R.I.P Andelyn Part 5
Sepanjang jalan Ethan terus memutar gasnya. Pandangannya terus ke depan, meski pikirannya melayang pada keberadaan Andelyn. Gadis itu, pergi ke mana dia sekarang? Apa yang sedang dia rasakan? Bagaimana keadaannya? Dia pasti sedang bingung dan menangis. Tak bisa Ethan terus memikirkan penderitaan adiknya saat ini. Memikirkannya saja sudah membuatnya bergidik kesal. Ia begitu mengutuk siapa pun yang ada dalam tubuh adiknya itu sekarang.
Ethan?
Samar-samar suara bisikan seorang gadis menyergap pendengaran Ethan. Ia terkejut. Hampir saja ia menabrak tebing yang mengiringi jalan aspal yang lembab ini.
Ia kembali pada jalannya. Tapi kemudian suara itu muncul lagi. Sebuah bisikan yang memanggil namanya. Rasanya suara itu langsung dibisikan ke telinganya.
"Shit!" Kutuk Ethan begitu melihat sosok kaki gadis dengan dress putih selutut duduk di belakangnya. Matanya hampir lepas melototi kaca spionnya.
Laki-laki berjaket kulit hitam tebal itu menepikan motornya. Tepat di belokan tajam jalanan hutan lembab ini. Tak ada lampu. Di depannya hanya seonggok tanah tebing yang telah mengeras dan diselimuti lumut atau rumput.
"Apa maumu?" Ethan meninggikan nada bicaranya sembari memperhatikan sosok gadis itu.
Gadis yang duduk termenung di jok motor belakangnya. Ia hanya diam dengan tatapan kosong dan raut sedih. Suara tinggi Ethan hanya seperti angin lalu baginya. Ia menumbukkan mata coklat madunya pada mata coklat Ethan. Ditatapnya beberapa saat laki-laki di hadapannya. Ethan. Sepertinya dia memanggil lagi, tapi mulutnya sedari tadi bungkam. Entah, suara itu muncul dari mana, hanya saja itu jelas sekali gadis ini yang berbicara.
"Andelyn!" Ethan sontak menjaga pandangannya agar tak kehilangan jejak lagi. Karena sudah biasanya mereka yang tak berjasad itu menghilang tiba-tiba di saat-saat penting. Ethan tak ingin itu terjadi untuk kali ini.
Ethan... jangan bawa Justin dalam masalah ini. Dia akan menyakitinya nanti, kumohon!
Wajah pucat Andelyn dihiasi kesedihan dan kerutan dahi yang berarti. Tatapannya begitu nanar memohon pada Ethan.
"Jadi, kat-" Ethan tak melanjutkan kalimatnya begitu Andelyn menghilang tiba-tiba seperti makhluk lainnya.
Laki-laki beralis tebal itu itu termenung. Ia tak bergeming dalam kegelapan pinggiran hutan. Ia begitu mengutuk dirinya mengingat tak ada yang bisa ia lakukan untuk adiknya. Perlahan ia mengepalkan tangannya sampai gemetar dengan air matabyang mengumpul di peluk. Tak akan ia biarkan air matanya jatuh keluar.
JDYAAAARRR! Ethan melempar helmnya ke aspal hingga terlempar cukup jauh. Ia terisak. Air matanya pecah juga. Untung saja ia hanya sendirian. Biasanya ia sangat gengsi mengeluarkan air matanya. Anggap saja kali ini perkecualian.
Ethan terduduk di bawah tebing. Seolah tak peduli lagi dengan pakaiannya yang kotor. Punggungnya bersandar pada lembabnya lumut hijau di dinding tebing. Ia masih terisak beberapa lama.
Ponselnya berdering di atas aspal samping kiri kakinya. Cahayanya sangat terang di tengah jalanan gelap ini. Nama Justin muncul di layarnya.
Ia tak tau harus bicara apa, tapi ia harus menuruti Andelyn. Itu permintaan yang susah payah disampaikan padanya, mana mungkin ia mengabaikannya begitu saja.
"Halo?"
"Di mana kau sekarang? Aku sampai mengantuk menunggumu!" protes seseorang di seberang sana.
Ethan berdecak kecil. Lalu seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin sedang menyusun kata. "Sepertinya aku tak jadi ke rumahmu. Lain kali saja," jawab Ethan.
Juatin mendengus kesal. Terdengar jelas di sini. "Oh. Apa Andelyn sudah pulang? Dia belum menghubungiku sejak dia mengusirku tadi."
"Mengusirmu?!" Ethan terheran.
"Mm-hmm... maksudku, dia menolak kuantar pulang. Itu saja," terang Justin.
Hening.
Sepertinya sudah tak ada yang perlu dibicarakan. Justin menutup teleponnya.
***
"Pagi, Mom," sapa Andelyn sembari mengoles rotinya dengan selai kacang.
Wanita berambut sama panjang dengan Andelyn itu masih memakai piama hangatnya sembari mengikat rambutnya. Ia berdiri di samping Andelyn yang sudah berdandan cantik dengan gaya rambut barunya dan sedang menutup bagian atas selai kacangnya dengan roti. Ia mengernyit menatap Andelyn aneh. "Bukankah kau tak suka selai kacang?"
Andelyn menghentikan gigitannya pada tepi roti selai itu. Masih setengah gigitan. Tapi kemudian ia melanjutkannya dan mengunyah dengan lahap roti isi selai kacang itu. "Sekarang aku suka," ucapnya enteng sembari mengaduk cangkir kecilnya.
"Kau ini... dasar tukang buat sensasi," ledek mommy sambil menghampiri wastafel dalam kamar mandinya.
Ia menatap cermin di depannya. Tengkuknya akhir-akhirnya terasa sakit dan berat. Ia memijit lehernya. Kemudian terhenti saat matanya yang teduh itu menemukan bahu kanannya yang membiru seperti terpukul benda tumpul. Bahunya memar, sangat parah. Entah benda apa yang menimpanya, seingatnya, tak ada kejadian yang membuatkan merasa sakit. Ya, itu memang tak terasa sakit. Hanya memar saja.
"Mom?" seru Andelyn dari depan pintu.
"Ya, sayang. Sebentar!"
"Di mana Ethan?" tanya gadis berambut coklat itu.
Andelyn diam. Ia langsung bergegas menaiki tangga dan langsung menuju kamar Ethan. Kamar yang tak lebih luas dari kamarnya, namun jauh lebih terlihat gelap. Apalagi lampu utama kamarnya dimatikan. Jelas kamar ini selalu bersuasana malam hari.
Ia menepi di kasur Ethan. Ditatapnya wajah laki-laki yang terbaring di balik selimutnya itu. Matanya terlihat bengkak, meski ia sedang terpejam.
Andelyn tersenyum. Ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi, lagi. Ia begitu dalam menatap Ethan. Seperti ada pikiran kotor dalam benaknya untuk mempermainkan Ethan.
Laki-laki berselimut tebal itu mengerjap. Sebagian tubuhnya menggeliat keluar. Ternyata, shirtless. Sembari menguap, ia memandang orang yang sudah ada di tepi kasurnya itu. Ternyata Andelyn. Belum sempat ia menyelesaikan kegiatan menguapnya, ia langsung terperanjat kaget.
"Selamat pagi, kakakku!" ucap Andelyn, terdengar ada sesuatu yang terselubung, atau hanya Ethan yang terlalu berpikir buruk.
***
"Mom? Kakimu kenapa?" tanya Ethan tiba-tiba begitu ia kembali dari balkon mengantar Andelyn pergi.
Mommy malah bingung. Ia memperhatikan kedua kakinya. Kaki kanannya memar. Sama seperti memar di bahu kanannya. Hanya saja bentuk memar di kakinya terlihat melingkar dan besar. Seperti baru saja diremas oleh Hulk.
"Aah, apa lagi ini," keluh mommy jengkel. Ia tak merasakan sakit, tiba-tiba saja memar sepert ini. Padahal bangun tidur tadi pagi ia sempat menatap kedua kakinya dan tidak menemukan apa-apa. Lalu, dari mana ia dapatkan ini? Apa dia baru saja tidak sadar menendang kursi? Atau terjebak dalam pot? Entahlah. "Lihatlah!" Mommy menunjukkan bahu kanannya.
Ethan terdiam. Mungkin mommy terlalu banyak bekerja sampai dia kelelahan dan tak merasakannya.
Ethaaaan! Ethaaaaan!
Suara jeritan paling menakutkan yang pernah Ethan dengar. Jika bisa membayangkan, suara itu pasti sedang dalam rasa ketakutan yang luar biasa. Jika diberi rentang 0 sampai 10, maka jerit ketakutan itu ada dalam nilai 10.
"Andelyn," gumamnya pelan.
Kakak laki-laki yang lebih tua tiga tahun dari Andelyn itu panik. Ingin rasanya menemukan keberadaan adiknya. Tapi ia kesal, hanya suara saja yang terus ia dapati. Sementara adiknya hampir mati ketakutan di antah berantah itu.
Suara jeritan lagi menggema di kepala Ethan.
Lepaskaaaaaan!
Permintaan untuk dilepaskan ini bercampur dengan jeritan.
Sementara di tengah Ethan menikmati kepanikannya mendengar jeritan Andelyn, pergelangan mommy perlahan memucat, lalu membiru, semakin gelap, lalu memar yang lebih parah lagi muncul melingkar di pergelangan.
"Ethan!" seru mommy agar Ethan menyaksikan proses dari memar-memar di tubuhnya itu. Cukup mengerikan untuk membuatnya merasa ingin melepaskan setiap anggota tubuhnya yang memar-memar itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro