Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4| Adaptasi Akio

Orisha Gladis Alaia

Jeffrey memperkenalkan beberapa rekan kerjanya padaku. Ada banyak wajah yang baru aku lihat untuk pertama kali. Sebenarnya, terhitung hingga hari ini aku sudah empat tahun menikah dengan Jeffrey. Rasanya sangat terlambat untuk memperkenalkan diri seperti ini. Untung saja banyak dari mereka yang menyambutku dan Akio dengan baik.

Menuruti keinginan Jeffrey, aku dan Akio bersiap-siap ikut pergi ke venue tempat meet and greet diadakan. Aku berusaha memposisikan diri sebaik mungkin. Aku tidak berdandan neko-neko, namun tetap menunjukkan bahwa aku adalah wanita berkelas.

Aku sadar diri. Dibandingkan pasangan para pembalap lain, aku tidak terlihat sebanding. Penampilanku kelewat sederhana.

Tidak jarang aku merasa minder. Kurasa, aku tidak secantik model. Bahkan mungkin saja kecantikanku tidak melebihi cantiknya umbrella girl.

"Kamu tuh cantik banget. Nggak pantas dibandingkan dengan yang lain."

"Cantik gimana?"

"Ya, pokoknya cantik. Beda lah. Aura kamu beda. Cantik luar dalam. Cantiknya kamu nggak ngebosenin."

Berbekal pujian dari Jeffrey, tingkat rasa percaya diriku naik. Meskipun malu dan rikuh bertemu dengan banyak orang baru, aku selalu berusaha tersenyum.

Aku juga mendapat banyak bantuan dari Akio. Lumayan menguntungkan punya anak menggemaskan sepertinya. Akio bisa aku jadikan tameng, jadinya bukan aku yang disorot, tapi Akio.

Seperti siang ini. Selagi Jeffrey dan pembalap lainnya menyapa para fans di atas panggung, aku dan Akio menunggu di samping panggung, tempat para staf. Kami tidak sendiri. Steven, asisten Jeffrey, ikut menemani. Dia banyak membantuku mengasuh Akio.

Aku melihat jelas dari monitor. Mereka yang di panggung sedang bermain games. Tantangannya adalah menari.

Tak kusanhka Akio ikut menari sambil melompat-lompat. Ia bahkan tertawa kesenangan. Musik yang berdentum membuat Akio tertarik untuk terus bergerak.

Beberapa fans Jeffrey melihat. Perhatian yang awalnya tertuju padaku kini terarah sepenuhnya pada Akio. Maklum, kehidupan pribadiku sebagai istri Jeffrey jarang sekali tersorot kamera. Begitu kini terlihat, langsung ada tontonan baru, yaitu buntut Jeffrey ikut beraksi.

"Akio," panggilku panik. "Jangan jauh-jauh. Sama Mama aja."

Akio menurut. Kaki kecilnya berlari menghampiriku, tak lagi melompat-lompat nyaris menyentuh pagar pembatas para fans. Akio masih tertawa kesenangan, seolah ia ikut tertawa bersama mereka.

Usahaku terlambat beberapa detik. Kegaduhan yang ditimbulkan Akio terlanjur dilihat mata pembawa acara. Awalnya aku was-was, namun Akio malah dipanggil naik ke atas panggung.

"Is it okay?" tanyaku tak yakin pada Steven. Dia sudah berniat membawa Akio ke panggung.

"Menurutku tidak apa-apa. Ini bukan acara yang serius dan formal."

Aku berjongkok di depan Akio, menyesuaikan level pandangannya. "Akio mau naik panggung sama Papa?"

"Au!"

"Kalau gitu, jangan jauh-jauh dari Papa ya."

"Iyah!"

Anaknya mau, ya sudah. Aku membiarkan Steven menggenggam tangan Akio, menuntunnya menaiki tangga menuju panggung. Di atas sana, Jeffrey sudah menunggu. Akio langsung tiba di dalam dekapan sang ayah. Sorak sorai penonton pun kembali terdengar.

Aku mengawasi dari bawah, takut Akio mengacaukan suasana. Untungnya, Akio termasuk anak penurut. Ia tidak pernah jauh dari Jeffrey. Saat screen time Akio berakhir, Jeffrey mengembalikan Akio pada Steven.

Akio dioper padaku. Agar cepat, aku membawanya masuk ke dalam gendongan. Kusembunyikan wajahnya ke ceruk leherku. Tak kusangka, Akio malah asyik membalas beberapa lambaian tangan yang dilayangkan untuknya.

Duh, Akio. Belum apa-apa sudah punya temen aja.

--

"Akio cepat tidurnya," ucapku sambil mengusap peluh di dahi Akio dengan telapak tangan.

Saat penutupan acara meet and greet, saat itu juga Akio melendot tidur di dadaku.

Aku heran, bagaimana bisa ia tidur dengan suasana seramai itu di sekitarnya? Mungkin karena capek bermain, dia jadi kehabisan energi. Mungkin juga karena sebenarnya Akio melewatkan waktu tidur siangnya alias masih dalam kondisi jet lag.

Jeffrey meraih tas Akio dan mengambil tisu dari dalam sana. Ia menyerahkannya padaku. Otomatis, kini aku bergerak mengelap peluh di wajah Akio dengan tisu pemberian Jeffrey.

"Jadi gimana nih? Mau lanjut jalan-jalan di Doha dulu nggak?"

"Kamu bukannya sudah janji mau beliin Akio tempe?"

"OH IYA!"

"Tepatin janji dulu. Toh, kalau misalnya capek gendong Akio, kita bawa stroller di belakang."

Jeffrey menengok ke belakang, melihat ke bagasi mobil. Dia mengangguk paham. Jeffrey langsung meminta pada Steven yang duduk di kursi penumpang depan untuk mencarikan toko penjual tempe. Untung saja bayaran Steven mahal, kalau tidak, sepertinya dia enggan menuruti segala permintaan Jeffrey.

Perlu diingat. Kini, Steven juga secara tidak langsung bersikap layaknya baby sitter Akio. Aku jadi tak enak hati.

Kita belanja tidak terlalu lama. Tujuan utama berburu tempe sudah tercapai. Mumpung Akio masih tidur, aku mengajak Jeffrey belanja beberapa peralatan yang sekiranya dibutuhkan olehku dan Akio nantinya.

"Kamu seneng, nggak?" tanya Jeffrey.

"Seneng dalam hal apa nih?" tanyaku balik meminta penjelasan.

"Pergi ke Qatar ikut aku."

Aku mengalihkan perhatian sejenak dari rak pendingin buah-buahan untuk menatapnya. Aku melempar senyum. Wajah khawatir Jeffrey terlihat menggemaskan.

"Seneng kok. Sejauh ini juga nggak ada yang susah. Semua aman terkendali."

"Mulai hari Senin nanti, aku bakal makin sibuk. Ada opening party, olahraga rutin, diskusi bersama kru. Hari Jumat masuk sesi free practice. Sabtu lanjut FP 3 dan 4, lalu babak kualifikasi. Minggu malam baru race."

"Terus kenapa?"

"Bisa-bisa aku nggak ada waktu untuk kamu dan Akio. Padahal aku sendiri yang ngajak kamu ke sini."

"Santai aja, Jeffrey. Kita berdua sudah biasa apa-apa sendiri."

"Jangan sampai terbiasa," Jeffrey merengut tak suka. "Aku mau diandalkan oleh kamu dan Akio."

Aku nyengir melihat reaksinya. "Iya, lihat nanti."

"Shasha...."

Jeffrey terus merengek. Bahkan dia tidak malu lagi merengek padaku di depan Steven. Kurasa urat malunya benar-benar sudah putus. Jeffrey yang terlihat garang di sirkuit, di depan anak dan istri malah terlihat imut.

Sesuai janjinya pagi tadi, Jeffrey mengajakku jalan-jalan di sekitar area Paddock. Aku naik motor scooter, berboncengan dengan Jeffrey. Akio kita titipkan pada Om Adam.

Kalau diingat-ingat, aku dan Jeffrey jarang sekali naik motor berdua. Hm, atau nggak pernah ya? Kami selalu naik mobil kemana pun pergi saat di Indonesia. Agak disayangkan baru kali ini aku membonceng Jeffrey, padahal suamiku ini hobi menggeber mesin motor.

Awalnya, Jeffrey memang mengajakku melihat-lihat Paddock area. Setelahnya, dia membawaku ke jalanan yang sejajar dengan sirkuit.

Suara Jeffrey yang bercerita dengan semangat pengalamannya bermain di sirkuit ini, terbawa angin dan masuk ke telingaku. Aku tidak begitu mengerti ucapannya perihal "Section 4", "Turn 6", dan terminologi khusus lainnya, tapi dari caranya menuturkan kata, aku mengerti bahwa Jeffrey menyukai pekerjaannya.

Ketika kita kembali, langit sudah mulai menguning. Seberkas sinar matahari memantul indah di dinding kontainer tempat peristirahatan kami. Perjalanan sore ini membuatku sadar bahwa motorhome milik Jeffrey terhitung "besar" dibandingkan beberapa motorhome lain.

Lagi-lagi, fakta bahwa Jeffrey adalah legenda yang pernah memenangkan juara dunia kelas MotoGP lima kali berturut-turut plus satu kali lagi juara dunia dua tahun lalu, membuatku tercengang. Jangan lupakan kejuaraan-kejuaraan di kelas lain yang berhasil Jeffrey raih di masa muda.

"Aku duluan ya. Takut Akio nyariin," pamitku begitu turun dari motor. Padahal Jeffrey belum mematikan mesinnya.

Sampai di dalam, suasana hening. Tidak ada Akio, tidak ada Om Adam. Kemana perginya mereka berdua?

"Jeffrey," panggilku sambil melongok keluar. Jeffrey rupanya tidak langsung masuk ke dalam karena sedang menyapa seseorang. "Akio nggak ada."

Jeffrey bertukar kata beberapa saat pada lawan bicaranya sebelum ia menghampiriku. "Beneran nggak ada?"

"Iya," jawabku. Aku meneliti rak sepatu di sebelah kanan pintu masuk. "Sepatu Akio dan Om Adam juga nggak ada. Mereka lagi pergi keluar?"

Jeffrey merogoh saku dan menghubungi Om Adam. Ternyata mereka berdua sedang berada di motorhome sebelah, tempat Luigi. Kulihat, raut muka Jeffrey langsung menggelap. Dia masih memendam rasa kesal pada Luigi.

"Jeffrey," panggilku sambil menahan tangan Jeffrey agar tidak buru-buru menggerebek rumah temannya. "Jangan marah-marah ya. Papanya Akio cuma kamu kok. Cemburu sewajarnya aja."

"Then, can you give me a kiss?" Aku terkejut mendengar permintaannya. "For reassurance."

Kucubit pinggangnya tanpa ampun. Enak saja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku tidak mau mengikuti permainan Jeffrey.

"Aku pergi duluan," pamitku sambil berjalan menuju motorhome Luigi. Aku belum pernah bertamu ke sana, tapi aku tahu pasti mana motorhome milik Luigi. Nomor pembalap Luigi dilukis besar-besar di badan truknya.

Jeffrey buru-buru menyusul. Dia mengetuk pintu, sebelah tangannya menarikku untuk bersembunyi di balik punggungnya.

Hmph, separno itu kah dirinya pada Luigi?

"Hi, Jef!" Luigi membuka pintu. Ketika sadar bahwa aku datang bersama Jeffrey, dia juga menyapaku. "Hi, Gladis! Long time no see you!"

"Hi! How do you do?"

Aku melambai sambil tersenyum lebar. Aku dan Luigi sudah seperti teman dekat. Kami seumuran dan dia pernah menyelamatkanku di masa lalu.

"Good. Pretty good," jawabnya. Ia mengedikkan dagu dan menyingkir dari depan pintu. "Come in. Akio ada di dalam."

Aku mendahului Jeffrey. Di ruang tengah, Akio sedang duduk selonjor, melantai. Ia memeluk helm milik Luigi di depan perutnya. Kepala Akio bersandar di atasnya. Tampak nyaman dengan posisi itu, dia tidak buru-buru menghampiriku seperti biasa.

Oh My God! Semoga Jeffrey tidak akan marah melihat putranya menjadi fans dari pembalap lain.

"Apakah itu helm milikmu?" tanyaku.

"Ya, Akio ingin melihatnya, jadi aku biarkan ia melihatnya dari dekat."

"Ngh, maaf Akio telah menyusahkanmu."

"No, no. Aku senang bermain dengannya."

"Akio, Papa punya yang kayak gitu di rumah." Jeffrey menghampiri Akio dan berusaha melepas helm Luigi dari pelukan Akio.

"Nya Om Igi," Akio tidak mau mengalah. Ia mengusir sang ayah agar tidak merebut mainannya.

Aku segera melerai Jeffrey dan Akio. Heran, Jeffrey ini memang suka cari ribut dengan siapa pun, termasuk dengan Akio. Biasanya Jeffrey melakukannya hanya untuk sekadar menggoda. Namun aku yakin kali ini ada faktor lain yang membuat Jeffrey bertindak seperti itu.

"Akio, ini punya Om Luigi, kan?" tanyaku pada Akio sambil menunjuk helm di pelukannya. Aku tidak berusaha mengambilnya secara paksa.

"Iyah," Akio mengangguk dengan raut wajah penuh determinasi untuk menjaga benda di tangannya.

"Dikembalikan ke Om Luigi ya," bujukku. "Papa punya yang kayak gini juga. Nanti kita main bareng-bareng di rumah."

"Ndak mau."

"Kasihan Om Luigi. Ini mau dipakai sama Om," ucapku lagi. "Dikembalikan ya, Sayang. Yuk, Akio kan anaknya Mama yang pintar. Nanti Mama masakin tempe goreng."

"Empe?"

"Iya, tempe. Papa sudah beliin tempe untuk Akio, lho."

"Au empe."

"Ya sudah, ini dibalikin dulu ke Om."

Tempe memang segala-galanya bagi dunia Akio. Dia mau menukar helm Luigi dengan iming-iming diberi makan tempe. Menuruti perkataanku, Akio mengembalikannya tanpa merasa dipaksa pada si empu.

"Ma'acih, Om."

Akio sedikit membungkuk badan, seperti orang Jepang. Entah darimana dia belajar bahasa tubuh seperti itu.

Aku, Jeffrey, dan Akio berpamitan. Padahal tadi Akio terlihat enggan melangkah keluar dari motorhome Luigi, namun kini ia malah menarik tanganku agar segera sampai di tempat istirahat kami sendiri. Karena tenaganya kalah, ia sampai terjatuh. Untung saja wajah Akio tidak terluka membentur aspal. Hebatnya, ia langsung bangun tanpa menangis dan menarik-narik tanganku lagi agar segera jalan.

"Bukan ke arah sana, Akio. Kita belok kiri," ucapku sambil tertawa karena Akio salah arah.

"Sini?" Akio menunjuk ke kanan. Ia sengaja memiringkan kepalanya, seperti kebingungan. Ugh, wajahnya benar-benar menggemaskan!

"Bukan, tapi ke sini," aku menunjuk arah yang benar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro