Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3| Pagi Pertama

Orisha Gladis Alaia

Pagi pertama terbangun di Paddock area!

Aku membuka mata dengan semangat. Begitu melihat di sebelah hanya ada Akio tanpa Jeffrey, aku langsung ingat bahwa dua cowokku itu sedang bertengkar. Kamar utama yang biasanya digunakan oleh Jeffrey seorang diri, kini malah aku tempati berdua saja dengan Akio.

Dengan ini, aku punya misi. Di akhir hari Akio dan Jeffrey harus berdamai. Sebagai pihak netral, aku tidak akan memihak pada salah satunya.

Dengan penuh kehati-hatian kusingkirkan selimut ke samping, berusaha keras tidak membuat Akio bangun secara tiba-tiba. Aku keluar dari kamar sambil menggulung rambut ke atas, just out of habit. Aku tidak tahu bahwa ternyata tatanan rambut begini akan memperlihatkan tanda cinta buatan Jeffrey semalam.

"Pagi, Gladis!"

Hah? Ada Om Adam? Kenapa Jeffrey nggak bilang-bilang dulu, sih?!

"Pagi, Om Adam," balasku kikuk. Untuk menjaga kesopanan, aku mendekat dan memberi salam cium punggung tangan sebagai bentuk unggah-ungguh khas Indonesia.

"Jef bikin lo capek terus ya?"

"Maksudnya, Om?"

"Baru nyampe sini malah minta jatah." Om Adam menunjuk lebam merah yang mulai membiru di leher. "Kalau Jef berulah, getok aja kepalanya."

"Om, jangan lihat-lihat punya gue dong!"

Suara Jeffrey terdengar dari belakang. Aku otomatis menoleh. Rambutnya yang masih basah menjelaskan bahwa Jeffrey baru saja selesai mandi.

"Turunin aja rambut kamu," ucap Jeffrey dengan nada memerintah.

Jemari Jeffrey menarik lepas jepit rambutku. Ia kemudian menunduk dan menanamkan ciuman di bibir. Semuanya berlangsung dalam waktu singkat, membuatku kaget sekaligus malu karena memikirkan perbuatan Jeffrey barusan mungkin menjadi bahan tontonan Om Adam.

"Good morning, Shashayang!"

"Jeffrey!"

"Santai aja, Dis. Gue nggak lihat."

Ugh, mukaku pasti sudah memerah. Ucapan Om Adam sama sekali tak membuatku tenang. Justru, kalimatnya tadi malah makin membuatku yakin bahwa Om Adam telah melihat semuanya.

Aku melayangkan tatapan tajam. Jeffrey hanya merespon dengan mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum jahil. Ia memang tidak tahu malu.

"Maaf ya, Om, aku baru bisa sapa Om sekarang. Jeffrey nggak kasih tahu kalau Om Adam sudah ada di sini."

"Dia mah gitu. Semalam saja Jef kesal sama Luigi karena Akio dekat sama dia. Padahal Luigi juga nggak mungkin culik Akio begitu saja. Luigi memang suka sama anak kecil."

Kedua alisku terangkat. Jadi itu masalahnya? Jeffrey marah pada Akio karena cemburu?

"Akio dekat sama Luigi? Kok bisa, Om?" Aku yang tertarik ingin mengulik lebih jauh, menarik kursi di depan Om Adam dan mulai menjalankan mode bergosip.

"Jef manggil Akio pakai sebutan boy terus. Akio nggak suka, maunya dipanggil pakai nama."

"Oh ...."

"Bukan gitu!"

Jeffrey nimbrung tak terima. Dia baru saja keluar dari kamar, kali ini sudah berganti pakaian menjadi kemeja penuh tempelan berbagai nama sponsor, sama seperti yang dipakai Om Adam.

"Aku nggak ngerti Akio ngomong apa, tapi Luigi bisa tahu dalam waktu dekat. Bukan cuma masalah nama, semua-mua-mua-nya, Akio cuma mau ngomong ke Luigi."

Mulai, deh. Kumat nih Jeffrey.

"Memang Akio blubbering pakai bahasa Inggris? Kok bisa-bisanya kamu nggak tahu Akio ngomong apa."

"Masih mending kalau Akio ngomong pakai bahasa Inggris. Lah, ini dia ngomong pakai bahasa planet lain. Ya, mana aku ngerti?!"

"Come on, Man. You're ridiculous," ejek Om Adam.

"Indeed," sahutku menyetujui.

Jeffrey berdecak. Melihat raut wajahnya, aku tak bisa menahan tawa. Jeffrey ingin dekat dengan Akio. Mengaku begitu aja kok susah banget? Gengsi sama anak sendiri nih ceritanya?

"Shasha, kamu lebih percaya Om Adam daripada aku?!"

"You're not a drama king, Jeffrey."

"Ugh."

Perhatianku beralih pada Om Adam. Melihatnya sepagi ini sudah berada di tempat Jeffrey, membuatku bertanya-tanya. Apakah ia datang untuk menjemput Jeffrey? Oh ya, aku belum tahu jadwal Jeffrey hari ini. Semalam aku ingin menanyakannya, tapi keburu Jeffrey ngambek dan memilih tidur di kamar lain.

"Om Adam sama Jeffrey habis ini langsung kerja ya?"

"Hari ini gue nggak kerja bareng Jef. Dia mau ke Doha, gue di sini aja."

"Kok beda?"

"Iya, gue mau kerja sama para mekanik, nyiapin motor. Kalau dia, mau ada syuting dulu." Om Adam menjawab lugas.

"Syuting?"

"Lebih tepatnya, meet and greet. Tapi ditayangkan di televisi channel sport secara live."

Ternyata pekerjaan Jeffrey banyak. Bukan melulu balapan di sirkuit, tapi juga dijadikan sebagai alat promosi. Yah, lihat saja bajunya. Penuh tempelan begitu, apa artinya kalau bukan untuk promosi?

"Kamu mau ikut, Shasha?"

Jeffrey duduk di sebelahku. Tangannya nangkring di punggung kursi yang kududuki. Kebiasaan, bahasa tubuhnya ketika sedang ada orang lain di sekitarku pasti begitu. Seolah ingin menyatakan bahwa aku hanya miliknya dan jangan coba-coba merebutku.

"Aku mau ke Doha sih, cuma... aku nggak tahu apa-apa tentang Paddock area."

"Kamu ikut aku dulu ke Doha. Sorenya aku ajak muter-muter area sini."

Aku mengangguk mengiyakan. Yah, seperti itu saja. Aku tidak ingin merepotkan Jeffrey dengan mengacaukan jadwal kerjanya.

"Kalau gitu aku mau persiapan dulu," ucapku penuh tekad sambil berdiri dari tempat duduk. "Aku boleh minta tolong urus Akio? Dia masih tidur, kayaknya ngikutin jadwal tidur Indonesia. Kasihan kalau ditinggal sendiri. Packing perlengkapannya Akio juga ya?"

Jeffrey tanpa diperintah dua kali langsung menurut. Melihat aku dan Jeffrey yang pagi-pagi sibuk bekerja sebagai orang tua, Om Adam pun memilih hengkang dari tempat tinggal kami.

--

Persiapan selesai. Jeffrey membawa stroller menuruni tangga. Sedangkan aku membawa Akio yang masih betah di alam mimpi, belum ingin bangun. Hati-hati kuletakkan Akio di atas kereta dorongnya. Akio hanya menggeliat, sepertinya dia sedikit tidak nyaman karena suara-suara di luar ruangan.

Tahan sebentar ya, Nak. Jangan nangis tiba-tiba. Nanti Mama repot.

"Kamu tahu nggak sih?"

"Hm?"

"Kalau kamu lagi kayak gitu, cantiknya jadi berkali-kali lipat."

Aku menegakkan punggung setelah selesai menyelimuti Akio. Aku melihat ke arah Jeffrey yang ternyata dari tadi memperhatikanku. Kilat matanya berbeda.

"Gitu gimana?"

"Kalau lagi ngurus anak, hehe."

"Gombal deh."

Jeffrey masih terkekeh. "Ayo ke hospitality."

Aku dan Jeffrey berjalan bersisian tanpa terburu-buru. Ia menjelaskan beberapa hal yang kita lewati selama perjalanan. Kata Jeffrey, ini pertama kalinya ia bisa mengamati suasana sekitar Paddock area dengan tenang. Biasanya, kalau sudah punya tujuan ke suatu tempat, matanya tidak akan jelalatan kemana-mana.

"Kayak aku ke kamu. Begitu niat mau nikahin kamu, aku nggak noleh kanan-kiri lagi."

Aku memutar bola mata. "Mulai deh. Mulutnya manis banget."

Dengan gemas, Jeffrey mencubit pelan pipiku. "Godain istri sendiri nggak boleh?"

"Boleh. Harus malah."

"Nah, makanya, tugas kamu kalau lagi aku bikin seneng tuh cuma seneng-seneng aja."

"Jeffrey...."

Kusingkirkan tangan Jeffrey dari wajahku. Malu. Ada beberapa pasang mata yang secara terang-terangan melihat ke arah kami.

Sambil bicara santai, kita sampai juga di hospitality. Ternyata, ada dua jenis hospitality, yang disediakan oleh tim Jeffrey dan yang disediakan oleh pihak penyelenggara lomba. Untuk yang kedua ini, lebih sering disebut sebagai VIP lounge, hanya orang-orang ber-name tag khusus yang bisa masuk ke sama, termasuk pembalap. Kalau aku dan Akio tidak bersama "orang khusus itu", jelas kami tidak boleh masuk.

"Kamu mau kemana? Yang punya tim aku atau VIP lounge?"

"Terserah kamu."

"VIP lounge ya? Kita makan enak dulu. Semalam aku sama Akio sudah pergi ke yang satunya."

Aku hanya menurut. Jeffrey mendorong stroller Akio dengan semangat. Padahal dia bilang semalam sudah makan. Apa ada black hole di perutnya?

VIP lounge ternyata dunia yang sama sekali berbeda. Di dalamnya banyak sekali orang terkenal. Pembalap yang hanya aku tahu dari TV dan kanal YouTube, kini terpampang jelas di depan mata.

Napasku terhenti kala mendapati Valentino Rossi di sisi lain ruangan, legenda MotoGP yang sebenarnya sudah pensiun sebagai pembalap sejak beberapa tahun lalu. Di sampingnya, ada Marc Marquez, pembalap jebolan dari tim lain. Otakku tak bisa bekerja dengan benar, kakiku berhenti tak menurut pada perintah.

"Shasha? Hello?" Jeffrey menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku.

"Kamu ngeliatin apa sih?" tanya Jeffrey penasaran. Ia mengikuti arah mataku memandang. "Oh, Rossi. Meja di sebelahnya kosong. Mau duduk di sana?"

"Pilih meja yang paling jauh," pintaku memaksa. Tanpa sadar aku meremas lengan baju Jeffrey. "Aku nggak bakal bisa makan dengan tenang kalau bersebelahan sama para legenda."

"Shashayang, aku juga legenda lho."

Aku ingin menarik Jeffrey menjauh, namun ternyata Jeffrey sudah keburu dipanggil Rossi. Jelas mereka saling kenal. Rossi adalah pelatih, mantan teman satu tim, sekaligus rival di sirkuit bagi Jeffrey. Aku tidak bisa kabur. Jeffrey pun telah membawa kereta dorong Akio ke arah sana.

Ternyata, baik perpaduan Rossi, Marc, dan Jeffrey, ketiganya tidak bisa menandingi pesona kehadiran Akio. Saat membuka mata terbangun dari tidurnya, hal yang pertama kali Akio lihat justru wajah orang lain. Akio tentu kaget sekaligus panik. Tangisnya pun pecah.

"Sssttt, Mama di sini, Sayang. Cup, cup. Nggak papa, nggak papa." Aku segera melepas sabuk pengaman stroller dan mendekap tubuh Akio.

Untungnya, Akio segera tenang. Tidak semua orang suka pada anak kecil. Aku takut Akio akan dibenci.

"I am startled you?" Marc terdengar menyesal. "I am sorry."

"Tidak masalah," balas Jeffrey. "Dia bayi yang tidak biasa. Tangisnya akan langsung berhenti saat sedang berada di pelukan ibunya."

"Aku tahu beratnya mengurus anak," timpal Rossi. "Aku jadi merindukan putriku."

Jeffrey memperkenalkanku pada dua temannya. Akio yang sudah tenang pun, ikut berkenalan. Mata Akio berkedip-kedip, memperhatikan wajah Rossi dan Marc dengan seksama. Air matanya yang masih tersisa di pelupuk mata membuatnya terlihat menggemaskan.

Wah, apakah momen ini harus aku abadikan? Kalau Akio sudah besar nanti tahu bahwa tangannya pernah bersinggungan dengan tangan para pembalap legenda, dia pasti akan bangga.

"Shasha, aku ambilkan makan ya."

"Iya, makasih, Papa Jeffrey."

"Akio juga mau?"

Kali ini Jeffrey bertanya pada Akio. Jeffrey membersihkan jejak air mata dari pipi putranya.

Tanpa disangka, Akio justru mengulurkan tangan. Akio seolah lupa bahwa malam sebelumnya dia sedang bertengkar dengan sang ayah. Ini pertama kalinya Akio mencampakkanku dan lebih memilih ikut dengan Jeffrey.

"Itut," pinta Akio.

Wajah Jeffrey berseri-seri. Ia segera mengambil Akio dari gendonganku. Jeffrey dan Akio pergi berdua mengambil makanan prasmanan.

Karena kealpaan Jeffrey, aku serasa mati kutu. Aku berusaha mempertahankan rasionalitas. Well, meskipun hatiku berdebar tak karuan karena ditinggal bersama Marc dan Rossi, aku tidak boleh norak. Kami mengobrol santai. Untung saja cowok-cowokku pergi tidak terlalu lama.

"Akio nggak makan?" tanyaku saat Jeffrey kembali hanya membawa dua piring, untukku dan untuk dirinya.

"Aku tawarin dia geleng-geleng terus."

Kulihat, Akio memang hanya mengekori kemana pun Jeffrey pergi. Tangan kecilnya mencengkeram celana sang ayah, takut kehilangan arah. Akio mencuri pandang ke meja Rossi dan Marc, masih berlindung di belakang kaki Jeffrey.

Haha, ternyata Akio tidak benar-benar mencampakkanku. Dia minta ikut Jeffrey pergi karena itu lah kesempatannya untuk menjauh dari Rossi dan Marc. Mungkin bagi Akio, keduanya dianggap sebagai ancaman.

"Akio makan sama Mama ya."

"Iyah."

Akio mengangguk patuh. Dia berpindah haluan. Tak lagi mempedulikan Jeffrey dan langsung duduk di sebelahku.

Secara naluriah, seorang ibu akan memberikan segalanya untuk buah hati. Aku pun begitu. Aku memberikan isi piringku untuk Akio. Akio menunggu dengan sabar saat aku memotong-motong daging di piring menjadi ukuran yang pas untuknya.

"Aku ambilin kamu makanan lagi," akhirnya Jeffrey kembali berdiri.

"Jangan terlalu banyak. Piring yang ini aku bagi dua bareng Akio."

Jeffrey mengangguk. Ia pun kembali pergi berburu makanan.

"Apa dia sudah bisa makan itu?"

Rossi bertanya sambil memandangi Akio tak henti-henti. Sepertinya, ucapannya tadi tentang merindukan sang putri memang benar. Terbukti Rossi melihat Akio dengan senyum kebapakan di wajahnya.

"Ya. Dia sudah dua tahun. Nafsu makannya nyaris sama besar seperti orang dewasa."

"Bagus. Dia akan cepat tumbuh besar kalau begitu."

"Hei, mau biskuit?" Marc mencoba menarik perhatian Akio. Ia menggoyang-goyangkan sekeping biskuit di tangannya.

Sejujurnya, aku tidak suka jika anakku makan camilan di saat jam makan besar. Namun karena yang memberikannya adalah seorang Marc, aku tidak bisa protes. Aku diam saja dan mengamati reaksi Akio dari samping.

Akio melirikku, seolah meminta persetujuan. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Kalau Akio mau, boleh. Jangan lupa bilang makasih."

Akio melepas garpu dari tangannya. Ia memberanikan diri beringsut mendekati Marc. Setelah mengambil biskuit dari tangan Marc, Akio menganggukkan kepala sambil berucap terima kasih dalam bahasa yang tidak begitu jelas. Aku segera menerjemahkan ucapannya pada Marc.

Kejadian berikutnya, sungguh di luar dugaan. Akio tidak serta merta menguasai sekeping choco chips cookies itu seorang diri. Akio memotongnya menjadi dua. Masing-masing potongan, ia bagi dua lagi. Total ada empat potong. Ia mendistribusikan tiap potongan pada Marc, Rossi, aku, dan terakhir masuk ke mulut Akio.

Aku sebagai ibunya saja kaget. Apalagi Rossi dan Marc. Aksi Akio memicu reaksi gemas beberapa orang lain yang melihat. Bahkan, seperti mendapat panggung, orang-orang mulai bertepuk tangan.

"Ada apa nih?" Jeffrey kembali dengan wajah bingung.

"Anakmu hebat," puji Rossi sambil memberi ibu jari ke arah Jeffrey.

Aku tersenyum memberi tanggapan. Kubiarkan Jeffrey mendapat penjelasan dari Rossi dan Marc. Aku sendiri memberi penghargaan pada Akio berupa usapan dan kecupan di puncak kepalanya.

Dengan begini, aku tidak perlu khawatir. Akio mampu beradaptasi dengan baik. Aku yakin kehidupan kami selama beberapa hari ke depan di Paddock area tidak akan terlalu berat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro