4- Jadilah Pelaku
Ya Tuhan, kenapa begini?
Aku sudah mengumpat ribuan kali dalam hati. Maksudnya, apa ini? Siapa yang melakukan ini? Baru tiga hari sejak Ema ditemukan dalam kondisi yang... begitulah. Lalu sekarang ini apa?
Sosok cewek berambut sebahu terduduk di lantai dan kepalanya menunduk. Rambut hitamnya terurai acak-acakkan dan ada tanda basah bekas darah. Sama seperti Ema, badannya penuh memar juga siletan gak jelas dan dia juga tampaknya dipukul dari belakang. Hanya saja, dia tampak lebih menyedihkan dari Ema. Wajah mulusnya tampaknya dihajar habis-habisan, mata kirinya bengkak parah.
"Misa."
Yah, dia itu Misa. Orang yang kami curigai justru menjadi korban bahkan belum sampai seminggu sejak peristiwa Ema. Di samping tubuhnya penuh beberapa buku. Maksud semua ini? Ah, ini membuatku frustasi.
"Korban kedua di perpustakaan dan kemungkinan oleh pelaku yang sama, juga sebuah surat." Kata-kata terakhir si Inspektur terong membuatku menoleh. Sebuah surat, lagi.
Ribuan muslihat telah tercipta
Pelakon panggung telah letih
Engkau digantikan perannya
Percuma, penonton telah mengetahui
Semua mencacimu tak inginkanmu
Usai sudah usahamu
Untuk itu datanglah padaku
Shu,23146503,weto
Aku tak paham, apa maksudnya? Panggung? Pelakon? Drama macam apa yang dilakukan Misa? Siapa pelakon panggung yang dimaksud? Dan... Shu, angka, weto. Tiga hal yang entah apa maknanya. Aku menggeleng tak paham.
"Saya semakin tak paham." Inspektur terong ini tampak gusar. "Siapa orang yang tega melakukan hal ini?"
Aku mengedikkan bahu. "Saya justru mengira Misa pelakunya yang justru korban selanjutnya. Saya masih bingung dengan angka dan kata-kata weto. Sekarang 'Shu' membuat saya makin bingung, apa coba hubungan panggung drama dengan Dewa Shu."
"Saya pun begitu, tunggu... Dewa Shu? Shu itu juga dewa? Dewa mesir? Dewa Yunani? Atau Dewa Romawi?" tanya Inspektur terong.
Aku mengangguk menganggapinya, maklum aku kan hobi banget baca buku-buku yang ngebahas tentang begituan. "Dewa Mesir. Tapi gak tahu lagi kalo salah."
Dia mengangguk tanda paham seraya merogoh sesuatu dari kantongnya. "Ini surat yang sebelumnya. Coba kita teliti mungkin kita bisa menyadari sesuatu."
"Ide bagus," sahut Matt.
Kita berlima bergantian membaca dua buah surat yang masih saja membingungkanku. Dewa kematian, 1452301,weto. Shu,31246506,weto.
Kenapa surat pertama menyebutkan gelar 'Dewa kematian' tapi di surat kedua menyebutkan nama 'Shu'
"Inspektur, coba lihat ini," panggil salah seorang bawahan si Inspektur terong.
Si Inspektur terong beranjak menemui orang itu. Buru-buru aku mengambil Hp dan memfoto kedua surat itu sebelum si Inspektur melihat.
"Hey!" pekik Khari.
"Biarin, kita perlu ini." David menyuruh Khari diam dan terus memperhatikan surat ini.
***
Sudah tiga hari sejak kasus Misa tapi aku dan ketiga koncoku belum juga menemukan sesuatu. Entah si Inspektur terong menemukan sesuatu atau tidak, tapi kelihatannya dia juga sama butanya dengan kami tentang titik terang kasus ini.
Pak Sony membeberkan rumus-rumus matematika yang membuatku makin ogah-ogahan. Dan buruknya, aku masih memikirkan cara bolos kelas, beberapa kali aku memberi Khari kode untuk bolos dan dia tampaknya masih bingung.
Tak hanya aku yang sudah ogah dengan pelajaran Pak Sony. Teman sekelasku yang lain pun begitu, lihat saja, Ivan diam-diam menyeruput mie yang dibelinya di kantin yang membuat ruang kelas penuh dengan bau mie. Sedangkan, Revan lebih memilih untuk berceletuk selama pelajaran. Juga beberapa yang sudah tertidur pulas.
"Lo ngapain sih, Mon?" tanya Aldo. Aku menunjuk pintu kelas. "Kerjaan lo emang bolos aja ya. Eh, gimana kasus Misa sama Ema? Udah ada titik terang?"
"Belum. Hanya dua buah surat yang gak gue pahami maksudnya," jawabku.
"Kalo lo pelakunya apa yang lo pikirin?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. "Gue bukan pelaku."
"Yah lo terus aja mikir gitu, dan kasus lo gak bakal nemuin titik temu. Kalo lo ngubah pemikiran lo, lo baru bisa nyelesein kasus lo. Anggap diri lo si pelaku, cari tahu pemikiran si pelaku, cari apa yang buat pelaku ngelakuin hal itu, kesamaan korban, jelajahi korban sampai ke akarnya," jelas Aldo. Aku tertegun mendengarkannya. Selama beberapa detik aku tak sanggup mengedipkan mata, Aldo keren. "Terpesona kan lo sama gue? Hehehe."
Aku memukul lengannya dan terkekeh.
Bener juga kata Aldo, kalo pemikiranku cuma sebagai si detektif jelas aku gak bisa nemu titik temu. Tapi gimana caranya aku bsia tahu pemikiran si pelaku?
"Pedenya lo, gingsul."
"Berhenti manggil gue gingsul, dasar biru," ejeknya baliknya.
"Itu gingsul ntar malem jadi taring," celaku.
"Terus kalo mata lo tuh, lihat tuh. Biru coklat, maunya apa? Labil banget mata lo. Besok bisa-bisa berubah jadi merah."
Tanpa sadar, aku tertawa dan Aldo juga menyusul tawaku. Bodohnya, aku lupa ini jamnya Pak Sony.
"ALDO PASCA! RAMONA ANDREW!" teriaknya. Aku dan Aldo saling pandang dengan tatapan horror. Mati aku. "Kalian rasanya lebih memilih untuk pacaran ya? Saya usulkan untuk berpacaran di luar dan berhenti mengganggu jam saya. Saya tahu jika nilai kalian itu terbaik di kelas ini, tapi saya tidak segan memberi kalian nilai nol. Keluar sekarang!"
"Wah, Mona ya, Aldo ya. Pacaran toh. Kalian itu pacaran jangan di kelas," celetuk Revan.
"Tolong dong. Hargai! Pak Sony tuh lagi jelasin," tegur Albert yang lebih terdengar sebagai ejekan buat Pak Sony.
"SEARCHING FACE!" seru penghuni kelas serempak.
Aku mengalihkan pandanganku pada Khari dan menggerakkan bibirku tanpa suara 'ijin ke toilet'. Khari mengacungkan jempol tanda siap padaku. Aku segera menyusul Aldo yang sudah berjalan keluar dengan kepala tertunduk seolah merasa bersalah. Sebetulnya, aku sih justru seneng.
"Lo di out kok seneng banget sih, Mon," sindir Aldo.
"Suka-suka, udah ah. Bye." Aku meninggalkan Aldo di depan kelas dan menunggu Khari di toilet. Aku mengeluarkan ponselku segera mengirim pesan ke dua cowok itu.
Buruan ke ruang band.
Sesaat kubuka galeri fotoku dan membaca lagi kedua surat itu. Dewa kematian dan Shu. Kalo itu nunjukin si pelaku kenapa di dua surat menggunakan dua penulisan yang beda? Atau ada arti lain? Terus arti angka itu apa ya? Jangan-jangan...
"Hey!" Aku terlonjak nyaris saja Hpku meluncur dari genggamanku. Si Pelaku hanya terkekeh melihatku. "Lo lebay banget sih, Mon."
"Tauk ah. Buruan ke ruang band." Aku memasang wajah ngambekku.
***
Aku melihat dua sosok tengah berdiri di hadapan ruang band. Satu bertubuh tinggi dan kurus, satunya lagi berpostur sedikit lebih gembul dan lebih pendek sedikit. Khari menghambur menghampiri dua orang itu.
"Matt, Vid," panggil Khari semangat.
Aku mempercepat langkahku.
"Mon." Matt mendekatkan diri padaku. "Kenapa di sini? Lo tahu kan nih tempat... ya begitulah."
Aku memandang remeh Matt. "Lo takut? Gila, seorang Matthew Jeffrey ternyata takut isu-isu hantu tentang ruang band."
Pletak! Aku harus mengaduh begitu kepalaku dihadiahi sebuah jitakan oleh Matt. "Mulut lo lama-lama gue tabok pake laptop gue ini." Dia memamerkan laptop di tangan kirinya. Aku mendengus sebal, malas menanggapinya. Dasar kejam.
"Asik kali Matt di sini. Sekalian menguak misteri ruang band," sahut David dengan seringainya yang justru membuatku tertawa terpingkal-pingkal karena dia gagal membuatku ketakutan dengan seringainya. "Ah, Mon. Lo ketawa mulu, ntar si Calvin milih Marie juga lo ngakak tapi ngakak ngenes."
Khari dan Matt langsung tertawa mendengar penuturan David. Dan aku, aku cuma ketawa kecut. Dasar. Selalu aku menjadi korban bully, kejam.
"Sudah ah. Ayo, kita bahas." Aku mengalihkan pembicaraan ke tujuan awal keberadaan kami di sini.
Kami sudah duduk melingkar di depan ruang band. Matt memindahkan foto surat --yang masih nggak jelas asal usulnya-- ke laptop miliknya.
Aku memperhatikan kedua surat itu tapi otakku sama sekali tidak dapat memahaminya. Berpikirlah sebagai pelaku bukan sebagai pemecah kasus.
"Matt, kalo lo punya alasan ngebuat Ema sama Misa jadi kayak gitu. Apa alasan lo?" tanyaku. Matt melirikku dengan tatapan aneh. "Gue serius."
Matt mengedikkan bahu. "Mungkin karena topeng yang mereka pake? Ah, itu bukan urusan gue. Prestasi mereka? Tapi gue juga nggak merasa iri sama prestasi mereka. Kalo gue tahu rahasia mereka, yah mungkin kalo ada rahasia dari mereka yang membuat gue kesal. Gue jadi kayak psikopat gini sih," jawabnya sekaligus disertai dumelan.
"Kalo lo, Khar?" tanyaku pada Khari tanpa mempedulikan dumelan Matt.
"Gue? Ehm, meskipun aneh dan gue gak bakal mau ngelakuin, tapi mungkin sifat mereka yang kadang semena-mena. Kalo gue jadi korban bully mereka, gue gorok satu-satu."
"Vid?"
"Kalo gue, entahlah, gue gak nemuin alasan. Mungkin kalo gue deket sama mereka atau tahu rahasia mereka baru ada alasan. Yah, rahasia." David tampak ragu dengan jawabannya. Pikirannya sedang menerawang ke tempat lain seolah dia mengetahui sesuatu. Menyadari kami semua sedang menatapnya, dia langsung berdeham. "Kalo lo sendiri?"
"Gue, ehm," aku menerawang segala kemungkinan, "alasan gue mungkin jelas. Gue sering di-bully mereka, itu bisa jadi alasan jelas kalo gue dendam, tapi gue gak pernah peduli hal aneh begituan."
David mengetuk-ngetukkan jarinya tampaknya dia berpikir sesuatu. "Coba kita persempit pelaku. Korban bully, rahasia antara mereka, dan orang yang iri sama prestasi mereka."
"Mungkin ada korban lagi nggak?" tanya Khari tiba-tiba.
Ah, benar. Kemungkinan bakal ada korban lagi kan. Tunggu, jangan-jangan korbannya...
"Kemungkinan besar," jawab Matt.
"Korban selanjutnya, kira-kira anak perfect girl lagi?" tanyaku.
"Marie?" tebak David. "Dan bisa jadi pelaku semua ini..."
"Eka?" jawab kami bersamaan.
Kemungkinannya... sedikit membuatku merinding. Apakah ini sudah tepat? Kenapa aku masih merasa ada sesuatu yang salah ya? Sudahlah, mungkin aku yang sedikit berlebihan.
"Eka masuk dalam list pelaku, Marie masuk dalam list korban. Kembali ke surat dan bagaimana cara mereka ketemu?" David mengembalikan topik pada surat yang masih tidak jelas. "Jujur, gue ngerasa curiga ini semua ada hubungannya sama..."
"Sama?" ulang Matt.
"Ah, lupakan. Ini cuma pemikiran konyol gua."
"Vid," rengekku. David berdecak, enggan menjawabnya.
Apa benar David mengetahui sesuatu? Apa itu? Apa dia ada hubungannya dengan semua ini? Mona, apa yang kamu pikirkan sih.
Kini aku datang untuk jiwamu
Aku telah menimbang jantungmu
Saatnya aku akan memangsa jiwamu
Engkaulah pendusta abadi
Luka kau torehkan di hati mereka
Untuk itu datanglah padaku
Dewa kematian, 1452301,weto
"Satu, empat, lima, dua, tiga, nol, satu." Aku menyebutkan angka-angka dalam surat pertama. "Hanya ada enam baris, tapi jumlah angkanya ada tujuh dan juga ada angka nol. Membuat semua analisiku kabur."
"Pendapat lo emang gimana?" tanya Khari.
"Coba perhatiin surat ini. Kita ambil setiap kata dari angka-angka ini dari tiap baris. Gini, angka satu berarti kata pertama dibaris pertama 'kini', angka empat berarti kata keempat dibaris kedua 'jantung', dan selanjutnya. Gue udah nyoba tapi gue bingung dibaris keenam justru angka nol dan ada angka satu, gue coba abaikan baris keenam justru ketemu K-J-J-P-T. Kalo kata yang digabung makin gak nyambung kini jantungmu jiwamu pendusta torehkan," jelasku sembari terkekeh menyadari penuturanku yang aneh.
"W-e-t-o juga apa maksudnya? Juga kalo dewa kematian nunjukin si pelaku kenapa di surat kedua tipenya berubah dan nyebutin nama... Shu? Si Shu, emang Dewa apa Mon?" Matt tampak makin frustasi dengan kedua buah surat itu.
Dewa kematian mesir itu Anubis. Jelas ini membahas Dewa mesir. Kalo Shu, tunggu dia Dewa apa ya? Tiba-tiba aku lupa dengan jati diri si Shu.
"Dewa, ehm, Dewa cahaya... apa ya? Bener nggak ya? Akh, aku lupa. Intinya... eh, aku inget Dewa cahaya dan penyokong langit," jawabku sembari mengingat identitas si Dewa agar tidak keliru.
"Penyokong apaan tuh?" tanya Khari dengan tampang super bloonnya.
"Semacam penunjang atau penopang," jawabku.
"Apa hubungannya Dewa cahaya sama pelakon? Gak nyambung amet." David tampak berpikir keras mencari kesamaan keduanya. Sekilas, aku sempat raut wajah ragu-ragu dari David. Mungkin hanya perasaan."Gue gagal paham sama nih pelaku, serius deh. Eh, tunggu tadi kan waktu tuh surat pake caranya Mona kan gagal, gimana kalo... eng, meletakkan kalimat di tempatnya yang benar? Semacam pelajaran mengurutkan kata waktu SD."
"Maksud lo?" Matt tampak makin tak paham dengan kata-kata David. Aku pun begitu.
"Satu, empat, lima, dua, tiga, nol, satu." David menyebutkan angka-angka dalam surat pertama. Dia menghembuskan nafas berat seolah enggan menjelaskan. "Kalimat pertama sudah di tempatnya, kalimat kedua pindah ke urutan keempat, kalimat ketiga pindah ke urutan kelima, kalimat keempat ke urutan kedua, kalimat kelima ke urutan ketiga, abaikan dua angka selanjutnya. Atau letakin kalimat keenam di atas kalimat pertama, atau arti nol adalah zonk—"
"Ah! Ribet," protes Khari. "Abaikan dua angka itu. Anggap nol dan satu gak ada."
"Gak bisa gitu lah. Siapa yang tahu maksud dari nol dan satu? Angka nol derajatnya jauh lebih tinggi dari satu, juga angka satu yang kedua juga apa tandanya?" bantah Matt.
Khari melotot pada Matt menyadari protesnya dibantah begitu saja. Bukan Matt namanya jika dia tidak membalas Khari, Matt balik menatap Khari dengan tatapan menyebalkan.
"Sebetulnya, abaikan aja, itu bukan kalimat penting kok," ujar David.
Mata kami bertiga tertuju pada David. Dia baru bilang apa? Kok dia yakin? Merasa diperhatikan, David menggaruk tengkuk yang pasti tidak gatal. "Lupakan."
Aku mengambil laptop dari tangan Matt. Tidak mempedulikan kelakuan tiga makhluk yang sibuk beradu pandang, sampai-sampai membuatku sedikit tidak nyaman melihat kelakuan mereka. Aku mengetikkan surat itu dalam di ms. word dan mengurutkan sesuai kata David.
Kini aku datang untuk jiwamu
Engkaulah pendusta abadi
Luka kau torehkan di hati mereka
Aku telah menimbang jantungmu
Saatnya aku akan memangsa jiwamu
Aku memperhatikan surat yang sudah diurutkan. Apa yang beda? Oh God, ternyata begitu toh. Aku baru sadar, sesuai dugaan David.
"Ketemu kan?" David berkata dengan pongah saat ikutan membaca surat yang kuurutkan. "Tapi kalo hanya segini masih kurang jelas. Menurut pendapatku angka nol itu beneran zonk."
"Setuju. Kemungkinan Dewa kematian dan Shu itu menunjukkan spesifiknya. Jangan lupa, w-e-t-o."
"Bingo. Misteri mulai terkuak."
Aku dan David saling bersahutan tentang misteri yang mulai terbuka.
"Ehem, kita berdua cuma cengo nih? Kalian bahagia banget." Dehaman Khari menyadarkanku dan David. Aku tersenyum malu.
David menjelaskan apa yang membuatku dan dia menyadari bukti yang mulai membawa kita semakin dekat dengan pelaku. Aku memperhatikan keyboard laptop, aku mengurutkan huruf W-E-T-O. Hey, apakah mungkin ini? Cukup tepat loh. Yah, pikiranku mulai ngawur. Rasanya... sedikit agak konyol.
"Mon, coba lo cek surat kedua," pinta David.
Aku buru-buru mengecek surat kedua dan... "Vid, gue ngecek surat kedua dan tepat sasaran juga," ucapku bangga.
"Nah kan," pekik David gembira.
Brak! Suara ynag berasal dari ruang band membuat kami bungkam seketika. Aku yakin banget kalo ruang band kosong loh. Serius, kini bulu kudukku merinding.
"Dia ngamuk nih," ucap Khari dengan tatapan horror. "Satu, dua, hwa..."
Khari berlari mendahului kami bertiga. Bodohnya, aku berlari sambil membawa laptop Matt yang membuat pergerakanku jauh lebih lambat dibanding ketiga temanku. Sial.
Aku terengah-engah begitu kami akhirnya berhenti berlari. Sedari tadi laptop Matt nyaris melayang dari tanganku yang sudah penuh keringat.
Kami berhenti di dekat tangga. Matt mengambil laptopnya dari tanganku. Aku memandangnya sinis, seperti biasa Matt tidak akan menghiraukanku.
"Harusnya laptop lo tadi gue tinggal aja," cibirku.
"Siapa suruh lo bawa, dasar bodoh," ejeknya.
Aku mengalihkan pandanganku ke David dan sesuatu yang aneh terjadi. David diam seolah memikirkan sesuatu. Kenapa?
"Kalian tahu kan cerita ruang band?"
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan David. Siapa sih yang nggak tahu cerita seram dibalik ruang band.
"Cowok yang di-bully itu ya?" sahut Khari.
"Vokalis yang di-bully sama anggota bandnya dan akhirnya dia mati kan? Tapi... dia mati kenapa? Dibunuh pembullynya atau bunuh diri?" jawabku seraya melontarkan pertanyaan lain.
"Iya, cerita itu. Gue juga kurang paham,Mon. Ada dua versi dari cerita itu. Gue... kok merasa kasus ini kok ada hubungannya sama cerita itu ya?" terka David.
"Di-bully karena dianggap berbeda. Di-bully karena dianggap istimewa. Di-bully karena iri. Di-bully yang seharusnya tidak di-bully," tambah David... sedikit agak tidak nyambung.
"Maksudnya, di-bully yang seharusnya tidak di-bully?" Aku mengerutkan dahi.
"Bodoh," cibir Matt. "Maksudnya itu kayak lo, bego. Lo itu berbeda, juga istimewa karena lo beda. Dan mereka iri. Jadi lo itu seharusnya nggak dibully tapi dibully padahal lo... cantik."
Aku mengerutkan dahi mendengar kata-kata terakhirnya. "Apa? Gue cantik? Emang."
"Hah?!" Matt kaget dengan apa yang baru diucapkannya. "A-apa? G-gue? Ah, jelas gak mungkinlah. Tadi... tadi maksud gue bukan lo kok, tadi gue... mau bilang padahal lo beda, tapi... gara-gara ada... cewek cantik lewat jadi bilang cantik," jawab Matt gelagapan seolah dia sedang diinterograsi dalam sidang. Lagian juga kenapa kalo mau bilang aku cantik? Aku tahu dia mengagumiku kok.
Aku mendengus sebal. "Oh ya, gue kok ngerasa sesuatu yang berhubungan dengan weto, tapi mungkin konyol." David menaikkan dagu tanda meminta jawaban dan sedikit menyeringai. Aku mengambil laptop Matt. "W-E-T-O."
David membelalakkan mata seraya menatapku, ada kekagetan tersendiri di wajahnya. Bukan karena aku menjelaskan apa arti weto menurutku, melainkan ekspresi lain yang... aku tak tahu. Aku mengedikkan bahu.
"Mungkin, banget. Dan gue merasa tebakan awal kita salah karena gue sekarang tahu, ini mengarah ke siapa. Dugaanku, itu terjadi lagi malam ini."
F.R 7E
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro