14| Barcelona to London
Halo! 💚
Tekan tombol bintang dan tinggalkan komentar, yuk. Sudah tinggal beberapa chapters lagi menuju tamat lho buku ini 😉
---
Jeffrey Esa Kurniawan
Gue meninggalkan Gladis dan Akio di hotel. Tidak mengajak mereka ikut gue, tidak pula memaksa mereka untuk kembali tinggal di motorhome dan menyaksikan pertandingan gue secara live. Ini keputusan akhir yang diambil kedua belah pihak. Semoga keputusan yang tepat.
Sambil berbaring di sofa, gue memperhatikan foto demi foto yang diambil pada kencan kemarin. Ada foto bertiga. Ada foto Akio saja. Lebih banyak foto-foto candid Gladis, yang gue ambil diam-diam serasa paparazzi handal. Penampilan Gladis yang tidak biasa membuat gue berani melakukan hal itu.
Huft, belum apa-apa, gue sudah kangen istri. Sedang marahan bukan berarti gue nggak boleh kangen. Makin kangen yang ada.
Gue bingung bagaimana harus bersikap. Telepon Mama yang awalnya siap memborbardir gue dengan omelan, berujung pada nasihat bijak agar gue bisa menjadi sosok suami dan ayah yang lebih baik. Sebelum berpisah, gue sampaikan rencana Mama pada Gladis. Gladis hanya bisa pasrah menerima bantuan, tidak mengomentari lebih lanjut.
Mama bilang, gue dan Gladis belum siap secara mental untuk menerima kehadiran Akio. Benarkah? Gue dan Gladis sejak menikah sudah sepakat ingin punya dua anak, terserah Tuhan mau memberi cewek atau cowok. Ketika Gladis keguguran, kita berdua berduka. Saat Akio ada, kita bersuka cita. Apa yang salah? Benarkah dugaan Mama?
Karena tidak menemukan jawaban sendiri, gue berusaha mencari jawaban dengan bertanya pada teman-teman ekspert. Awalnya gue mau menghubungi Joni, ayah dua anak yang mendapat julukan best Daddy and husband material di kalangan pertemanan gue. Namun gue urung, gue tidak jadi bertanya padanya karena gue takut membuat Joni teringat pada mendiang istri.
Opsi kedua adalah Ten. Begitu menikah dia langsung punya dua anak. Anak tiri sih, tapi hubungannya sudah seperti anak sendiri. Justru gue lihat-lihat, hubungan ayah-anak Ten lebih baik dibandingkan yang gue miliki dengan Akio.
"Siap menjadi ayah bukan cuma tentang finansial, Jef." Katanya ketika gue tanya. "Keputusan untuk punya anak, harus memikirkan masa depan. Jangan cuma bisanya ngasih benih, ngasih makan, tapi nggak bisa ngasih kasih sayang."
"Terus, dengan kondisi gue sekarang, gue terhitung belum siap mental?"
"Ya, nggak ngerti juga sih. Coba aja lo instrospeksi. Dengan punya anak, lo mentally exhausted, nggak? Istri gue waktu melahirkan anak kedua, dia sempat kena baby blues syndrome. Menurut pengakuannya, Niel jadi terlihat seperti monster, bukan bayi yang lucu-lucu gemesin gitu. Itu perumpamaan doang lho ya. Akio kan sudah bukan bayi lagi, bisa jadi kasusnya beda."
"Gue fine-fine aja tuh. Akio pinter dan mandiri. Dia juga cukup peka dengan kondisi orang lain, nggak gampang rewel."
"Kalau Gladis gimana?"
"Kayaknya fine juga. Dia nggak pernah ngeluh."
"Atau gini, selama ini kan Gladis sama Akio nempel mulu tuh. Apalagi Gladis yang biasanya sibuk banget jadi dokter, sekarang jadi pengangguran ngurus anak doang. Pasti ada perubahan suasana. Coba deh lo take over pekerjaan Gladis ngurus Akio. Kasih waktu buat istri lo kembali menjalani masa-masa gadisnya sebelum nikah sama lo."
Usul Ten bisa banget gue coba. Sayangnya, gue nggak punya waktu untuk ambil alih pekerjaan Gladis. Mungkin dengan kedatangan Mama dan Papa nanti bisa cukup membantu memperbaiki kondisi di antara kami berdua.
Kamis, Jumat, Sabtu terlewati begitu saja. Sibuknya pekerjaan membuat gue bagai robot. Sesekali gue mengirim pesan pada Gladis, menanyakan kabar anak-istri. Pesan balasannya datang selalu terlambat. Ketika ingin menelepon pun, gue tidak enak hati karena hanya punya waktu luang di malam hari.
Hari Minggu, hari pertandingan. Seperti sudah diprediksi, gue meloloskan kesempatan naik podium. Hubungan gue dan Gladis yang merenggang bikin gue nggak semangat. Mental gue melempem. Gue harus puas menempati posisi ketujuh. Untung lah, masih dapat poin.
Tak ingin berlama-lama bertemu orang, selesai pertandingan, gue langsung menyingkir ke motorhome. Begitu pintu gue buka, harum masakan menguar langsung tercium hidung. Gue yang lelah seusai berolahraga seketika merasa lapar.
"Seyamat datang, Papa. Ma'acih dah kelja kelas."
Lho, Akio? Bocah kecil itu berlari menyambut gue. Ada Akio, otomatis ada mamanya juga.
Sambutan Akio bikin lelah gue melayang. Gladis yang sedang meletakkan piring terakhir di meja makan, menoleh ke arah gue yang masih berdiri di pintu masuk. Gladis tersenyum manis, menyapa gue.
"Papa."
Merasakan berat di kaki, gue menunduk. Akio memeluk kaki gue, bergelantungan tak mau lepas. Gemetar karena tak kuat menahan beban tubuhnya, gue ambruk.
Sorry aja, nih. Gue habis balapan. Hampir satu jam geber motor dengan kecepatan lebih dari 300 km/jam, bikin kaki gue letoy. Nah, ini, malah digantungi beban tak imbang lebih dari 10 kg di satu kaki.
"Jeffrey!" pekik Gladis. Dia buru-buru menghampiri.
"Shasha?" Gue juga menoleh ke arah si bocah. "Akio? Kalian sejak kapan ada di sini?"
"Sejak satu jam sebelum kamu tanding?" Gladis tampak tidak begitu yakin. "Maaf aku nggak samperin kamu di box karena aku nggak tahu arahnya kemana. Masuk ke sini aja aku dibantu Marc, soalnya aku belum dapat pass."
"Marc?"
"Kita nggak sengaja ketemu di depan. Dia lihat aku kebingungan nggak bisa masuk tanpa tiket."
"Papa," panggil Akio yang dari tadi gue tinggal ngobrol sama Gladis. Jari telunjuknya menyusuri logo-logo sponsor di baju balap gue.
Gue kecup puncak kepala Akio. Gue juga kecup kening Gladis. Nggak papa gue nggak menang, yang penting anak dan istri datang.
Datang kembali ke pelukan gue.
"Hasilnya... gimana?" tanya Gladis hati-hati. "Aku nggak berani nonton di TV."
"Menang kok," jawab gue tak bisa menyembunyikan cengiran. "Menang di hati kamu dan Akio."
Gladis terdiam. Mungkin ia kaget karena sudah hampir seminggu gue absen memberikan gombalan padanya. Ia geleng-geleng sambil terkekeh. Tanpa disangka, Gladis cium pipi gue penuh kelembutan.
"Aku masak makanan Nusantara. Ada ayam goreng sama tumis buncis, pakai nasi. Sudah lama nggak makan nasi, kan?" ucapnya sambil berdiri dan berlalu ke meja makan.
"Kamu siapin semuanya sendiri?"
"Iya. Aku masak pakai bahan seadanya. Beli dulu sebelum kesini." Binar jenaka muncul di mata Gladis. "Karena bukan cuma kamu aja yang mau menang. Aku juga. I want to win your heart."
Deg, deg, deg. Gue berekspresi berlebihan. Sambil memegangi dada sebelah kiri, gue pura-pura terkapar di lantai. Jantung gue berisik banget, asli, berasa seperti gue sedang jatuh cinta pada Gladis untuk pertama kalinya.
Yeah, gue sudah jatuh cinta pada ibu dari anak gue berkali-kali.
"Bersih-bersih dulu sana. Setelah makan kita harus persiapan lho."
"Persiapan apa?" Gue menoleh ke arahnya, masih dengan posisi berbaring di lantai, bersama Akio yang tertawa-tawa karena mengira gue sedang ajak dia main.
"Persiapan pulang."
--
Orisha Gladis Alaia
Barcelona to London. Penerbangan kali ini Akio, aku, dan Jeffrey duduk dalam satu baris yang sama. Aku tidak perlu khawatir tanggapan penumpang lain apakah dia suka atau tak suka pada anak-anak. Aku juga tidak perlu khawatir jika Akio kebelet buang air di pesawat.
Keberadaan Jeffrey di sisi, berdampak sangat besar pada kepercayaan diriku untuk mengurus anak. Ternyata punya partner memang melegakan. Meski partner yang kumiliki belum begitu handal dalam hal parenting jangka panjang. Setidaknya Jeffrey tahu hal-hal dasar kebutuhan anak.
"Kalau ngantuk, tidur aja," Jeffrey melirik ke kursi Akio. "He's fast asleep. Aku jagain."
"Kayaknya justru kamu yang butuh tidur. Kamu belum istirahat sama sekali sejak selesai balapan."
"Sama-sama tidur aja, yuk. Toh Akio nggak bakal kemana-mana."
"Kalau Akio bangun minta makan gimana? Atau minta ke kamar mandi?"
"Shashayang," ucapnya sambil mengusap lenganku. "Akio bisa bangunin kita kalau dia butuh sesuatu. Ayo kita percaya sama Akio. Kalau kamu masih khawatir, aku janji aku cuma tidur setengah jam."
"Kalau gitu aku aja yang tidur setengah jam."
Jeffrey tersenyum. "Ya sudah. Tidur."
Aku memang bilangnya mau tidur cuma setengah jam, tapi malah kebablasan. Aku baru bangun ketika terdengar pramugari cuap-cuap mengingatkan kita untuk pakai sabuk pengaman dan lain-lain. Pesawat mau landing.
Aku lihat ke samping. Jeffrey ternyata juga baru bangun. Lihat ke samping yang satunya, Akio tenang mainan sendiri sambil melihat awan.
Tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang Akio. Dia tidak selemah itu hingga harus terus aku jaga.
Setibanya di bandara, kami menunggu bagasi pesawat diturunkan. Seperti keluarga dengan anak-anak pada umumnya, barang ayah dan ibunya sedikit tapi barang putranya banyak. Untuk mempermudah, Jeffrey menggunakan trolley. Sedangkan aku hanya boleh menggendong ransel peralatan Akio dan mendorong stroller Akio. Kali ini Akio tidak menolak untuk naik ke stroller.
Singkat cerita, kami sampai di apartemen. Ditinggal sekian lama, debunya telah menumpuk, bikin Akio batuk-batuk. Menahan lelah di sekujur tubuh, aku dan Jeffrey bahu-membahu membersihkan tiap sudut ruangan.
Melepaskan diri dari kemoceng, ganti jadi memegang sapu dan pengki. Ugh, aku berandai-andai robot vacuum cleaner yang dinamai Jeffrey sebagai Jason bisa sedikit lebih pintar untuk menghisap debu dengan cepat. Kalau begitu, aku pasti bisa bersantai sejenak tiduran di sofa.
Tapi tidak ada waktu untuk itu. Jason terlalu lambat. Ku biarkan dia berjalan sesuai rutenya, sedangkan aku telah mengerjakan bersih-bersih ruangan berikutnya.
Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya aku. Selesai melakukan kerja rodi, aku langsung tertidur pulas. Bahkan menurut penuturan Jeffrey, aku enggan dibangunkan untuk makan malam.
Keesokan harinya, Mama dan Papa datang. Rumah jadi ramai. Makanan asal Indonesia bertebaran di meja makan. Akio yang sudah lama tidak bertemu dengan Eyang Uti dan Eyang Kakung pun mulai bermanja-manja ria.
Hm, tahu saja. Para Eyang nyaris tidak pernah bisa menolak permintaan Akio.
Lalu, tiba saatnya aku harus berpisah dengan Akio. Aku menangis, tak ingin melepas Akio. Sejak Akio lahir sampai sekarang, tidak pernah aku benar-benar meninggalkannya lebih dari dua puluh empat jam. Ini malah aku diajak menginap berdua saja bersama Jeffrey 3x24 jam lamanya.
Apa nggak papa? Apa dia akan baik-baik saja?
--
Jeffrey Esa Kurniawan
Gue merasa menjadi penjahat.
Gue pernah melihat video-video tentang separation anxiety, anak tidak mau lepas dari orang tuanya. Namun, aku tidak pernah menyaksikan orang tua yang tidak mau lepas dari anak. Gladis menangis sesenggukan di kamar saat gue menuturkan rencana refreshing berdua saja tanpa Akio.
"Dadah, Mama! Dadah, Papa!"
Tidak seperti Gladis yang wajahnya kusut, Akio melambaikan tangan sambil tertawa melepas kepergian kita. Yah, setidaknya gue jadi sedikit lebih tenang. Akio tidak menangis di depan Gladis, tidak mengganggu rencana perjalanan gue.
"Shashayang, kita pergi cuma tiga hari tiga malam," ucap gue menenangkan ketika hanya ada kita berdua di dalam mobil. "Tiap hari kita video call Akio. Okay?"
Sampai di penginapan, Gladis langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur. Tubuhnya tengkurap, dengan sebagian kaki menggantung. Gladis menenggelamkan wajahnya.
"Sudah siang nih. Mau cari makan dulu?"
"Nggak laper."
Wow! Gladis ternyata bisa begini juga. Ini kali pertama Gladis ngambek yang beneran bikin gue takjub. Soalnya, Gladis terlihat kayak cewek pada umumnya. Ngambeknya ngeselin. Kekanakan.
Gue ikut-ikutan berbaring di sebelahnya perlahan. Gue usap rambut panjang Gladis yang tergerai. Sesekali gue ciumi kepalanya.
"Kamu bisa lihat aku sebentar, nggak?"
"Hm."
"Sini, coba. Mana wajahnya? Aku mau lihat."
Dengan malas-malasan, Gladis berbalik. Ia menatap mata gue. Masih tersisa raut kesedihan di sana.
"Nggak cuma kamu yang sedih pisah dari Akio. Aku juga," ucap gue lembut. Gue usap-usap sebelah pipi Gladis. "Tapi, kalau nggak gini, kita jadi nggak punya quality time berdua. Kita perlu bonding biar bisa jadi pasangan yang baik untuk membesarkan Akio. Pada akhirnya, ini semua bermanfaat untuk anak kita, Shasha."
"Tapi, kan...."
Gue menunggu. Ketika Gladis tidak melanjutkan bicara, baru gue bertanya. "Hm? Tapi kenapa?"
"Nggak jadi."
Sudut-sudut bibir gue terangkat. "Ya sudah. Aku peluk dulu sini."
Untuk menenangkan Gladis, gue telepon nyokap. Kita menanyakan keadaan Akio. Ternyata si bocah sedang tidur siang. Gladis terlihat lega ketika tahu Akio tidak menangis mencarinya.
"Nah, sudah dengar kabar Akio, kan? Sekarang kita makan dulu ya," bujuk gue.
"Tapi janji dulu sama aku."
"Janji apa?"
"Kalau Akio kenapa-napa, kita langsung balik."
"Jangan doa jelek-jelek, Shashayang. Akio nggak bakal kenapa-napa. Kita juga nggak kenapa-napa."
Gladis menghela napas panjang. Ia pun mengangguk.
Gue usap-usap punggungnya. Gue ciumi lagi rambutnya. Setelah itu gue ajak Gladis makan siang di luar. Kali ini, dia mau.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro