Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16| Cinta yang dipertanyakan

Jeffrey Esa Kurniawan

Gladis mabuk.

Membayar taksi dengan tangan kiri, gue berusaha menahan Gladis agar tidak keburu keluar tanpa gue dengan tangan lainnya. Gue berhasil menyeret Gladis ke kamar selamat sentosa. Sedang ingin buru-buru, tali tas Gladis yang gue gantungkan di leher gue, malah nyangkut. Gue memaki tanpa sensor, toh Gladis sedang mabuk, nggak bakal marahin gue.

"Shasha, wait, jangan ke sana," gue buru-buru meraih pinggang Gladis, melarangnya pergi ke arah lain.

Setelah melewati beberapa kesulitan, akhirnya gue berhasil membuka pintu kamar. Gladis langsung masuk dan melemparkan diri ke atas kasur. Seperti bayi, ia merangkak, masuk ke dalam selimut secara mandiri.

"Bentar, Shasha. Sepatu kamu."

Jujura ya, susah banget. Ini pertama kalinya Gladis minum dan dia langsung menantang diri mencapai batas maksimal. Gue sudah berusaha menghentikan, tapi Gladis bandel. Untuk ukuran newbie, Gladis hebat juga sih, bisa bertahan dua gelas sebelum ada tanda-tanda tipsy.

Mabuknya Gladis masih tergolong mabuk yang tenang. Dia nggak banyak bicara, cuma cegukan. Bedanya, Gladis suka berkeliaran kesana-kemari. Bikin gue kelabakan harus mengejarnya tanpa henti.

Gue lepas sepatu Gladis. Gue siapkan air hangat dan handuk sebelum menyekanya. Ketika gue berniat membalik tubuh Gladis, berusaha menjangkau resleting di bagian punggung, tangan gue ditangkap. Gue kira Gladis sudah tidur, rupanya mata indah itu terbuka lagi.

"Jeffrey."

"Ya?"

"Jeffrey."

"Iya, Shasha?"

Gue duduk di pinggir kasur, gue biarkan Gladis memegangi tangan gue. Gue nggak beranjak sedikit pun, berusaha memasang telinga mendengar tiap perkataan yang keluar dari bibir istri gue. Ucapan orang mabuk biasanya tuh ngalor-ngidul, tapi isinya adalah kejujuran.

"Jeffrey... suami aku."

Gue sudah senyum-senyum sendiri mendengarnya. Gladis mabuk malah kayak menyatakan cinta. Gue kan jadi salting, salah tingkah.

"Nyebelin."

What? Gue nggak salah dengar, kan?

"Nyebelin banget, huhu."

Lho kok Gladis malah nangis?

"Aku... Aku kesel.... Karena dia suami aku, aku nggak bisa maki-maki," Gladis masih menangis dan bicara, seolah gue ini tidak ada. "Aku cuma mengumpat satu kali. Itu pun dalam hati. Huhu, nyebelin, nyebelin."

Gue usap pipi Gladis yang basah. Tersenyum sendu, gue balas ucapannya. Bodoh banget gue, ngomong kok sama orang mabuk.

"Nggak papa. Sekarang kamu boleh maki-maki Jeffrey. Nggak ada yang dengerin.

"Bener?" Gladis berusaha menahan isak tangisnya.

"Iya."

"Jeffrey...."

Gue mengerutkan kening kala Gladis malah terdiam dengan mata tertutup. Napasnya mulai teratur. Apakah dia tidur?

"Brengsek! Sialan! Pengecut!"

Gue kaget. Beneran kaget. Gue sudah siap-siap akan membersihkan tubuh Gladis, tiba-tiba segala makian keluar dari mulutnya. Bener-bener kayak senapan yang langsung cus-cus-cus mengeluarkan banyak peluru dalam satu kali tembakan.

--

Menjalani hubungan dalam waktu yang lama bukan jaminan pasangan sudah mengerti satu sama lain. Jika ada yang bilang "aku tahu dia luar dalam", it's bullshit. Nggak ada orang yang benar-benar tahu isi hati orang lain. Seseorang saja kadang kebingungan dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa orang lain malah berujar sok tahu tentangnya?

Semalam Gladis baru saja menenggak truth potion. Efek alkohol pada Gladis sama seperti efek veritaserum di cerita Harry Potter. Hanya beda cara kerja saja. Gladis mengutarakan kebenaran atas isi hatinya dengan kesadaran melayang.

Kelanjutan dari makian yang dikeluarkan Gladis adalah menangis tanpa henti. Gue usap-usap kepalanya, Gladis pun tidak berhenti mewek. Dia malah meminta maaf. Lalu, dia bilang bagaimana besar rasa cintanya untuk gue.

Gue mengurungkan niat untuk bersih-bersih. Gue malah ikutan berbaring di sebelah Gladis. Gue peluk tubuhnya, gue ciumi kepalanya.

Gladis kesal pada gue yang seolah tidak mau tahu bagaimana beratnya melepas mimpi. Gladis kesal pada cara gue menggampangkan banyak hal. Gladis kesal pada gue yang menggunakan seks sebagai jalan pintas penyelesaian masalah. Dalam ocehannya, dapat gue simpulkan bahwa Gladis kesal sama gue.

Dengan kesadaran yang tersisa, Gladis bercerita bahwa ia merasa kecil, tidak pantas untuk melangkahkan kaki di hidup gue. Menjadi istri dari seorang milyarder umpama cerita dongeng yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Dari sana, Gladis makin sering mempertanyakan banyak hal.

Apakah penerimaan bokap dan nyokap gue adalah kepalsuan? Apakah benar dirinya cukup cantik untuk berdiri di samping gue? Apakah tidak masalah menggunakan credit card pemberian gue? Apakah pelayanannya sebagai istri sudah cukup memuaskan? Apakah gue benar-benar mencintainya? Masih ada segunung kata apakah di benaknya, yang kemudian hilang dibawa ke alam mimpi.

Pagi ini gue bangun terlebih dahulu. Gladis masih tidur. Dengkuran halusnya terdengar dari bibir yang sedikit terbuka. Mumpung Gladis belum bangun, gue segera bersiap-siap. Gue mencari tonik pereda mabuk di toko 24 jam, lalu mencari sarapan yang light, yang sekiranya nyaman untuk perut Gladis.

Tiba di penginapan, Gladis rupanya sedang muntah-muntah. Gue segera menyusulnya ke kamar mandi. Posisi Gladis yang duduk gitu aja di lantai sambil mencengkeram erat pinggiran kloset, bikin hati gue serasa diremas.

"Shasha, masih mau muntah?"

Gladis menggeleng. "Nggak ada yang keluar lagi."

"Pindah duduk di sofa, ya?"

"Pusing."

Gue bantu Gladis kumur-kumur. Setelahnya, gue gendong Gladis kembali ke kamar. Gue sodorkan tonik pereda mabuk sebagai obat. Gladis menerimanya tanpa banyak tanya.

Gue membuka kotak makan dan meletakkannya di hadapan Gladis. "Ini ada congee, ada sup telur juga. Kalau kurang, tinggal bilang."

"Rumah makan China?" tanya Gladis saat melihat nama toko yang tertera di paper bag. "Memang ada yang buka?"

"Belum buka sih. Tadi bapak pemilik tokonya lagi bersih-bersih kaca luar, terus aku minta tolong dibuatkan makanan. Aku bilang aja, ini untuk istri aku yang sakit. Sebagai sesama orang Asia, ada solidaritas, dia langsung bikinin tanpa tanya-tanya lagi."

"Orang baik."

Gue tersenyum. Gue sisir rambut Gladis yang berantakan dengan jemari tangan. "Karena kamu banyak berbuat baik, balasannya juga dapat karma baik."

"Makasih, Jeffrey," ucap Gladis sambil meluk gue. Baru saja gue mau balas peluk, dia sudah menjauh. Benar-benar menjauh sampai bangkit dari sofa. "I am sorry. I smell like an old rag."

Gue tertawa. "Makan dulu. Setelah itu mandi."

Gladis makan secepat kilat. Melihatnya gue takut dia tersedak. Sudah gue ingatkan untuk mengurangi kecepatannya, namun Gladis tetap keras kepala. Katanya, dia malu karena badannya bau, jadi mau cepet-cepet mandi.

Demi menjaga personal space-nya  gue berlalu ke bathroom. Selesai mandi, gue pun menyiapkan bak untuk berendam. Bathboom dan aroma terapi sudah gue taruh di samping, tinggal mencemplungkan begitu air terkumpul. Lagi asyik mengamati riak air, Gladis ketuk-ketuk pintu.

"Aku mau mandi."

"Habis makan langsung mandi, memangnya nggak papa?"

"Nggak papa." Gladis menarik tangan gue untuk keluar dari sana. "Hus, hus. Keluar."

"Itu belum selesai airnya. Kamu santai aja mandi di shower room."

"Malu," ucapnya jujur. "Lagian siapa yang mau berendam?"

"Kamu," jawab gue enteng. Gue buru-buru menambahkan, takut dianggap terlalu memaksa. "Kalau misal kamu nggak mau, biar aku yang berendam."

"...."

"Okay, aku keluar ya."

"Jeffrey," panggilnya malu-malu. Gue menoleh. "Hm, sepuluh menit lagi, masuk aja. Berendam bareng."

Wow! Apakah Gladis mengundang gue? Pikiran gue sudah kemana-mana. Tidak pernah sebelumnya Gladis berinisiatif memintanya duluan.

I mean, well, I am too dominating her during our bed time. So, if it's in bathroom, in bathtub, is it okay for her to take a lead?

Kaki gue tidak berhenti bergerak saat gue duduk di pinggir kasur. Gue gugup. Sangat. Karena tawaran Gladis tadi, gue urung buru-buru pakai baju, betah memakai handuk yang hanya sekedar menutupi area pinggang hingga lutut.

"Does he think everything can be solved using sex? Hell no!"

Makian Gladis semalam tiba-tiba kembali terngiang. Jantung gue melewatkan degupnya sepersekian detik. Ugh, pedas. Ternyata ucapan Gladis memang benar. I am such an asshole. Gue dan Gladis belum benar-benar berdamai, bagaimana bisa otak gue malah seluncuran ke selangkangan?

"Jeffrey!" Panggilan Gladis yang menggaung di kamar mandi, terdengar hingga tempat gue duduk. "Kamu mau masuk?"

Okay, Jef. Lo masuk ke dalam sana, berendam sama istri lo. Cuma berendam, nggak ada yang lain.

Gue membuka pintu perlahan. Dari celahnya, gue bisa melihat Gladis sudah berada di dalam bathtub. Permukaan air yang tertutupi busa, menunjukkan tubuh Gladis sebatas sepasang selangka indahnya hingga kepala. Dia di sana, sedang berusaha menangkap gelembung rapuh dengan tangannya.

Gue tahu, itu cara Gladis menghindari kontak mata dan menutupi rasa gugup.

"May I?" tanya gue padanya. Gladis mengangguk.

Gue sudah mendapat lampu hijau. Namun hal yang terpenting ada satu lagi. Sebelum berendam gue harus menanggalkan handuk. Tapi, handuk adalah satu-satunya penutup itu. Gue malu membukannya karena sedang berada dalam kondisi tegak maksimal.

"Ak... aku... tutup mata," ucap Gladis seolah mengerti kebimbangan gue. Benar saja. Gladis menunduk dan dengan kedua telapak tangannya berusaha tidak melihat ke arah gue.

Aneh banget, kan? Kenapa kita awkward, gini? Kalau lagi nggak marahan, sih, pasti langsung gue hajar aja.

Gue dan Gladis berendam bersama. Kita saling berhadapan. Dia di ujung sana, gue di ujung sini. Seperti ada garis demarkasi di tengah. Bahkan, takut kaki kita akan bersinggungan dengan ukuran bathtub yang tidak mengakomodasi kesesuaian panjang kaki gue, Gladis memilih memeluk lutut di depan dada.

Hening. Canggung.

"Aku... waktu mabuk nggak ngomong yang aneh-aneh, kan?"

Gue tersenyum dan menggeleng. White lie. "Kamu imut kalau lagi mabuk."

"Beneran?"

Gue tidak menjawab pertanyaannya. "Lain kali, jangan mabuk lagi ya, atau kalau mau mabuk, di kamar aja. Berdua sama aku."

"Ugh, aku pasti malu-maluin banget ya?"

"Nggak sih. Cuma agak susah diatur aja. Kamu kabur-kaburan mulu, kayak nggak mau diajak pulang." Kali ini gue mengucapkan kejujuran.

Gladis menutupi wajah. "Nggak lagi-lagi deh."

Gue hanya terkekeh. Tidak mendukung atau melarang keputusannya. Andaikan dengan minum Gladis bisa merasa lega, gue perbolehkan. Dengan syarat dan batasan tertentu.

"Shasha." Gue menyelami mata Gladis yang terarah membalas tatapan gue. "You fit in my world." Gue buru-buru menggeleng. "No. I mean... You're the world itself. At least, for me." Gue mengangkat bahu sambil tertawa pelan untuk memecah kekakuan. "And Akio."

Gladis menggigit bibir bawahnya. Ia menunduk dan memainkan busa. Tebaknya, "Aku pasti sudah ngomong yang nggak-nggak."

Ternyata kebohongan gue terbongkar dengan mudah.

"Nggak papa, Shasha. Aku jadi tahu isi hati kamu."

"Tapi aku nyakitin kamu."

"Nggak kok," kilah gue. Saat Gladis memberikan tatapan tak percaya, akhirnya gue mengangguk. "Sedikit. Tapi, aku nggak papa."

"Maaf."

"Come here. Let me hug you."

"...."

"I promise, just hug."

Gladis beringsut mendekat. Ketika kita saling berhadapan, Gladis memilih putar badan. Gue tahu maksudnya. Gue biarkan Gladis duduk di antara kaki gue, posisi memberi punggung. Dia malu.

Gue peluk bahunya dari belakang. Kening gue bersandar di kepalanya.

"Aku pengecut banget ya? Bisa-bisanya aku ngomong hal-hal menyakitkan ke kamu ketika aku mabuk."

"Kamu boleh ngomong ke aku apa aja, tanpa perlu mabuk," ucap gue sambil mengusap bahunya. "Termasuk kalau mau maki-maki aku saking nggak kuatnya kamu pendam. Aku nggak papa. Keluarin aja semuanya."

"Ugh, aku di mata kamu pasti sudah jelek banget."

"Hei, jangan nangis," kata gue sambil menarik tubuh Gladis agar bersandar di dada gue. "Kamu nggak jelek di mata aku, Shashayang. Nggak akan pernah. Mau kamu sakitin aku berkali-kali pun, aku bakal bertahan di samping kamu."

"I am sorry."

"Don't say sorry."

Untuk sejenak, tak ada percakapan. Debaran Gladis yang terasa di kulit gue, bikin jantung gue ikutan menggila. Gue peluk erat bahunya. Gladis sesekali mengusap lengan gue.

"Shasha," panggil gue lagi ketika isakan Gladis sudah tidak terdengar.

"Iya?"

"Mama aku juga orang biasa. Cuma beruntungnya, dia sukses jadi profesor di usia muda dan disuruh isi kuliah kemana-mana, jadi kelihatan berkelas."

"...."

"Keluarga dari garis keturunan Papa memang businessman semua. Aku nggak mau munafik dengan mengatakan penghasilan mereka tidak mencetak angka fantastis. Kaya raya saja nggak cukup untuk menggambarkannya. Kalau Papa aku nggak punya banyak uang, untuk aku memulai karir di bidang balap bakalan sulit."

"Mahal ya?"

"Banget. Kamu tahu pocket bike? Sepeda motor yang ukurannya kecil? Usia enam tahun aku dibeliin itu gara-gara dihasut terus sama Om Adam biar jadi pembalap. Harganya sekitar 100 juta rupiah." Gue mencium pelipis Gladis ketika ia tampak tak nyaman di pelukan gue.

"Itu bukannya mainan?"

"Kelihatannya kayak mainan. Tapi hampir semua pembalap motor yang saat ini berlaga di kelas MotoGP, masa kecilnya diisi untuk menggeber motor tipe itu."

"...."

"Tapi, tahu nggak, Kakek nerima Mama jadi istri papa karena apa?"

"Apa?"

"Karena dengar Mama main piano, lagunya Marry had a Little Lamb, lagu anak-anak," gue terkekeh mengingat cerita itu.

"Serius? Gitu doang?" Gladis menoleh ke belakang, lagi-lagi menunjukkan raut wajah tidak percaya.

Gue mengangguk meyakinkan. "Kata Kakek, Kakek jadi tahu kalau Mama itu orang berhati baik."

"Aku kira orang kaya suka pilih-pilih jodoh untuk anaknya. Dipilih dari relasi bisnis. Biar tetap kaya."

"Itu mah orang kaya baru, atau orang kaya yang ada di cerita-cerita," Gue tergelak menertawakan pikiran polos Gladis. "Logisnya, kalau sudah kelewat kaya, nggak perlu lah sampai cari-cari kekayaan lewat calon mantu. Kesannya malah selfish banget. Punya uang ya untuk dipakai, untuk cari kesenangan. Ngapain uang ditumpuk mulu?"

"Oh...."

"Tapi intinya aku ngomong gini, bukan itu," Gue mengeratkan pelukan di bahu Gladis. "Papa-Mama aku dan seluruh keluarga besar aku, nggak masalah aku milih kamu sebagai istri aku. Selama orangnya baik, cinta sama aku, dan aku yakin dengan pilihanku, pasti mereka kasih restu."

Gladis diam saja. Ia memilih bermain busa ketimbang menanggapi ucapan gue.

"Jadi, andaikan aku diberi kesempatan lagi, aku yakin aku bakal pilih kamu untuk kedua kalinya di antara banyak wanita di luar sana."

"Seyakin itu kamu sama aku? Meskipun kamu bilang Mama itu orang biasa, standar biasa yang kamu gambarkan terlalu jauh dengan kondisi aku."

"Kalau yakin, mah, yakin aja. Nggak perlu pakai alasan lain. Meskipun aku dulu kelihatan main-main dan nggak serius dalam berkata, aku ini orang yang masih punya akal dan kepandaian untuk mengambil keputusan terbaik."

"...."

"Okay, aku mau buat pengakuan. Aku bukan jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu."

Punggung Gladis menegak. Ia menoleh ke arah gue. Dengan santai, gue mengangguk.

"Pertemuan pertama kita di depan toko mainan menghasilkan impresi yang nggak biasa. Bikin jiwa playboy aku tertarik untuk main-main sama kamu. Terus pertemuan kedua di rumah sakit, di IGD, bikin aku mikir 'wow, ternyata niat gue untuk ketemu nih cewek diloloskan Tuhan'. Tapi, waktu kamu dengan berani bantu aku lepas dari amukan Om Adam, aku langsung sadar bahwa kamu beda dari cewek-cewek di luar sana."

"Tunggu, tunggu, tunggu," Gladis menyela. "Habis itu, kamu jadi rutin telepon aku nggak jelas. Bilang isi daya sebelum tanding lah, malam mingguan lah. Terus, kamu bilang suka aku dengan mudahnya. Itu juga bohong?"

"Nggak. Aku beneran sudah suka sama kamu." Gue terkekeh melihat ekspresi Gladis. "Tapi ya, cuma sebatas suka. Sama aja kayak aku suka makan sambal terasi, aku suka warna biru, aku suka...."

"Stop!" Tangan Gladis membekap mulut gue. Bisa gue rasakan pahitnya busa sabun yang ikut tertempel di sana. "Kamu nyebelin banget. Aku nggak percaya ada orang sejahat ini."

"Hushhh, dengar cerita aku sampai akhir, Shashayang," Gue mengusap pipi Gladis lembut. "Setelah selesai tanding, aku main lagi ke Jogja, ketemu kamu sama keluarga Mbak Silvi. Terus aku dengar cerita tentang kamu dan mantan pacar kamu, dari suami mbak kamu. Di situ, hati aku makin melunak. Puncaknya ketika aku diajak makan bareng keluarga kamu, bareng sama ayah kamu juga. Keinginan untuk jagain kamu tumbuh makin besar."

"Terus?"

"And yeah, Ayah menyuarakan kekhawatirannya, dan aku menawarkan diri sebagai pelindung kamu. At the end, kita menikah."

"Kapan kamu cinta sama aku?"

"Di malam pertama, mungkin?" Jawaban gue mengundang tepukan kesal dari Gladis. "Aku nggak tahu kapan aku jatuh cinta sama kamu. Yang aku tahu, aku cuma mikirin kamu setiap saat. Sudah makan apa belum, hari ini jaga malam atau nggak, banyak lah."

"Jangan-jangan, sampai sekarang kamu sebenarnya nggak cinta aku?"

"Nggak mungkin." Gue menggeleng tegas. "Aku cinta sama kamu, banget. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku mau kamu nyaman sama aku. Cuma ya, dulu awal-awal nikah kan kamu tanya terus, sejak kapan aku cinta kamu. Jadi aku ambil jawaban termudah aja, jawaban yang sekiranya bikin hati cewek melayang."

---

Wow, 2.5k lebih! Ayo sumbang vote dan komentar 😉

Next chapter kita lihat balasan long-deep-talk ini dari sudut pandang Gladis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro