Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1| Ready! Set! Go!

Jeffrey Esa Kurniawan

Dulu sekali, selagi Akio menumpang tinggal di perut ibunya, Gladis pernah menyambangi arena balap di Malaysia untuk memberi gue dukungan. Dalam satu kali kesempatan itu, gue tidak bisa menunjukkan performa terbaik. Justru sebaliknya yang terjadi. Gue mengalami "luka ringan" yang bikin Gladis khawatir berlebihan dan berakhir dengan kita bertengkar hebat. Alhasil, Akio lahir sebelum waktunya.

Berkaca pada kehidupan sahabat yang ditinggal pergi istrinya padahal masih ada anak-anak berusia sangat belia, gue tergerak untuk tidak ingin berada jauh dari keluarga kecil gue sebisa mungkin. Gue tidak mau menyesal di akhir dengan menomorduakan kebahagiaan bersama. Sekarang Akio sudah dua tahun, sudah cukup besar untuk gue ajak ke mana-mana. Maka, turnamen musim ini menjadi ajang pertama kalinya gue memutuskan untuk memboyong serta istri dan anak.

"You mean, like, I am going around the world with you?"

"Ngh, something like that." Gue tidak bisa menahan senyum saat melihat binar antusias di mata Gladis. "Gimana? Mau ikut aku, nggak?"

"Of course, I'll go!" Gladis bertepuk tangan heboh. "Aku masih punya satu tahun sampai aku dapat izin kamu untuk lanjut kerja. Anggap aja ini sebagai liburan panjang."

"Well, Shasha. I am so happy because you're happy. I thought you hate my job."

"Aku nggak gitu. Aku menghargai pekerjaan kamu. Dari dulu kita mempermasalahkan pekerjaan karena hal ini yang bikin kita terpaksa menjalin long distance relationship. Tapi kan, sekarang jarak sudah terkikis. Aku sama Akio bisa dukung kamu dari dekat."

Persetujuan Gladis berhasil gue dapatkan. Gue tinggal menyusun strategi agar Gladis dan Akio dapat tinggal bareng gue dengan nyaman. Untungnya, segala persiapan dapat diselesaikan tanpa hambatan berarti.

Tahun ini pertandingan akan dimulai pada akhir bulan Maret dan berakhir di November. Seperti biasa, pada paruh pertama, pertandingan dilaksanakan layaknya Europe tour. Paruh berikutnya baru menyambangi sirkuit-sirkuit di benua Asia.

Dengan padatnya jadwal pertandingan gue, dari jauh-jauh hari gue sudah mewanti-wanti Gladis agar tidak kaget. Kita mempersiapkan banyak hal, terutama kebutuhan Akio, untuk meminimalisir kemungkinan bocah itu merengek minta pulang karena tidak betah.

Petualangan kita dimulai dari Qatar, negara penyelenggara Grand Prix sebagai pembukaan MotoGP musim ini. Begitu pesawat mendarat, kita dijemput oleh kru. Gue bilang ke Gladis bahwa selama satu setengah minggu ke depan kita bakal menghabiskan waktu dengan tinggal di motorhome, sejenis truk yang dibuat layaknya apartemen sebagai tempat tinggal sementara. Begitu sampai, Gladis terkejut.

"Tahu nggak sih, aku suka banget lihat pengalaman vlogger tinggal di campervan tiap liburan musim panas. Aku nggak berani mimpi untuk merasakan apa yang mereka rasakan, cause it will be too much to be happened in my life. But, here I am, standing inside a truck with amazing interior!"

"Do you like it?"

"It's cool!"

Gue tertawa mendengar nada bicaranya. Gladis jarang terlihat benar-benar bergembira seperti sekarang. Cuma sekali, saat kita berdua tahu keberadaan Akio untuk pertama kali. Saat itu ia tertawa sambil menangis saking senangnya. Kini gue bisa melihatnya lagi. Bahkan, sejak mendengar ide gue untuk membawa Gladis dan Akio ikut tur, dia selalu tampak antusias.

Gue senang. Itu berarti, rencana gue berhasil. Rencana untuk bersenang-senang bersama keluarga sambil bekerja.

"Kamu menikah sama atlet sukses dengan penghasilan jutaan dolar per tahun, Shasha. Hal kayak gini bisa kamu dapatkan dengan mudah. Kamu tinggal bilang ke aku, aku cariin."

"Jutaan dolar per tahun tuh maksudnya berapa rupiah?" tanya Gladis dengan raut muka clueless.

"Seratus lebih lah."

"Seratus juta?"

"Seratus miliar."

Gladis terkesiap. Ia menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Setelah rasa kagetnya berkurang, dia baru berkomentar.

"Keputusan tepat aku nggak manage pemasukan suami kayak istri-istri di Indonesia kebanyakan. Aku pasti nggak sanggup."

"You're not my accountant. I just want you to spend my money wholeheartedly." Gue mengecup pelipisnya. "And, be happy with it." Kali ini ciuman gue turun ke bibirnya.

"Ada bayaran yang mau kamu minta sebagai gantinya?" tanya Gladis sambil memicingkan mata. "Nih, tangan kamu. Duh, bandel banget sih. Memangnya nggak capek habis perjalanan naik pesawat sepuluh jam?"

"Satu ronde ya? Biar tidur nyenyak. Lagian aku yakin kamu pasti jetlag."

"Memang kamu nggak jetlag?"

"Nggak tuh, sudah biasa. Aku rutin keliling dunia sudah dari usia enam belas tahun. Jetlag itu terasa kayak turun dari roller coaster, nggak ada apa-apanya."

"Tapi, Jeffrey," Gladis menahan tangan gue agar tidak masuk ke dalam bajunya. "Di sini cuma ada satu kamar yang kasurnya besar, sudah dipakai Akio. Aku nggak mau ganggu tidur Akio."

"Masih ada kamar lain kok." Gue berdiri dari sofa yang saat ini sedang kita duduki. "Sini, aku ajak kamu keliling dulu."

Gladis menerima uluran tangan gue dan membiarkan beban tubuhnya gue tarik agar berdiri. Gue tahu, dia capek dan malas beranjak. Namun gue harus menjelaskan semua hal di motorhome padanya malam ini juga. Besok pagi gue harus berangkat kerja, takutnya Gladis bingung waktu gue nggak ada.

Dua puluh tahun lebih tinggal di rumah tapak tanah, gue asumsikan Gladis nggak tahu apa-apa. Sensasinya jelas beda dengan tinggal di kompartemen bongkar-pasang ini.

"Kamu sudah lihat ya, tadi waktu naruh Akio tidur. Di sana kamar kita, lengkap dengan laci-laci untuk taruh pakaian. Terus di depan kamar ada toilet dan ruang shower. Nah, tepat di depan pintu masuk itu area kitchen. Semua ada, mulai dari oven, microwave, bahkan mesin cuci dan pengeringnya sekaligus."

Gladis mengangguk. Matanya mengikuti ke mana telunjuk gue teracung.

"Selama kita tinggal di Paddock area, kamu nggak usah masak. Makanan sudah disediakan di hospitality tim aku. Kamu bebas kesana jam berapa pun untuk cari kebutuhan. Jangan lupa pakai free pass yang aku kasih tadi."

"Bentar," Gladis menginterupsi sambil angkat tangan kanan. "Akio suka tempe. Memangnya di sini ada tempe?"

Gue tepuk jidat. Benar juga. Akio harus makan tempe paling tidak tiga kali dalam seminggu. Sepertinya, besok sehabis kerja gue harus belanja ke toko khusus untuk membeli tempe kesukaan Akio.

"Besok aku beli."

"Kayaknya dapur ini nggak pernah dipakai," Gladis menekan tombol di panel kompor induksi yang terpasang. "Kalau aku pakai untuk masakin Akio tempe goreng, nggak masalah?"

"It's okay." Gue tersenyum miring dan melanjutkan, "Pelan-pelan kita ajarin Akio biar nggak kecanduan tempe."

Gladis tertawa sambil menepuk lengan gue pelan. "Akio cuma suka tempe, Papa Jeffrey. Kamu jangan treat dia kayak anak kecanduan weeds gitu dong."

Gue meringis. Tak ingin berlama-lama, gue menarik Gladis untuk pindah ke tempat berikutnya. Kita kini berdiri di ruang tengah, di depan sofa panjang yang tadi kita duduki.

"Look, there's TV over there. Kamu bisa nonton Netflix. Kalau mau, aku juga punya PlayStation, ada di laci bawah TV. Nah, PC ini bisa kamu pakai juga, password-nya sama kayak pin ATM aku. Terus, rak yang isinya pajangan helm dan seragam balap, jangan diapa-apain ya. Itu peralatan kerja aku."

"Hm, okay." Gladis menanggapi ala kadarnya.

"Terus, ini nih, yang kita tunggu-tunggu."

Gue meringis sambil menaik-turunkan kedua alis. Gue tekan satu tombol di sebelah sofa. Kompartemen di atas sofa, turun, memperlihatkan matras setebal lima belas sentimeter yang tadinya tersembunyi di langit-langit. Bisa dibilang, ini adalah kamar cadangan.

"Wow," bola mata Gladis membulat.

"Sebenarnya ada kamar lagi, tapi twin bed. Biasanya Om Adam nginep di sini. Karena sekarang ada kamu, aku usir Om Adam untuk tidur di tempat Luigi."

Gladis mengintip ke dalam kamar yang gue maksud. Kepalanya mengangguk-angguk. Wajahnya tampak puas.

Buku-buku jemari gue mengetuk atas meja panjang yang bisa memuat enam orang. Ini meja makan, tapi lebih sering dijadikan sebagai meja rapat. Menurut rencana gue, untuk beberapa saat ke depan, peruntukan meja ini akan berubah menjadi meja bermain Akio. Si bocil suka sekali menggambar.

"Jadi, selama kamu tanding, kita akan istirahat di truk ini?"

"Iya."

"Kalau begitu, selama satu tahun benar-benar di sini terus?"

"Nggak se-ekstrem itu, Shashayang," Gue tergelak. "Lebih tepatnya, selama aku tanding, aku akan tinggal di Paddock area, di sini. Which means, kalau nggak ada lomba di minggu-minggu tertentu, kita bisa pulang ke apartemen aku. Entah itu yang di Tavulia, Italia atau yang di London, Inggris."

Gladis mengelus dada, ia tampak lega. Melihatnya, gue mau tak mau bertanya.

"Kenapa? Anything bothering you?"

"Bukan gitu. Aku seneng sih, tinggal di tempat begini. Simple. Tapi aku sadar, Akio kan sedang masuk ke dalam masa-masa aktifnya. Aku merasa bersalah membesarkan dia di dalam truk."

Gue mengusap sebelah pipi Gladis, berusaha menenangkannya. "Akio bukan dibesarkan di truk. Anggap saja Paddock area seluas ini adalah taman bermainnya. We let him see something that he has never seen before."

"Beneran boleh?"

"Boleh lah, Shasha." Gue terkekeh. "Seluruh penghuni Paddock area adalah keluarga aku. Tempat ini rumah kedua aku. Karena sekarang ada kamu dan Akio, itu berarti kalian berdua sudah jadi bagian dari komunitas ini."

"Wow. I am nervous."

"Don't be, Sweety," Gue menangkap pinggangnya, menarik Gladis mendekat. "You're amazing. Mana kepercayaan diri kamu? Dulu kamu kan angkuh banget sama aku, dingin."

"Membayangkan bertemu dengan Marquez, Espargaro, Quartararo, dan pembalap lainnya tiap hari, bikin aku gugup. Mereka semua orang-orang hebat."

"Yang lagi meluk kamu sekarang juga orang hebat lho. Juara dunia nih."

"Beda cerita."

"Hm, beda cerita gimana?" tanya gue sambil perlahan mendorong Gladis agar duduk di matras 'kamar tersembunyi' yang belum gue kembalikan posisinya.

"Ya, beda. Aku kan sudah sering lihat kamu. Kalau sama mereka cuma pernah lihat di TV. Waktu dulu di Malaysia aja aku nggak punya kesempatan untuk kenalan sama banyak orang karena dilarang kamu."

"Waktu itu kamu hamil, Shasha. Aku nggak mau bikin kamu capek, pakai acara keliling Paddock area segala."

"Kalau sekarang aku.... Aah!"

Bola mata gue bergulir, melirik wajah Gladis yang sedang kesusahannya menahan suara agar tidak keluar dari mulutnya. Tatapan mata kita bertemu. Wajah Gladis yang merona bikin gue semangat untuk bergerak makin agresif. Tadinya lidah gue cuma main-main jilat belakang telinga Gladis, sekarang gue berani mencumbui area lehernya.

"Wait, Jeffrey. Bentar."

"Kenapa lagi?"

Gue menarik wajah sejenak dari ceruk leher istri gue yang menggemaskan ini. Terpaksa gue manahan hasrat biar Gladis nggak ketakutan.

"Nggak mau mandi dulu?"

"Habis main, baru mandi."

"Kan kotor. Kita habis perjalanan jauh lho."

Gue menggeleng, menolak pendapatnya. Gue kembali mengerjai Gladis. Ciuman gue mampu membuatnya lemas kehabisan napas.

"Foreplay, habis itu kita lanjut di kamar mandi," ucap gue sambil menarik lepas kausnya hingga lolos dari kepala.

"Kan... sempit...."

Gladis ngos-ngosan. Gue merasa menang.

"Bisa kok. Percaya sama aku." Gue tersenyum penuh arti. "Okay, aku mulai ya."

---

Notes:
Untuk yang nggak ngerti sama istilah-istilah dunia racing, aku bahas beberapa di bawah ini. Plus ada bantuan visualisasinya. Kalau sudah tahu, bisa di-skip kok, nggak ada pengaruhnya sama alur cerita.

Motorhome

Sederhananya, rumah yang bisa pindah-pindah. Biasanya dimensi motorhome lebih besar daripada campervan. Untuk ukuran olahraga "mewah" sekelas motogp, pembalap "mahal" punya satu motorhome sendiri.

Credit picture: google

Ini contoh motorhome punya Valentino Rossi (kalau yang hobi nonton pasti tahu nomor 46 itu legend banget hehe). Tampakan luarnya bisa pop-up gitu, dalamnya pun ya mirip-mirip kayak apartemen.

Tapi... jangan samakan para pembalap. Ada yang motorhome-nya lebih canggih, ada yang lebih sederhana.

Kalau Jeffrey, gayanya cukup "humble", mirip-mirip kayak punya VR46 atau Marquez bersaudara lah 😅

Paddock Area

Paddock itu sendiri juga disebut sebagai garasi. Nah, kalau paddock area, artinya lebih luas lagi. Mencakup paddock, hospitality area, sampai ke tempat parkir motorhome, dll.

Anggaplah ada suatu area luas dimana seluruh pihak yang bersangkutan (pembalap beserta tim, promotor acara, fasilitas penunjang) berada. Mudahnya, kita anggap sebagai back stage.

Kenapa Jeffrey menyebut paddock area sebagai rumah kedua?

Karena selama musim tanding berlangsung, dia banyak menghabiskan waktu di sana. Ketemu pembalap dari tim lain, istri atau pembalap lain, mekanik-mekanik, promotor acara, pers, dkk. Sudah kayak keluarga tuh, makanya pantas disebut sebagai rumah.

Kenapa nggak tinggal di hotel?

Bisa sih, tapi kebanyakan sirkuit balap itu di downtown atau pinggir kota. Untung menghemat waktu biar nggak kena macet, ya mending "tidur" di "tempat parkir". Lagipula Jeffrey bakal sering menghabiskan waktu di sirkuit, buang-buang waktu kalau harus ke pusat kota dulu cuma untuk numpang tidur.

Kalau kalian pernah baca potongan kisah Jeffrey-Gladis tidur di hotel saat pertandingan di Malaysia (book: Full Value of Joy), itu karena Jeffrey kasihan sama istrinya. Perut segede semangka 3kg kok tidur di tempat yang "kurang layak" aka motorhome.

Credit picture: google

Contoh salah satu paddock area, isinya ya motorhome dan truk-truk yang berjajar. Jelas tetanggaan samping-sampingan banget sama tim dan pembalap lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro