Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R.I.P Andelyn Part 7

Gadis itu menghampiri Wayne. Begitu cepat ia melupakan Justin yang tengah berbicara dengannya. Langkahnya gontai, dengan senyum khasnya. Ia menghentikan langkahnya, tepat di depan kursi panjang yang tengah Wayne duduki. Ia menunduk, menunggu laki-laki berambut hitam itu mendongak ke arahnya.

Sepasang sepatu kulit berwarna coklat berhenti tepat di mana Wayne tengah melamun menatap lantai marmer itu. Tali sepatunya diikat sembarangan. Mengingatkannya akan seseorang. Tapi ia lekas mendongak. Cukup silau, karena matahari pagi ini tepat terlihat bersinar di balik punggung gadis itu. Wayne mengernyit.

"Hai, Wayne," sapa Andelyn senyumnya.

Wayne mengernyit. Ia bergeser untuk menghindari silau matahari. Ternyata Andelyn. Sekarang dia benar-benar terlihat aneh di mata Wayne. Makhluk ini tiba-tiba menyapa dan berbicara dengannya, bahkan sebelumnya mereka hanya saling berjalan seperti angin. Laki-laki ini hanya diam menatapnya. Menunggu apa maksud dari kedatangan Andelyn.

Gadis itu merubah rautnya. Tampak lebih serius dari sebelumnya. Senyumnya lenyap. "Aku perlu bantuanmu."

"Bantuan?" Wayne heran. Selama ini dia tidak merasa pernah atau sedang membuka jasa bantuan. Jadi, kenapa manusia aneh ini meminta bantuannya?

Andelyn mengangguk. Ia lekas duduk di samping Wayne tanpa permisi. Tanpa memperdulikan ekspresi bingung dan terkejut Wayne.

Laki-laki itu hanya diam. Berpura-pura tak sedang berbicara dengan Andelyn dan mengedarkan pandangannya. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi ada satu mata yang ia tangkap sedang memperhatikan mereka. Mata hazel di seberang sana, tepat di ujung koridor dekat tangga menuju lobby kelas Sejarah.

Sementara Andelyn tetap fokus dengan topiknya. "Apa kau tak melihat aku semakin pucat setiap harinya?" Lalu, "apa kau tak memperhatikan sikapku yang berubah akhir-akhir ini?"

Wayne kembali pada pembicaraan Andelyn. Hanya beberapa kalimat yang ia tangkap. "Kenapa aku harus ingin tau?" jawabnya menatap Andelyn. Ia sedikit terhenyak begitu menatap gadis itu yang sepertinya memang berbeda. "Apa kau tak ingin tau siapa yang sedang memperhatikan kita dari tadi?"

Andelyn menoleh ke segala arah. Tampaknya semua orang ribut dengan urusan mereka masing-masing. Jadi, siapa yang Wayne maksud? Ia mengangkat bahu. Lalu mengikuti arah pandang Wayne yang menunjuk ke arah ujung koridor barat. "Biarkan saja dia, aku tak ada urusan dengannya..."

"Kau yang tak ada urusan denganku!" tukas Wayne.

Andelyn diam. Ia memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya begitu iris matanya berubah menjadi bunga yang sedang mekar.

"Ca-Cassandra?" Wayne tergagap.

Gadis berkulit putih pucat itu tersenyum, khas. Ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi. Samar, ia mengangguk, membenarkan tebakan Wayne. "Bantu aku. Tubuh ini akan mati jika terlalu lama kupakai," ucapnya.

Wayne masih diam. Ditatapnya dalam bulatan mata coklat itu. Hampir ia tenggelam dalam lamunan. Laki-laki beralis tebal itu beranjak. Ia ingin tau apakah Justin masih ada di tempat tadi, tapi ia tak berani menoleh. Terpaksa, ia harus bersikap biasa dan tidak bertingkah berlebihan, karena ia tak ingin Justin khawatir dan mengikuti mereka jika ia langsung menarik Andelyn pergi. "Ikut aku," ucapnya.

Andelyn gegas beranjak dengan semangat.

"Jangan berlebihan! Pacar dari pemilik tubuh itu sedang memperhatikan kita." Wayne memperingatkan.

Andelyn mengangguk, samar. Ia hanya menatap punggung Wayne yang menghilang di tengah kerumunan pintu utama sekolah. Ia menghela napas, lalu menoleh ke arah koridor barat. Sekilas, Justin sudah menghilang menaiki tangga. Sepertinya aman. Ia berjalan cepat menyusul Wayne.

   ***

"Andelyn!" Mommy menghambur ke pelukan putrinya. "Kau tak apa? Ada yang sakit? Kau pusing? Sikumu lecet? Bagaimana lututmu? Apa otakmu berpindah tempat?" Sepertinya mommy kelewat panik.

Andelyn menggelengkan kepalanya. "Moom," rengeknya, "i'm fine," jawabnya.

"Baiklah. Katakan! Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa pingsan di jalan? Apa kau tak pulang bersama Justin?" Mommy membombardir Andelyn dengan puas.

"Entahlah, aku lupa. Mungkin aku amnesia," jawabnya.

"Benarkah? Kau tau nama belakangmu? Siapa nama kakakmu? Siapa nama anjing Bibi Marry? Di mana kau meletakkan selai kacangmu?" Mommy panik.

Andelyn terkekeh. Tentu ia masih ingat semua itu. Ia hanya tak ingat dengan kejadian sebelum ini. "Iya, Mom. Nama terakhirku Qazz. Nama kakakku Ethan Qazz. Dan nama anjing Bibi Marry adalah Timmy. Dan apa maksudmu dengan selai kacang? Kau tau aku tak pernah menyukainya," jawabnya.

Mommy mengangkat alisnya sebelah. "Ya, aku tau, makanya aku heran saat kau memakannya tadi pagi."

Andelyn mengernyit. Ia menatap Ethan yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Tampaknya mereka sedang mengerjainya, karena Ethan terlihat tersenyum-senyum sepanjang pembicaraan tadi. "Are you kidding me?!" Andelyn pergi ke kamarnya dengan raut kesal. Lalu menutup pintunya dengan kasar. Agak sedikit kasar.

Ia menelepon Justin. Berapa kali bunyi tut masih terdengar.

"Halo?" Suara khas di seberang sana. Terdengar sedikit dingin.

Apa-apaan ini? "Hei, aku baru saja pingsan dan kau tak menjengukku, huh? Teman macam apa kau ini," protes Andelyn.

"Kau pingsan? Benarkah? Apa kau pingsan karena tak kuat menahan pesona Wayne? Wow!"

Andelyn mengernyit. "Terpesona? Dengan Wayne? Apa kau juga sedang mengerjaiku?" protesnya.

Justin menggeleng. Meski ia tau Andelyn tak akan melihatnya. "Kau yang mengatakannya tadi pagi. 'Semua orang tau Wayne itu tampan.' Lupa?" Justin terdengar berapi-api. Sepertinya ia sangat kesal. Suaranya dibuat-buat semenjijikan mungkin.

Andelyn diam sebentar. Pikirannya terusik oleh sesuatu. Tapi kemudian ia singkirkan. "Kalau begitu lupakan saja! Hanya Justin Kleinstern yang paling tampan."

"No! No! Kau sedang menjilat ludahmu sendiri."

"Biarlah! Aku yang menjilat, kenapa kau yang repot," ketus Andelyn. "Ke sini sekarang!"
Klik.

Ssssshhh! Sepertinya jari manis Andelyn terluka. Ia meringis begitu semakin terasa perih, apalagi ia menemukan luka cukup besar di ujung jarinya. Seperti luka tusuk untuk cek gula darah. Tapi mungkin alat tusuknya jarum paku pines.

"Andelyn!" seru Ethan dengan tubuh yang masih di balik pintu. Senyumnya merekah sampai matanya membentuk bulan sabit.

"Apa ada yang terjadi denganku?" Andelyn tampak memasang wajah serius.

Ethan berjalan pelan menghampiri tepi ranjang adiknya. "Mm-hmm. Untung saja kau kembali." Ethan menyampaikan kelegaannya.

"Siapa?" bisik Andelyn. "Siapa yang memakaiku?" Andelyn tampak antusias. Sepertinya ia sudah tau beberapa kejadian. Setidaknya yang ia dapat dari Mom dan Justin.

Ethan mengangkat bahu. Ia pun belum tau.

"Cassandra," gumam Andelyn membuat kakaknya terkejut menatapnya.

"Kau tau?"

Andelyn mengangkat bahunya. "Justin baru saja bilang bahwa tadi pagi aku memuji Wayne habis-habisan. Jadi, pasti itu Cassandra."

    ***

Di ruang kamar sempit dengan beberapa potong baju yang bersebaran itu terlihat siluet bahu Wayne yang tegap. Ia duduk di kursi depan jendelanya. Tatapannya terus tajam ke arah boneka kayu dengan dress berwarna krem dengan bola mata yang kemerah-merahan dan menggumpal kering. Juga rambut blonde boneka itu dipasang jepitan rambut berbentuk seperti topi di belahan rambut kanannya.

"Cassandra," gumamnya sembari terus membelai rambut bonekanya.

Sementara boneka kayu dengan lelehan darah kering di matanya itu hanya diam. Ia terus duduk di tepi meja dekat jendela sepanjang hari ini.

Hingga sang raja siang turun tahta. Wayne kembali memungut boneka barunya. Ia menggendongnya seperti sedang menggendong seorang bayi.

Beberapa lilin merah telah ditata melingkar dengan rapi di lantai. Sinar remang dari api lilin itu terasa semakin sempurna.

Wayne melangkah pelan ke tengah lilin yang ditata melingkar. Ia duduk bersila di depan sebuah papan berwarna hijau dengan sejumlah koin dengan huruf yang bisa diacak dan disusun.

Boneka Cassandra diletakkan di seberang papan. Ia tampak manis duduk di depan Wayne.

"Cassandra, katakan padaku apa yang sedang kau rencanakan?" Suara parau Wayne memecah keheningan.

Hening.

Api-api lilin di sekitar masih terus menarik di antara mereka. Sejurus kemudian segerombol angin mengempas menggoyangkan api-api itu. Sementara papan hijau di hadapannya bergetar sesaat. Beberapa koin tersusun dengan huruf yang masih tengkurap. Wayne harus membaliknya.

R-E-V-E-N-G-E

Laki-laki dengan bulu mata lentik itu mengerjap sekali. Ia sedikit mengerti. Rasanya waktu berjalan sangat cepat, lilin sebesar itu padam satu per satu. Keadaan semakin remang dan mencekam.

"Balas dendam pada siapa?"

N-O-A-H

"Noah?" Wayne terkejut sekaligus heran. Apa yang membuat Cassandra begitu dendam pada Noah? Sejauh mereka bertiga menjadi teman, ia tak pernah tau bahwa ada konflik di antara Cassandra dan Noah. Ia diam. Tapi kemudian sedikit ragu untuk bertanya, meski akhirnya ia melontarkannya juga.

"Kenapa kau dendam padanya?"

Hening.

Wayne mengerutkan dahinya. Ia menatap tajam papan hijau itu. Tak ada satu koin pun yang bergetar untuk disusun. Sepertinya Cassandra tak akan menjawabnya. Wayne menyerah untuk menunggu jawabannya.

"Kau ingin aku melakukan apa?"

H-E-L-P--M-E

Wayne menghela napas panjang. "Baiklah. Kapan kau bisa kembali ke tubuh gadis itu?"

S-O-O-N

Wayne terhenyak begitu lilin terakhir telah mati. Ia menghela napas sekali lagi sembari memejamkan matanya. Ia begitu gusar memikirkan bagaimana bisa Cassandra dan Noah bermusuhan? Ia tak pernah melihat sepasang teman itu bertengkar sampai salah satu dari mereka meninggal. Sekarang, ia harus membantu gadis malang itu, sementara ia masih berteman baik dengan Noah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro