💝 02 💝
"Rose, are you willing to spend every day with me?"
Rose yang saat itu baru dinyatakan lulus sidang skripsi benar-benar terkejut. Ia pikir, ini semua hanyalah mimpi semata.
"Millo, Is this a dream? Aku... Aku takut ini mimpi. Please, kasih tau aku kalo ini bukan mimpi..."
"It's not a dream, Beb." Millo segera membuka kotak biru di tangannya, di dalamnya terdapat cincin berlian yang begitu cantik dan menyilaukan.
Rose terpekik sesaat, ia menutupi mulutnya yang terbuka lebar dengan tangan. Air mata tak dapat ia tahan, ia terhisak bahagia.
"Aku mau! MAU BANGET!" pekik Rose tanpa memperdulikan sekitaran kampus. Ia melompat-lompat kecil kegirangan.
Millo tersenyum lebar, ia memegangi tangan Rose, kemudian mendongak ke wanita itu. "Boleh aku pasangin ke jari kamu?"
Rose tak sanggup berkata-kata, ia hanya bisa mengangguk. Millo memasangkan cincin itu ke kelingking manis Rose. Begitu sempurna saat sudah terpasang.
"I love you, Rose Grace!"
Millo berdiri dan mengangkat tubuh Rose kemudian berputar-putar, keduanya bersenang-senang. Rose memeluk Millo dengan erat.
Tak jauh dari sana, terlihat seorang wanita memperhatikan keduanya. Ia mengintip dari balik batang pohon. Tangannya mengepal erat, rasa kecewa menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Nggak bisa, Millo, kamu benar-benar lelaki brengsek!!!"
***
Mobil kembali terparkir di halaman rumah keluarga Harrison. Tak lama, pintu terbuka dan keluarlah Millo dan Rose dari dalam mobil. Terik matahari tepat di atas kepala, perut keduanya separuh kosong karena makan popcorn saja tidak akan mengenyangkan.
Mereka masuk beriringan, berpegangan tangan, saling senyum satu sama lain. Hingga tak menyadari jika ada Mama Eli di meja makan.
Mama Eli berdehem kencang. Membuat keduanya sontak tersadar, terkejut seperti ketahuan mencuri.
"Astaga, Ma," respons Millo seketika. Ia mengelus dadanya pelan. "Jangan ngagetin gitu dong, Ma."
"Siapa yang ngagetin? Kalian aja yang terlalu mesra-mesraan."
"Ah, Mama bisa aja." Bukannya tersadar, Millo malah merasa seperti dipuji oleh Mamanya.
"Wes angel lah. Ya udah, duduk gih, keburu dingin ntar makanannya," perintah Mama Eli.
"Iya, Ma," jawab keduanya hampir bersamaan. Mereka duduk berdampingan di hadapan sang Mama.
"Papa mana, Ma? Bunda sama Ayah kemana juga, Ma?"
"Astaga Millo, yo satu-satu lah pertanyaannya toh, Mama pusing dengernya." Ia memijat pelan pelipisnya.
Kemudian tak lama, ia mencoba menikmati sup ayam yang baru saja ia sajikan. "Weh, kurang garem ini."
"Maaa," keluh Millo panjang. "Pertanyaan Millo belum Mama jawab loh."
"Nggak bisa, Mil, Mama kudu benerin rasanya dulu. Mau di tarok kemana muka Mama kalo Besan Mama makan makanan kayak gini. Udah ah, kamu diem aja dulu. Rose, tolong bantu Mama ya, ambilin garam sama kaldu bubuk di dapur."
"Siap, Ma." Rose segera beranjak dari kursinya dan menuju ke dapur.
Rumah mereka memang tidak mempekerjakan Asisten Rumah Tangga. Selain hampir setiap hari seluruh anggota keluarga tidak ada yang makan di rumah, mereka juga lebih suka memesan makanan ketimbang memasaknya. Hanya beberapa masakan favorit saja yang dimasak.
"Ini, Ma," Rose langsung meletakkan dua barang yang mertuanya minta. Mama Eli langsung bersilat dengan bumbu masakan, sesekali ia menyicipi makanan di ujung lidahnya.
"Nah udah pas!" Respons Mama Eli setelah beberapa kali percobaan. "Rose, Millo, tolong panggilin semua orang ya, kita makan sama-sama hari ini."
"Tadi katanya keburu dingin. Gimana sih, Ma?" Keluh Millo.
"Aduh, nih anak bisanya protes mulu."
"Mas," Panggil Rose pelan. "Kita panggil yang lain dulu ya, sekalian nanti kita hangatkan sop nya."
Millo hanya mendesah pelan. "Ya udah deh."
Keduanya beranjak dari kursi, segera pergi memanggil Bunda, Ayah, Papa, dan Esme.
Keduanya kembali, bersama dengan seluruh anggota keluarga, kecuali Esme.
"Loh, adiknya Rose mana, Jeng?" tanya Mama Eli saat melihat mereka datang.
Bunda Ratna duduk terlebih dahulu sebelum menjawabnya. "Udah balik ke hotel, Jeng, biasa anak ABG jaman sekarang, nggak betah banget tinggal di rumah. Maunya maiiin terus."
Millo tertawa ditengah kunyahan makanannya. "Bener banget, Bun. Rose pas kuliah dulu juga gitu."
Rose memukul manja bahu suaminya. "Ih, apaan sih, Mas. Maklumlah, namanya juga ABG."
Millo ber-oh panjang, masih dengan wajah menggodanya. "Jadi sekarang udah nggak ABG lagi nih?"
"Masss...."
Millo cekikikan. "Iya-iya, maaf."
"Astaga kalian ini. Ingat umur, udah kepala dua masih juga bertingkah kayak anak baru masuk SMP. Ckckck." Mama Eli menggelengkan kepalanya.
"Denger tuh, Mas!" Gerutu Rose, sambil menuangkan air putih ke gelas Millo. "Ingat umur."
"Dih!" Balas Millo, "nggak berlaku buat aku doang itu, kamu juga. Iya kan, Ma?"
"Sama aja."
"Tuh."
Millo kembali tertawa. Rose hanya mendengus kesal.
Tiba-tiba gawainya berbunyi, ia meletakkan kembali gelas dan membuka gawainya. Terlihat nama 'Sekretaris' di layar handphone.
Tanpa pikir panjang, Millo langsung mengangkatnya.
"Ya, hallo?" Millo mendengarkan dengan seksama. "Benar, iya nanti saya urus ya. Ada perlu lagi? Sekarang? Hem, ya sudah, oke."
Setelah itu Millo mematikan panggilan. Rose yang menyimak dari tadi langsung menyambarnya. "Ada masalah di kantor ya, Mas?"
"Ah, nggak, cuma memeriksa berkas laporan keuangan dan kontrak client. Nggak lama kok, boleh kan aku pergi?" Pintanya pada sang istri.
"Iya, Mas, selagi kamu melakukan hal yang benar, aku selalu dukung kok."
"Hati-hati, Nak," Bunda memperingati, "jangan ngebut-ngebut bawa kendaraannya."
"Iya, Bun. Kalo gitu, aku berangkat dulu ya, dah dah semua."
Millo segera beranjak sambil membawa kunci mobilnya. Tak lupa ia mengecup dahi Rose mesra, setelah itu melambaikan tangan ke semua orang dan menghilang dibalik dinding.
Suara mesin mobil terdengar dari dalam, gerbang rumah dibuka dan mobil pun melaju ke jalan raya.
"Rose, kamu nggak merajuk kan, gegara ditinggal Millo kerja?" Tanya Mama Eli, memastikan.
Rose menggeleng, "nggak kok, Ma, aku malah seneng lihat Mas Millo semangat kerja kayak gitu. Artinya, dia pria yang bertanggung jawab."
Rose menyudahi makannya. "Kalo gitu, aku mau ke atas dulu ya, Ma, Bun. Ngantuk banget soalnya."
"Oh iya, silahkan, Nak."
Bunda mengelus rambut putrinya. "Tidur yang nyenyak ya, Sayang."
"Iya, Bunda."
Rose menaiki anak tangga kemudian masuk ke dalam kamarnya, tidak, lebih tepatnya kamar Millo. Dia bahkan belum membereskan baju-bajunya yang masih ada di dalam koper.
Tapi rasa malas dan kantuk sudah menyerangnya lebih dahulu. Ia menyingkap selimutnya dan membaringkan tubuh di ranjang. Tak butuh waktu lama, ia terlelap tidur.
***
Rose menggeliat tak nyaman, keringat bercucuran di pelipisnya. Matanya memejam erat, seperti takut akan sesuatu. Kemudian!
Mata Rose terbuka lebar cepat. Ia terbangun. Apa itu barusan? Ia melihat api yang sangat besar di hadapannya. Di dalamnya ada Millo bersama dengan seseorang, ia tak begitu jelas melihatnya.
Apa arti mimpinya barusan? Mungkinkah.... Tidak-tidak, berpikir yang bukan-bukan tidak bagus dalam hal ini. Tetap tenang, Rose, jangan biarkan bunga tidur memengaruhi pikiranmu.
Ia mengambil segelas air putih diatas nakas. Di samping gelas itu terdapat foto pernikahan mereka. Semua orang, tersenyum bahagia. Termasuk Millo yang tersenyum paling lebar di dalam foto tersebut.
"Nggak, aku nggak boleh overthinking kayak gini. Mungkin aku kecapean aja kali ya?" Ia mengangguk meyakinkan dirinya. "Bener, pasti aku kecapean."
Ia beranjak dari ranjangnya, memasang sandal kamar kemudian membuka lemari pakaian. Di dalamnya banyak baju santai serta jaz kerja Millo. Ia melihat sebuah jaz hitam tergeletak di alas lemari.
Rose ambil, kemudian ia dekatkan hidungnya, mencoba menghirup aroma dari jaz tersebut. "Iuuu, bau alkohol."
Kemudian ia melemparnya ke ranjang, tapi lemparannya meleset dan jaz itu jatuh ke keramik. Sekilas, terdengar benturan suara keras. Rose mendengarnya dengan jelas, ia segera berbalik dan kembali mengambil jaz yang kotor tadi.
Ia mengkorek-korek isi saku jaz itu, di saku sebelah kanan, ia menemukan sebuah barang panjang. Saat ia mengangkat tangannya, terlihat lipstik merah panjang di tangannya.
"Lipstik?" Tanyanya tak mengerti. "Mas Millo ngapain simpen lipstik di dalam jaznya?"
Tapi dilihat-lihat lagi, lipstik itu tampak tak asing bagi Rose. Ia seperti pernah melihat lipstik itu di suatu tempat.
"Kayak pernah liat, tapi dimana ya? Aduh, Rose, kamu tuh pelupa banget sih."
Ia segera membuka kopernya, membuka kotak make up-nya dan memeriksa satu per satu merk lipstik yang ia punya. Namun, hasilnya nihil, ia tak mempunyai lipstik yang sama persis dengan yang ia temukan di jaz suaminya.
"Bukan lipstik aku. Jadi, ini lipstik punya siapa?"
"Punya Esme kah?" Lanjut Rose, menduga-duga. "Ehm, keknya bukan deh. Ini menor banget warnanya. Jadi punya siapa?"
Tiba-tiba ia teringat dengan peristiwa siang tadi. Asisten Millo? Bisa jadi. Yah, biasanya memang sering terjadi, kan?
Meski sudah digoda dengan pemikiran jahat, Rose masih mencoba berpikir positif tentang suaminya. Tapi, bau alkohol tadi masih menimbulkan sejuta pertanyaan dibenaknya.
"Apa aku tanya langsung aja ya?" Rose berpikir.
Ia tak sengaja melirik ke tirai teras depan kamarnya, terlihat matahari hampir tenggelam.
"Astaga, ini udah jam berapa?" Rose segera mengambil gawainya, menghidupkan layarnya, terlihat pukul 17.59. Mata Rose terbelalak, ia lupa jika barusan tidur siang.
Ia letakkan lipstik itu di dalam kopernya dan segera ke lantai bawah. Langkahnya begitu cepat, Mama Eli yang baru keluar kamar menggunakan baju tidur pun terheran.
"Kenapa, Nak?" tanyanya dengan wajah cukup tegang
"Duh, Maaf, Ma, aku tadi ketiduran."
"Jadi?"
"Bunda sama Ayah udah pulang ya?"
Mama Eli mengangguk. "Iya, tadi Millo yang nganter mereka. Paling nggak lama lagi pulang kok, udah cukup lama juga."
Meski begitu, Rose tetap merasa bersalah karena terlelap tidur, begitu nyenyak.
"Udah, nggak papa. Kamu tenang aja ya, Nak." Mama Eli mengusap rambut menantunya dengan penuh kasih sayang. "Bundamu tadi titip salam aja. Katanya baik-baik di sini."
Tiba-tiba bunyi klakson terdengar dari luar. Tak lama, pintu depan terbuka dan terlihat Millo yang menggenggam kunci mobil.
"Loh, Sayang, udah bangun?" Tanya Millo bergegas, ia menghampirinya. "Mama, Rose kenapa?"
Mama hanya tersenyum, mengangkat bahunya. "Ntah. Kalo gitu, Mama ke belakang dulu ya. Mau maskeran."
"Kenapa, Sayang?" Tanya Millo lagi setelah Mama Eli pergi.
Rose tampak berpikir, kemudian ia mendongak ke suaminya. Menggeleng cepat. "Nggak papa kok, Mas, aku cuma ngerasa bersalah karena nggak nganter Bunda sama Ayah pulang."
Millo ber-oh panjang. "Santai, udah aku anter kok. Ngobrol sama orang tuamu seru juga ya, Rose."
"Oh ya? Emang kalian ngobrolin apa?"
Millo mendekatkan wajahnya, kemudian beralih ke telinga Rose. "Delapan belas plus plus."
Wajah dan telinga Rose langsung memerah. Ia jadi salah tingkah karena bisikkan dari Millo barusan. Benarkah demikian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro