebih banyak miripnya dengan Gladis. Akio ingin mencoba banyak hal sendiri, tidak langsung meminta tolong.
Gue acungi jempol untuk kecerdasannya. Siapa yang akan berpikir untuk memakai helm dengan cara menyundul dari atas? Cuma Akio.
"Sini, Papa bantu pakai."
Gue memakaikan helm gue di kepala Akio. Tentu kebesaran. Akio pun tampak oleng menerima beban di atas kepalanya. Kedua alis si bocil menyatu, tampaknya ia merasa sesak dan tidak nyaman karena area pandangnya terbatas oleh visor.
"Nah, sekarang sudah terang," ucap gue sambil menaikkan visor dari area wajah. Seketika kerutan di keningnya menghilang. Gue mendengar Akio tertawa kecil sebagai respon.
Gue dan Akio bermain dengan helm nyaris tiga puluh menit lamanya. Memang ya, menyenangkan hati anak itu nggak perlu barang aneh-aneh. Helm aja cukup untuk bikin dia merasa senang.
Setelah bosan bermain dengan helm, Akio pun meninggalkannya begitu saja di lantai. Kepalanya celingukan mencari Gladis. Dia lalu berdiri dan menghampiri sang ibu. Bagaikan merayu, Akio sengaja ndusel di paha Gladis.
"Sudah selesai main sama Papa?"
"Au empe."
"Sebentar ya. Mama taruh di kotak makan dulu. Kita makan bareng-bareng sama Om Adam."
"Kamu masakin untuk Om Adam juga?" Setelah meletakkan kembali helm di tempatnya semula, gue ikutan menghampiri Gladis.
"Iya. Om Adam bilang kangen mau makan tempe goreng waktu tadi pagi tahu aku nyari toko yang jualan tempe di Qatar." Gladis meletakkan kotak makan yang telah terisi penuh oleh tempe goreng di atas meja.
"Tolong telepon Om Adam ya, Papa. Ketemuan di hospitality aja. Sekalian kita makan malam."
"Aku kan juga suka tempe goreng."
"Ya masa mau dimakan sendiri? Bagi-bagi, dong. Tadi Om Adam sudah bantu kita jagain Akio lho."
"Mama, Akio au empe," Akio merengek sambil menarik-narik celana Gladis.
Gladis menunduk ke bawah melihat raut wajah memelas yang ditunjukkan Akio. "Iya, Sayang. Kita makan tempe." Kini Gladis melihat ke arah gue. "Boleh ya, Papa? Itu masih ada tempe kok di kulkas. Nanti aku masakin lagi kalau kamu memang masih kurang."
Gue jadi nggak tega. Sebenarnya, gue lagi nggak ngebet banget ingin makan tempe goreng. Tidak seperti Akio. Cuma, yah, as usual. Gue suka banget cemburuan nggak jelas kalau lihat Gladis memberi perhatian pada orang lain.
Cowok lain.
"Nggak papa, aku cukup kok." Cup. Gue cium pipinya. "Maaf bikin kamu repot."
--
Di hospitality, berasa lagi makan malam keluarga. Meja isi empat orang, semuanya bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia. Jarang banget gue begini. Meskipun Om Adam lancar berbahasa Indonesia, kita jarang sekali mengobrol menggunakan bahasa itu karena pasti ada saja orang lain yang ikut makan bersama. Otomatis ngobrolnya pakai bahasa Inggris.
Om Adam makan tempe goreng kayak ngidam, semangat bener. Akio yang lihat 'harta karunnya' dirampas, mengeluarkan protes. Haha, padahal tadi pagi Akio melakukan aksi sosial yang heroik dengan mau membagi-bagikan biskuit pada orang yang baru saja dikenal. Kalau tempe, jelas beda cerita baginya.
"Om nggak boleh ambil satu lagi?" pinta Om Adam pada Akio.
"Ndak oyeh."
"Satuuu aja."
"Nya Akio."
"Please, Om Adam sudah lama banget nggak makan tempe goreng," melas Om Adam. Ia menyorongkan buah semangka miliknya. "Om tukar pakai ini, mau?"
Akio menggeleng. Ia menunjuk semangka miliknya sendiri. "Akio nya."
"Anak gue pinter, Om. Dia nggak bisa dijebak."
"Iya, Anjir. Gue jadi nggak bisa makan lagi."
"Heh, bahasa."
"Sorry," Om Adam meringis ke arah gue dan Gladis.
Akio kini menjadi penguasa tunggal kotak makan berisi tempe goreng. Dia cuma mau membaginya ke Gladis. Gue aja nggak dibagi. Akio plays favourite. Nggak asyik.
"Lo bakal ngikut Jef terus, Dis?"
Gladis mengangkat wajahnya dari piring. Ia sempat melirik ke arah gue sebelum menjawab pertanyaan Om Adam.
"Jeffrey minta aku nemenin dia selama pertandingan MotoGP tahun ini. Tahun depan aku sudah mengantungi izin untuk kerja sih, Om."
"Iya juga ya. Bukannya lo sudah jadi dokter spesialis saraf sekarang? Nggak sayang nganggur doang di sini?"
Gladis menggeleng dan tersenyum. "Aku nggak nganggur kok, Om. Sekarang aku lagi jadi full time Mama. Untuk mendidik Akio pun, aku butuh sosok Jeffrey sebagai ayah. Aku bersyukur dengan begini berarti aku dan Jeffrey sama-sama memperhatikan perkembangan Akio."
Gue salut dengan jawaban Gladis. Dia tidak menyalahkan gue, meskipun dulu saat kita berdua memutuskan hal ini dia terlihat lebih condong ingin berkarier di rumah sakit ketimbang ngintilin gue. Dia juga tidak menyalahkan keadaan. Bahkan, Gladis bisa mengambil sisi positif dari tiap kejadian.
"Lebih susah mana? LDM-an atau adaptasi pindah-pindah negara kayak gini?"
"Untuk menjawab pertanyaan itu sekarang kayaknya terlalu cepat, Om. Aku di Qatar aja belum sampai seminggu, hehe." Gladis membalas dengan santai dan penuh kesopanan. "Tapi aku percaya, tiap pilihan selalu diiringi dengan nilai plus dan minus. Dua-duanya susah, tinggal milih mau susah yang mana."
"Mental lo sudah terbentuk, kayaknya mah gampang-gampang aja ya."
"Doakan yang terbaik, Om." Kali ini gue menimpali. "Setelah punya Akio, gue kan juga mau jadi sosok ayah yang ada untuk anak. Gue juga kalau bisa milih, maunya selalu bareng-bareng sama Akio dan Gladis."
Om Adam memperhatikan gue dan Gladis. Entah apa yang ada di otaknya. Bisa jadi dia sedang teringat dengan hubungannya bersama Tante Trisha di masa lampau.
"Tapi, lo pasti bakal bosen, Dis, diam doang di Paddock area. Apalagi Jef kan harus kerja."
"Aku sudah nyusun rencana sejak di Indonesia, Om," Gladis tersenyum malu-malu. Pipinya yang merona bikin gue pengin gigit. "Ini kan kesempatan yang dikasih Jeffrey untuk aku ikut dia keliling dunia. Aku sudah membayangkan nanti aku mau ajak Akio jalan-jalan. Nggak harus sama Jeffrey."
"Sudah sampai bikin SIM internasional lho, Om," Gue mengedikkan dagu ke arah Gladis sebelum mencomot potongan buah. "Kayaknya, niat dia sebenarnya tuh mau keliling dunia, bukan nemenin gue."
"Iihh, kan sekalian, Jeffrey."
Om Adam tertawa mendengar pertengkaran kecil gue dan Gladis. Akio juga bingung lihat papa dan mamanya saling ngotot. Tapi tidak lama. Karena Gladis sudah lebih dulu sadar dan memilih mengalah.
Sebenarnya siapa yang lebih tua sih? Gue kan? Gue empat tahun lebih tua, tapi sifatnya lebih kekanak-kanakan dibandingkan Gladis yang notabene adalah anak bungsu di keluarganya.
"Oh iya, Om. Aku boleh bagi-bagi kado perkenalan nggak sih? Cuma untuk tim Jeffrey aja," tanya Gladis.
"Bagi-bagi apa maksudnya?" justru gue yang kaget. Gladis belum mendiskusikan apa pun ke gue.
"Ya... Kayak misalnya aku kasih bingkisan isi biskuit. Dikit aja kok. Ini bentuk perkenalan aku ke tim Jeffrey, sekaligus menunjukkan terima kasih karena sudah jagain papanya Akio. Terus, untuk jaga-jaga, karena siapa tahu mereka sebenarnya terganggu dengan keberadaan anak kecil."
"Tipikal Asia banget ya," Om Adam berkomentar sambil manggut-manggut. "Kalau di Indonesia tuh, kayak lo bagi-bagi makanan ke tetangga saat baru pindah rumah ya?"
"Iya. Mirip kayak gitu."
"Kalau cuma untuk tim kita doang sih, kayaknya oke-oke aja. Secara, mereka kan memang berhubungan langsung dengan Jef. Asal nggak kasih ke pihak penyelenggara. Takut dikira kasih racun atau bahkan dianggap bentuk gratifikasi."
"Lo mau nakut-nakutin istri gue ya, Om?"
Om Adam tertawa. Ia menepuk-nepuk bahu gue. "Nggak kok, nggak." Ia beralih menatap Gladis. "Boleh kalau lo mau bikin begituan. Tapi hadiah kecil-kecilan aja, jangan sampai bikin orang nggak enakan. Jangan bikin diri lo sendiri repot juga. Lagi pula, tanpa itu pun, mereka pasti menerima kehadiran lo dan Akio. We are family."
Gladis menghela napas lega. Wajahnya yang semula sedikit memucat, kini kembali menunjukkan rona merah muda.
"Okay, Om."
"Tapi jumlah anggota tim kita ada banyak lho."
"Berapa?"
"Tiga puluhan. Itu tim Jef doang lho ya. Mulai dari gue sebagai ketua tim, terus ada kepala mekanik, mekanik umum, dan ahli telemetri."
"Cuma segitu?"
"Itu tim Jef. Kalau total tim pabrikan kita mah jangan ditanya. Banyak banget. Gue aja nggak tahu ada berapa," sahut Om Adam. "Sudah, lo kalau mau bagi-bagi untuk tim kita aja. Nggak perlu ngurusin yang lain-lain."
Gladis mengangguk patuh. "Siap, Om."
"Memang mau bikin apa, Shasha?"
"Rahasia dong," balas Gladis dengan nada ngajak bermain. "Kamu nggak perlu tahu. Biar jadi kejutan dari aku dan Akio."
---
Jangan lupa tekan bintang dan berikan komentar 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro