Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12| Kencan di Barcelona

Jeffrey Esa Kurniawan

Perjanjian pukul empat sore dan gue telah berdiri di titik temu lima belas menit lebih awal. Terhitung sudah dua kali malam gue lewati tanpa cuddle manja sama Gladis. Tentu sekarang gue sudah menggeliat tak betah menahan rindu. Ingin segera bertemu dan merasakan hangat tubuhnya lagi di pelukan.

Jam besar di seberang air mancur sudah menunjukkan pukul empat tepat. Gue makin gelisah. Berkali-kali gue lihat pantulan wajah di layar HP, memastikan diri tampil tampan di depan Gladis.

Pertemuan kali ini bernama kencan. Tentu gue tidak boleh mengabaikan kode etik dalam berkencan. Tampil memukau hanya salah satunya.

"Jeffrey Esa Kurniawan?"

HP gue hampir nyemplung ke kolam. Untung refleks tangan gue bagus. Gue berdeham, memasukkan ponsel ke dalam saku dengan gaya cool, dan balik badan.

Di depan sana, Gladis berdiri dalam jarak dua meter. Hal yang membuat gue kaget adalah penampilannya yang berani. Berani, dalam tanda kutip.

Gosh! Dengan celana legging hitam ketat dan atasan crop tee berwarna serupa plus jaket denim, dia terlihat mempesona. Andaikan saja Gladis tidak mengenakan outfit yang sengaja matching dengan Akio, tidak ada yang menyangka bahwa Gladis adalah ibu dari anak satu.

Tapi, kembaran gitu, lucu juga. Berasa lagi lihat fashion show ibu dan anak. Mereka bakal jadi kontestan paling gaul dan paling juara di hati gue.

Melihat dandanan itu, seketika rasa percaya diri gue dibanting jatuh. Gue menunduk, memerhatikan pakaian gue yang kelewat biasa saja. Shit, kalau gue benar-benar serius menanggapi tema "kencan" usulan Gladis, gue tidak akan merasa seperti upik labu saat ini.

"Shasha, maaf baju aku biasa aja. Aku kira...."

"Apa aku datang terlambat?" Gladis memotong ucapan gue. Ia tersenyum sopan, bikin gue sukses merasa jauh darinya. "Maaf, aku kemari membawa putraku. Dia cukup sulit diajak kerja sama untuk bersiap-siap. Do you mind if in this our first meeting I bring my son?"

Gue cengo. Hah? Maksudnya? First meeting? Gladis lagi role playing nih ceritanya?

"Papa," tidak mengerti alur permainan sang ibu, Akio melambai pada gue, papanya.

"Akio, kok gitu?" Ucapan Gladis membuat Akio mendongak. Akio bingung. "Akio sudah dekat sama Jeffrey ya, sampai ngira dia itu Papa? Okay, Mama maafin. Akio boleh panggil dia Papa."

"Papa?" Akio menunjuk ke arah gue, namun matanya terkunci pada Gladis. Dia seolah ingin memastikan apakah gue bener-bener ayahnya.

"Iya, tapi...," Gladis melirik gue. Dia malah membuang muka sambil mengusap hidungnya gugup. Gue lihat wajahnya merona. "He is not your father... yet."

She pretends to be chic and bold. But, her cuteness can't deceive my eyes. God, my wife is really playful.

Untung Akio tidak mengerti bahasa yang diucapkan Gladis. Bahasa Inggris yang Gladis ucapkan sengaja ditujukan buat gue, untuk menyindir. Dengan Gladis berkata "Iya", Akio tampak lebih nyaman memanggil gue Papa. Jelas lah, gue ini Papa aslinya, yang jingkrak-jingkrak kesenangan sejak hasil testpack menunjukkan indikasi positif.

Dari sore hingga malam kami menghabiskan waktu bersama. Tidak seperti dandanannya yang cool abiez, Gladis selama berinteraksi dengan Akio menunjukkan sikap hangat dan keibuan seperti biasanya. Hanya dengan gue saja dia bertingkah tidak biasa. Bahkan, saat Akio kebelet minta ke toilet dan gue bersedia menemaninya, Gladis berterima kasih berlebihan. Kayak sama siapa aja.

Kita bertiga makan malam di cafe yang menyajikan makanan-makanan khas Spanyol. Ini tempat favorit gue tiap ke Barcelona. Rasa masakannya pas untuk lidah orang Indonesia. Akio pasti bisa makan.

Sore tadi kami jalan-jalan mengunjungi tempat sesuai yang diinginkan Gladis. Maka, malamnya, gue yang berkuasa. Gue memilihkan makanan untuk Gladis dan Akio. Keduanya tidak protes sedikit pun.

Akio masih dalam tahap melancarkan aksi makan sendiri. Tiap bepergian, di dalam tas Akio pasti ada sendok dan garpu khusus anak-anak. Akio beruntung karena jalan-jalan kali ini perlengkapannya disiapkan oleh sang ibu. Kalau Akio pergi hanya berdua saja dengan gue, pasti hal-hal kecil seperti itu jadi terlupakan.

Aktivitas fisik. Makan malam sampai kenyang. Tidak heran Akio mengantuk lebih cepat meski belum masuk waktu tidurnya. Rencana untuk jalan-jalan santai sambil menurunkan isi perut terancam gagal.

"Aku sama Akio pulang duluan ya."

"Biar aku antar."

"Hotel kamu arahnya beda sama kita."

"Shasha, stop main-main," ucap gue tegas. Gue mengambil Akio dari gendongannya. "Aku nggak akan tenang ninggalin anak dan istri aku luntang-lantung di negeri orang."

Sejujurnya, gue anti banget naik transportasi umum sambil bawa anak kecil. Pasti gue pakai fasilitas supir, atau kalau mau lebih private ya sewa mobil. Dulu sekali, gue pernah ajak Akio jalan-jalan ke St. James Park, London, naik tube. Akio memang tidak protes. Namun pengapnya udara di dalam sana membuat gue khawatir pada kesehatan Akio. Alhasil, kalau bawa Akio, gue sebisa mungkin menghindari naik alat transportasi komunal.

Kali ini, gue terpaksa bawa Akio naik tram untuk menghalau padatnya lalu lintas di Barcelona jika ditempuh menggunakan taksi. Gladis yang meminta agar kita naik tram saja. Katanya, hotel tempat mereka menginap dekat dengan halte tram. Gue amini permintaannya agar kami tak terlibat cek-cok hal tak penting lagi.

Selama perjalanan, tak ada percakapan berarti. Gladis duduk memangku Akio yang betah menutup mata. Sedangkan gue berdiri tepat di depan mereka, menjaga sekaligus mengawasi sekitar agar halte tujuan tidak terlewat.

"Shasha," panggil gue ketika kita sedang berjalan bersisian menuju hotel dari halte tram. Akio sudah kembali berada di gendongan gue.

"Aku Gladis."

"Shasha, please, stop." Gue mengeluh. "Don't treat me like stranger. Mending kamu anggap aku kayak anak kecil daripada aku diginiin lebih lama."

"Oh? Sudah capek?"

"Iya."

"Padahal baru beberapa jam."

"Memang aku pernah anggap kamu sebagai stranger?"

"Oh, nggak pernah ya? Terus apa tuh namanya ngirim Steven ke rumah untuk bantuin packing dan lain-lain? Memangnya suami aku Steven?"

"Shasha, aku...."

"Nghh," Akio mengulet di dada gue. Tidurnya terusik oleh suara gue yang meninggi.

Gue hela napas. Tak jadi membela diri. Gue tepuk-tepuk punggung Akio pelan, berharap tidurnya kembali nyenyak.

Tiba di depan pintu masuk hotel, Gladis meminta Akio dari gue. Tentu tidak semudah itu gue menyerahkan Akio. Gue melenggang masuk, membuat Gladis buru-buru mengejar langkah lebar gue.

Lihat saja, Shasha. Malam ini gue nggak akan pergi lagi!

"Card," ucap gue menyuruh Gladis menempelkan kartu akses di panel lift.

Gladis memberikan tatapan tajam ke arah gue. Pada akhirnya, dia pun merogoh tas dan mengeluarkan benda yang gue minta. Andaikan tidak ada penghuni hotel lainnya yang tiba-tiba masuk lift, sepertinya Gladis sudah siap melawan dengan seribu kata di kepalanya.

Keluar di lantai yang kami tuju, Gladis tidak langsung jalan. Dia bagai memaku kaki di tempat. Gue rasa, Gladis benar-benar tidak ingin menunjukkan kamar tempatnya menginap.

"Kenapa?"

"Aku nggak kasih izin kamu untuk masuk ke kamar aku."

"Shasha, aku suami kamu. Kenapa nggak boleh?"

"Kalau aku bilang nggak, ya nggak."

Kening gue terlipat dalam. Gladis yang gue kenal selalu penuh dengan kelembutan. Dia tipikal gadis Jawa yang terkenal dengan ajaran menjunjung tinggi martabat suami. Gladis jarang sekali membantah gue, dalam empat tahun ini bisa dihitung dengan jari.

"Kamu segitunya benci sama aku?"

Gladis memandangi gue, lalu manik matanya bergulir pada Akio di pelukan gue. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus. Ia akhirnya balik badan dan mulai memimpin langkah.

Gladis menahan pintu kamar untuk gue. Hati-hati Akio gue baringkan di kasur. Kali ini gue tidak berusaha membuat repot Gladis. Gue bergerak melepas sepatu dari kaki Akio, lalu berlalu ke koper di sudut kamar, berniat mengambil baju ganti Akio. Selama ini, selalu Gladis yang melakukan itu semua untuk putra kami.

"Itu kaus untuk jalan-jalan," Gladis menginterupsi kegiatan gue. Tangannya tahu-tahu nyelonong ambil selembar baju lainnya dari dalam koper. "Ini baju tidur."

Baju pun punya kegunaan masing-masing? Padahal sama-sama kaus. Gue baru tahu fakta tersebut ketika gue resmi dua tahun ini menjabat sebagai ayah.

Pekerjaan berikutnya tak kalah challenging. Gue harus bisa mengganti baju Akio tanpa membangunkannya. Waktu gantiin celana sih, masih bisa. Akio cuma ngulet kecil. Ketika ingin melepas jaketnya, Akio mulai rewel. Gladis pun datang membantu.

"Sudah selesai. Kamu boleh pulang."

"Aku tidur sini." Gue bebal. Dengan tak tahu malunya gue berbaring di ruang kosong samping Akio.

"Kamu belum ganti baju! Kotor!" Gladis marah dalam bentuk bisikan. Sepertinya dia tidak mau membangunkan Akio dengan suaranya.

Gladis berusaha menarik tangan gue agar bangkit dari kasur dan hengkang dari kamar. Namun gue bergeming. Gue kepala batu. Akhirnya, Gladis menghempaskan tangan gue dan bergegas mencari pakaian gantinya sendiri.

Hubungan gue dan Gladis bukan lagi dalam level rookie yang tidak pernah saling melihat pasangan ganti baju. Buka-bukaan tanpa baju aja, biasa kok, gue yang minta. Gue saat ini sudah bersiap menjadi satu-satunya penonton adegan Gladis ganti baju. Namun tiba-tiba saja gerakan tangan Gladis terhenti di udara. Tahu bahwa gue sedang menunggunya, Gladis malah melengos pergi ke kamar mandi dan ganti baju di sana.

"Shasha, tidur di kasur," ucap gue kaget ketika ia memilih berbaring di sofa.

"Kotor."

Astaga! Memangnya gue sekotor itu? Kan bisa ditepuk-tepuk. Gue merasa jadi orang paling kotor di muka bumi sampai istri aja nggak mau dekat-dekat.

"Kalau gitu kamu pindah sana, biar aku yang di sofa," ucap gue sambil menghampiri tempatnya berbaring sekarang.

"Nggak mau."

"Shasha...." Gue mengacak rambut gemas. Akhirnya, gue malah memaksakan diri berbaring di sebelah Gladis. Gue gencet ruang gerak Gladis yang sedari awal sudah sempit terhalang punggung sofa.

"Jeffrey, apa-apaan, sih?" Gladis melayangkan protes. Ia mendongak, berusaha melihat Akio. "Jangan cari gara-gara deh."

"Aku nyarinya kamu. Bukan gara-gara."

"Huft."

Gue tersenyum. Kali ini tangan gue berani meraih pinggangnya. "Gini aja ya."

"Nggak. Minggir."

"Aku kangen kamu, Shasha."

"Bukan kata-kata itu yang lagi mau aku dengar sekarang."

Ups! Gue dan Gladis masih punya masalah. Gue harus segera menyelesaikannya sebelum Gladis main kabur-kaburan lagi.

"Ayo ngobrol."

"Capek."

"Shasha...."

"Besok aja."

"Kamu sengaja ya?" tanya gue, sudah mulai naik pitam. Gue menurunkan kaki dari sofa, duduk membelakanginya. "Kalau dipendam terlalu lama, nggak baik."

"Aku capek beneran."

"Kamu kira aku nggak capek?"

"Lagi-lagi aku harus ngertiin kamu? Memaklumi kamu capek sedangkan aku nggak boleh capek?"

Hah? Apaan sih? Cewek kalau marah memang ngomongnya bisa lompat-lompat gitu ya? Lebih ajaib daripada orang mabuk.

Gue menghela napas panjang. Dalam hati gue menyuruh diri untuk bertahan. Maksudnya, tahan diri agar tidak kelepasan bicara. Gue nggak mau nambah masalah.

"Ya sudah. Kita ngobrolnya besok lagi. Kamu istirahat, tidur di kasur."

Kali ini Gladis menurut tanpa berkata-kata. Ia turun dari sofa dan pergi ke kasur. Gue tidak berniat mengikutinya meski gue yakin kasur itu cukup untuk kita bertiga. Setelah menepuk-nepuk permukaan kasur, Gladis pun menenggelamkan diri di balik selimut.

Gue menghela napas. Kalimat bernada pedas yang tadi dikeluarkan Gladis masih mengusik diri gue. Apa yang sudah gue lakukan hingga Gladis yang lemah lembut bisa berkata seperti itu?

--

Gue nggak tahu jelasnya berapa lama gue tertidur. Namun gue bisa merasakan perbedaannya. Pagi ini, meskipun gue berbaring lebih sebentar dibandingkan malam kemarin, tidur gue 'sedikit' lebih nyenyak. Hanya sedikit, mengingat fakta bahwa di hubungan gue dan Gladis masih belum ada tanda-tanda perbaikan.

Dingin yang gue rasakan merasuk ke dalam tulang. Wajar, gue tidur nggak pakai selimut. Korden kamar yang belum terbuka membuat gue ingin bermalas-malasan lebih lama akibat tak ada cahaya matahari yang masuk. Namun, rasanya ada satu manusia di sini yang sudah aktif bergerak. Gaya bicara cadelnya yang tidak terlalu keras meyakinkan gue bahwa Akio sudah bangun dan asyik bermain sendiri.

Gue sudah membuka mata, namun enggan bangkit dari pembaringan. Gue cuma putar badan agar dapat mengamati aktivitas Akio lebih jelas. Ternyata si bocil sedang mengobrak-abrik tas Gladis. Seluruh barang di dalamnya ia keluarkan, lalu ia susun membentuk satu garis lurus panjang.

Akio yang belum sadar bahwa gue sudah terjaga, lari menghampiri coffee table di dekat gue. Buru-buru gue menutup mata, pura-pura tidur. Rupanya Akio mengambil HP gue, terus ia langsung lari kembali ke rentetan "entah apa itu", dan meletakkan HP gue di salah satu ujungnya.

"Tut... Tut... Gujes, gujes," Akio meniru suara kereta. Gue hampir menyemburkan tawa mendengarnya.

Gue menelan ngakak. Setelahnya gue sadar. Akio begitu bangun tidur tidak langsung mengganggu ayah dan ibunya. Dia justru bisa bermain sendiri, dengan barang-barang seadanya yang berada dalam jangkauan.

Gue tiba-tiba ingat sesuatu. Ketika di motorhome, saat Akio terbangun di master bedroom tanpa ada gue dan Gladis, dia justru sibuk mengamati pola di sprei. Gue juga ingat, perbedaannya ketika Akio bangun di ruangan baru seorang diri, Akio langsung menangis meronta-ronta.

Apakah hal itu yang dimaksud Gladis tempo hari? Benar-benar kontras. Kalau begitu, Akio menangis bukan karena kesepian. Tidak ada Mama-Papa dan tidak familiar dengan kamarnya. Akio yang tidak nyaman pun ketakutan.

Ah, sial! Gue brengsek banget. Seketika gue sadar bahwa gue sudah benar-benar egois. Egois ingin memiliki Gladis bahkan hingga merebutnya dari anak gue sendiri.

Gue sudahi kepura-puraan gue. Akio sadar kalau gue sudah bangun. Ia langsung berhenti bermain.

"Pagi, Papa!" sapa Akio sambil berjalan mendekati gue.

Tuh, kan. Dia nyapa gue duluan! Darah daging gue yang imut begini sudah gue sia-siakan.

"Pagi, Akio," sapa gue balik. Gue angkat tubuhnya dan gue pangku. "Itu Akio lagi main apa?"

"Keta."

"Kereta, maksudnya?"

"Iyah, keyeta."

Gue menurunkan Akio dan menepuk-nepuk pantatnya. "Sekarang Akio cuci muka dan sikat gigi dulu sama Papa. Habis itu kita bangunin Mama untuk sarapan bareng."

Rutinitas pagi seperti sikat gigi bersama Akio sudah menjadi hal yang lumrah kami lakukan setelah tinggal bersama di motorhome. Tak jarang gue dan Akio mandi bersama. Kata Gladis, urusan kamar mandi, kalau gue sempat, gue harus mendampingi Akio. Gue harus memberi pemahaman pada Akio tentang anatomi dan otonomi tubuh.

Gue nggak ingat bagaimana dulu cara orang tua gue membesarkan gue. Gue nggak ada referensi cara mengasuh anak di real life. Jadi, gue nurut kalau disuruh ini-itu oleh Gladis. Karena gue hanya menjalankan perintah, gue jadi tidak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Murni hanya melakukan kewajiban tanpa mendalami ilmu parenting di baliknya.

"Akio bangunin Mama."

Akio yang baru melangkah keluar dari kamar mandi langsung berhenti. Ia mendongak, lihat gue. Di matanya gue menemukan keraguan.

"Akio ndak mau."

"Kenapa?"

"Mama cakit."

"Mama sakit?"

Akio mengangguk-angguk. Kedua tangannya saling meremat satu sama lain.

"Kok Mama bisa sakit?" tanya gue sambil berjongkok di depan Akio. Bocah itu membalas tatapan mata gue.

"Mama nanis, cakit."

"Nanis? Nangis?" Kepala Akio kembali mengangguk. "Kok Mama nangis?"

"Pagi, Mama nanis. Kemalin-kemalin, Mama nanis. Mama bobo tapi nanis. Mama cakit."

Gue penasaran. Gue melangkahkan kaki ke kasur dan berlutut tepat di depan wajah Gladis yang masih terlelap. Gladis tidak sedang menangis. Namun jejak air matanya yang mengering dapat gue lihat.

Gladis menangis dalam tidurnya? Kok gue nggak tahu?

Akio mengacak-acak tas besar berisi makanan. Ia menarik keluar satu kotak besar sereal. Tanpa kesusahan Akio menuang isi kotak tersebut ke dalam mangkuk yang sudah ia ambil dari tas yang sama. Akio makan sereal tanpa disiram susu.

"Papa, mam," Akio duduk melantai di sebelah gue. Di antara kita ada mangkuk bermotif panda berisi sereal Akio.

Suara yang dibuat Akio membangunkan sang ibu. Gladis mengulet sebentar sebelum membuka mata. Tatapan mata kita bertemu, namun Gladis langsung berpaling. Melihat Akio sedang makan sereal, Gladis langsung gelagapan melihat jam.

"Akio, maaf, Mama telat bangun. Akio makan sereal lagi?"

"Mama!" sapa Akio. Beda dengan ekspresi khawatirnya ketika di depan pintu kamar mandi tadi, kini Akio tersenyum lebar menunjukkan sepasang lesung pipi turunan gue.

"Pagi, Akio sayang," Gladis mencium kening dan kedua pipi Akio. Ia langsung turun dari kasur sambil menggulung rambutnya ke atas. "Mama cuci muka dulu. Habis itu kita sarapan."

"Shasha," gue mencekal pergelangan tangannya.

"Aku lagi buru-buru, Jeffrey."

"Shasha," gue mengetatkan jemari tangan sebelum ia berhasil kabur. "Kamu sakit?"

"Sakit?"

"Kata Akio kamu nangis sambil tidur. Kamu sakit?" ulang gue.

"Ap... apa sih? Akio salah lihat kali," Gladis menghindari kontak mata. "Aku kebelet. Lepasin tangan aku."

---

Wow, 2.500+ kata! Kepanjangan ya, hehe? 😅

Jangan lupa like dan comment-nya 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro