💝 03 💝
Millo menjauhkan wajahnya. Melihat reaksi Rose sampai sebegitunya, ia lekas tertawa lepas. "Bercanda Sayang, ih kamu mah serius banget."
Seketika Rose cemberut. Memukul dada bidang suaminya cukup keras sampai Millo termundur selangkah. "Nggak tau ah, Mas."
Kemudian berbalik badan dan meninggalkan Millo sendiri. Namun, pria itu langsung menyusulnya, membujuk istrinya sebisa mungkin.
"Ngambek ya?" Millo mengekorinya.
"Ih, si cantik ngambek. Maaf deh, maaf." Lanjut Millo, tapi tak ada tanggapan apapun.
Rose berlalu masuk kamar, Millo menutup pintu dan menguncinya. Rose menyingkap selimut dan hendak tidur, tetapi Millo menahan tangannya.
Memegang pipinya kemudian mempertemukan bibir keduanya dengan cepat. Rose terdiam, menikmati permainan bibir dari Millo.
Sementara tangan Millo kegatalan, ia perlahan membuka kancing baju Rose satu per satu.
"Kita lanjutkan yang pagi tadi."
Rose mengerang, mendesah kecil, pasrah dihadapan suaminya. "Kamu nggak boleh bujuk aku kek gini, Mas, aku pasti luluh."
"That's all it can do to melt your heart, Beb."
Millo kembali melanjutkan permainannya, ia menarik baju Rose setengah ke bawah, memperlihatkan bahu putih mulus Rose. Sedikit memperlihatkan pakaian dalam milik Rose.
Millo melirik bahu istrinya, ia membelai lembut dari atas bahu sampai ke telapak tangan.
"M-Mas," Desah Rose lirih, "jangan terlalu lembut. Ak-Aku sensitif."
Millo menatap Rose dalam. Malam ini akan jadi gejolak cinta keduanya. "Mari lakukan."
Millo melingkarkan kedua tangan Rose ke tengkuknya, ia perlahan melepas kancing bajunya, tatapannya lengket ke wajah Rose.
Kancing terakhir sudah terlepas, segera Millo mendorong Rose ke tepi ranjang. Menggerogoti tubuh Rose yang begitu bergairah akan api cinta.
***
Mata Rose perlahan terbuka, lampu tidur masih menyala. Di sampingnya ada Millo tertidur telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Rose pun sama.
Beberapa saat lalu. Mereka bermain cukup lama hingga lupa makan malam. Rose ingin cepat-cepat mengandung. Ia mengelus perutnya pelan.
Saat Rose menyalahkan layar gawainya, terlihat jam 03.00 tepat.
"Ada apa, Sayang?" Tanya Millo dengan suara sedikit serak. Sepertinya ia terbangun karena cahaya dari gawai Rose. Matanya sipit.
"Ah, bukan apa-apa, Sayang." Rose menjawab, segera mematikan gawainya.
Millo mengangguk pelan, ia maju kemudian mengecup dahi Rose mesra. Kemudian memeluknya, Rose tersenyum bahagia. Kemudian keduanya melanjutkan tidur.
***
"Kenalin, aku Millo Harrison." Dia menjulurkan tangannya.
"Salam kenal, aku Rose Grace. Senang kenalan sama kamu."
"Kamu jauh lebih cantik dari profil sosmedmu."
Perempuan itu tersipu malu. "Ma, makasih, Bang."
"Bang? Formal banget sih, umur kita cuma selisi 3 tahun loh."
"Oh iya, Maaf Kak." Ia terkekeh kecil. Gelagapan.
"Oh iya, dia siapa?" Tunjuk Millo ke sebelah perempuan itu.
"Oh, kenalin Kak, dia Esme Grace, adik aku. Es, kenalin dia Millo, temen Mbak."
"Oke, Mbak. Kenalin, aku Esme." Esme mengibarkan rambutnya. "Ya udah, kalo gitu aku tinggal dulu ya, Kak Millo, Mbak Rose."
"Iya, hati-hati mainnya Es, jangan pulang kemaleman." Teriak Rose.
"Iya, Mbak, bawel ah," Jawab Esme setelah melangkah cukup jauh.
"Dia beneran adikmu, Rose?" Tanya Millo sambil menatap punggung Esme.
Rose mengangguk. "Kata Bunda, Esme mirip sama Omah aku dulu, sedangkan aku mirip Eyang."
"Oh gitu." Millo mengangguk paham. "Eh, kamu haus nggak? Sebagai hadiah kencan pertama kita, aku traktir Ice Cream."
"Eh?" Alis Rose terangkat. "Boleh deh, boleh."
Rose bingung harus bersikap seperti apa. Karena Esme diam-diam mendaftarkannya ke aplikasi kencan. Dia sedikit kesal karena Bundanya selalu membanding-bandingkan mereka.
Esme berharap, setelah Mbaknya dapat teman kencan, Rose akan jadi sedikit nakal terhadap Bundanya. Begitu harapan Esme.
***
Millo terbangun, ia meraba-raba sekitar kasur namun tak menemukan tubuh Rose. Ia mengangkat kepalanya, kemudian dengan berat membuka matanya, mendapati ranjang yang kosong. Hanya dia seorang.
"Rose?" Panggilnya. Ia bangkit, menyenderkan tubuhnya ke punggung ranjang, menyingkap otot-otot perut hingga dada yang tersembunyi dibalik selimut.
"Iya, Mas?" Jawab Rose berdandan di depan cermin, ia mempolesi bibirnya dengan lipstik, kemudian meletakkannya ke dekat cermin. Ia menoleh ke arah suaminya yang baru bangun.
"Kamu kok nggak bangunin aku sih?" Tanya Millo masih bersandar, perlu waktu lebih banyak untuknya mengumpulkan roh.
"Habisnya Mas ganas banget malam tadi. Aku basah banget tau. Mana langsung ditinggal tidur lagi."
Mendengar itu Millo beranjak bangun meski telanjang bulat, mendekat ke Rose yang terduduk di kursi rias.
"Jangan deket-deket!" Cegah Rose, mendorong bahu suaminya. "Mas bau tau, mandi sana."
Bukannya bergegas mandi, Millo malah terkekeh. "Bau dari mana coba? Itu kan bau kamu sendiri, Rose. Ingat semalam—"
Jari telunjuk Rose langsung menempel ditengah bibir Millo, membuatnya berhenti bicara.
"Udah ah, Mas, jangan dibahas mulu. Lama-lama aku jadi malu."
Tiba-tiba Millo langsung mengulum telunjuk kecil Rose dengan cepat. Ia mengecupnya mesra, penuh gairah.
"Mas, Lepas ih. Massss!" Rose sekuat tenaga menarik telunjuknya dalam mulut Millo. Rasanya, seluruh saliva Millo menempel pada telunjuknya.
Setelah puas mengecupnya, Millo melepasnya, sementara Rose memajukan bibirnya kesal.
"Mandi gih," Perintah Rose, ia mengelap jari telunjuknya dengan tisu basah.
"Temenin," Millo bersikap manja.
"Kalo nggak mau dapat jatah seminggu, boleh kok, Mas."
"Ih, kok gitu? Nggak sukaaa."
"Mas!" Rose mencoba menahan tawa. "Sana gih. Maaandiii." Rose memutar bahu suaminya dan mendorongnya ke depan pintu kamar mandi.
"Love you, Bab."
"Love you too. Udah ah, mandi sana."
Millo masuk ke dalam, Rose menutup pintu dengan cepat. Ia menghela napas lega, akhirnya suaminya mau mandi juga.
Rose kembali mencium aroma telunjuknya, sedikit aneh tapi dia menyukainya.
Kemudian ia memutuskan untuk ke bawah, menemui Mama Eli yang sudah duduk kursi makan. Ia menyambut kedatangan Rose yang baru turun dari anak tangga melingkar itu.
"Millo mana?" Tanya Mama Eli.
Rose duduk tepat di depan mertuanya. "Ada di atas, Ma, masih mandi."
"Loh, anak itu, ckckck, kebiasaannya belum bisa berubah. Kalo bisa, Rose, kamu ajarin dia ya. Mama udah nyerah deh."
Rose tersenyum tipis. "Iya, Ma. Aku pasti bakal bimbing Mas Millo ke jalan yang lebih baik."
Mamanya membalas senyuman. "Ya udah, ini nih makan sayur asem, dikasih tetangga sebelah. Oh iya, adikmu si Esme itu suka sayur asem nggak?"
Rose berpikir sejenak. "Keknya suka sih, Ma. Kenapa memangnya, Ma?"
"Nggak, ini Mama mau bungkusin juga buat dia. Millo sama Papanya mana suka sayur asem. Sayang kan kalo dibuang, mending kasih ke orang yang mau makannya aja."
"Iya, Ma. Aku coba dulu ya sayur asemnya."
"Monggo, tadi udah Mama cocokkin lagi rasanya. Semoga kamu suka, Nak."
Rose menyeruput kuah sayur asem itu, ia mencoba merasakan sensasi makanan tersebut, tanpa dia duga, rasanya benar-benar enak.
Ia kembali menyeruput makanan itu, kali ini dengan isiannya, jagung dan juga kacang tanah, Rose mengunyahnya, rasanya jadi semakin enak.
"Ma, enak banget. Aku bungkusin buat Esme ya, Ma, pasti dia suka."
"Iya, Nak, silahkan."
"Bungkusin apa?" Suara berat datang dari belakang Mama. Pria berumur itu duduk di sebelah Mama.
"Sayur Asem," Jawab Mama singkat. "Papa mau?"
"Mau dong...."
Mama Eli melirik suaminya. "Serius kamu, Pa?"
"Yo seriuslah, Mama kayak nggak tahu Papa aja."
"Ya udah, nih." Mama mengambil porsi kecil sayur asem kemudian meletakkannya di depan Papa.
Terlihat Papa hanya memandangi makanan itu, tidak tertarik sama sekali.
"Kenapa, Pa? Kok cuma diliatin aja? Makan toh, keburu dingin."
"I-iya, Ma, Papa makan kok."
Papa mengambil potongan sayur itu dengan sendok kemudian mengangkatnya, berhenti di depan mulut.
"Ayo, makan, Pa."
Papa terlihat ragu, "Iya, Ma, sabar dong."
Papa kemudian memasukkan isian sendok itu ke mulutnya, matanya memejam, raut wajahnya mengkerut.
Kemudian ia dengan cepat mengambil banyak tisu dan mengeluarkan kembali isian dalam mulutnya.
"Mama ihh!" Rengek Papa.
"Lah kok Mama?" tanya balik Mama Eli ketus.
"Udah tau Papa nggak suka sayur asem kenapa dipaksa makan?"
"Loh, yang maksa Papa makan siapa? Iya nggak, Nak? Ada-ada aja Papamu ini."
Rose hanya terkekeh sambil terus menikmati sayur asem miliknya. "Iya, Ma."
"Ih, Mama curang pake ajak menantu segala. Ngomong-ngomong, kamu suka Nak dengan sayur asem?"
Rose mengangguk. "Suka, Pa."
Papa bergidik geli. "Kok bisa ada orang yang suka sayur asem."
Mama Eli membalas, "Kebalik, Pa, kok bisa ada orang yang nggak suka sayur asem, padahal enak dan sehat gini."
"Enak dari mana, Ma?"
"Udah ah, Papa suka banget nyari ribut. Kantor gimana? Masa mau ngandelin Millo sama timnya terus-terusan. Nggak kasihan Pa sama anak sendiri?" Mama mengalihkan pembicaraan.
Sikap Papa langsung berubah menjadi berwibawa. "Biar Millo nggak cuma kebagian yang enaknya aja, Ma. Dia itu kan penerus Papa, Papa nggak mau bisnis yang udah di bangun dari Kakek Papa rusak."
"Iya, Pa, Mama ngerti kok, tapi jangan keras-keras ya mendidiknya."
"Keras juga nggak masalah kok, Ma." Millo membalas sambil menuruti anak tangga cepat. Sudah mengenakan jaz biru rapih dengan dasi merah di tengahnya. Ia mengecup dahi Rose sebelum duduk di sebelahnya.
"Pagi, Sayang." Sapa Millo sambil mengelus pelan rambut istrinya. "Cantiknya nambah tuh."
"Pagi. Ih, apa sih, Mas, nanti aja deh gombalnya."
"Lah, kenapa? Biarin, Mas yakin Mama-Papa pasti mesra-mesraan juga kan di depan kamu? Jangan mau kalah, Sayang."
"Eh, kamu!" Potong Mama cukup galak. "Udah ih, nih makan, telur omlet, oh ya, sekalian nanti anterin sayur asem ke adik Rose ya. Kantormu kan searah sama apartemennya."
"Iya, Ma."
***
Sesi sarapan pagi sudah selesai, Rose mengantar Millo ke halaman, mobik sudah terparkir.
"Aku berangkat ya, Sayang. Maaf banget nggak bisa ambil cuti lama-lama, projek perusahaan banyak yang nggak bisa dialihkan."
Rose menggeleng, ia menjulurkan wadah makanan besi berisi sayur asem itu. "Nggak papa kok, Mas, aku bisa ngertiin. Ini sayur asem buat Esme, tolong anterin ya."
Millo menerimanya. "Ya udah, kalo gitu aku berangkat dulu ya. Baik-baik di rumah."
Setelahnya ia melambaikan tangan, hingga mobil Millo menghilang di balik kerumunan mobil lain.
Rose merasa ada yang ganjal sejak tadi. Seperti ada yang mau ia bicarakan dengan Millo, tapi apa.
"Astaga, lipstik!"
Buru-buru ia pergi ke dekat gerbang rumah, mobil yang Millo kendarai sudah jauh pergi.
"Ya udah deh, nanti aku anterin langsung ke kantornya aja." Pikir Rose.
Padahal setibanya ia di kantor, dia harus menerima kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro