Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

R.I.P Andelyn Part 4

Gadis berambut coklat dengan gaya ikat yang berbeda itu kembali ke kelas. Sejenak ia sempat menjadi pusat perhatian, tapi Mrs. Jennifer tak membiarkan kasak-kusuk mereka bertahan lama.

Andelyn duduk di bangkunya dengan cuek. Jarinya memukul-mukulkan pulpen di bukunya sembari menopang dagu menatap wanita tua di depan sana dengan kacamata bacanya.

"Rambutmu bagus!" bisik Justin.

Andelyn tak bergeming. Ia hanya tersenyum simpul dengan tatapan lurus ke depan. Lagi, senyumnya terlihat aneh saat ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi. Itu seperti bukan gaya senyum Andelyn, biasanya dia akan tersenyum lebar dengan deretan gigi yang terlihat berjajar rapi.

   ***

Sepulang sekolah, saat kelas bahasa Justin usai lebih dulu dibanding kelas biologi Andelyn, ia bergegas lebih cepat menunggu di loker Andelyn.

Tak berapa lama gerombolan anak-anak yang keluar kelas mulai tampak satu per satu. Terlihat sosok gadis yang wajahnya familier di mata Justin sudah berganti gaya dandanan. Rambutnya kini diurai dan memakai bandana orange sewarna dengan blazer yang ia kenakan. Ia juga tengah sedang mengobrol dengan seseorang. Tak biasanya Justin menemukan Andelyn seperti ini. Baru ia tinggal berlibur dengan Harry saja, Andelyn sudah melakukan banyak perubahan.

"Hai, Kleinstern," sapa Andelyn sembari membuka pintu lokernya begitu Justin menyingkir.

Justin mengernyit. Tak biasanya juga Andelyn memanggilnya dengan nama belakang. Justin berdiri tegap di belakang Andelyn yang masih sibuk. "Tak biasanya kau memakai nama belakangku," protesnya.

Andelyn berbalik sambil menutup pintu kecil lokernya. Mata coklat madunya lurus menantang mata hazel Justin. "Lalu, kau ingin kupanggil apa Mr. Justin Phill Kleinstern?"

Justin semakin bingung. Kenapa posisi mereka menjadi canggung begini. Seolah mereka sedang berkenalan, tentu saja Andelyn cukup memanggilnya Justin seperti biasa. Ada apa dengan dia ini, hah? "K-ka..."

"Wayne?!" panggil Andelyn beralih perhatian. Ia tak menghiraukan lelaki berkulit putih pucat di hadapannya ini. Ia melambaikan tangan ke arah orang lain. Orang yang bahkan seumur hidupnya belum pernah berbicara dengannya, kecuali siang tadi di depan kamar mandi wanita.

Wayne hanya menoleh. Mencari arah suara itu. Andelyn. Aah, hanya Andelyn. Gadis aneh itu lagi. Kali ini dia berani mamanggilnya di depan Justin, soulmate-nya. Ia tak acuh. Lalu kembali melanjutkan langkahnya ke luar lobby kelas biologi.

"Ada apa kau mencari Wayne?" tanya Justin heran mendekati Andelyn.

Gadis itu bergeleng. Lalu menatap Justin nanar. Ditatapnya dari bawah sini laki-laki berwajah maskulin ini. Tulang rahang atas dan bawahnya terlihat tegas dengan kulit putih pucat yang sepertinya sangat lembut itu. "Ayo, pulang!" ucapnya mendahului Justin.

"Kau tak menyeretku?" kata Justin sambil menjulurkan tangannya lemah.

Andelyn mengernyit. Termenung beberapa menit. Lalu berbalik, menarik pergelangan Justin yang kencang.

Justin ganti mencengkeram pergelangan Andelyn yang terasa dingin sekali. Rasanya sakit sekali tangan mungil itu dilumat tangan kekar Justin. Laki-laki itu memperhatikan tangan Andelyn, dibolak-baliknya tangan lemas Andelyn.

Terlihat memutih dan pucat. Berbeda dengan kulit putih pucat Justin yang memang sudah menjadi jenis kulitnya. Selain itu, ujung jarinya terlihat membiru. Tampak dari kuku-kukunya pun membiru.

"Apa kau sakit?" Justin melotot. "Kau merasa kedinginan?" Ia menempelkan telapak tangannya ke dahi Andelyn.

"Tidak. Aku baik-baik saja," jawabnya menyingkirkan seluruh tangan Justin yang masih menyentuhnya. "Aku mau pulang," ucapnya sembari mencari celah.

"Yaaaa aku tau, bodoh! Makanya aku menunggumu," gerutu Justin sambil mengekor, menyeimbangkan langkahnya dengan Andelyn.

Tumben sekali, gadis ini berjalan cepat, biasanya dia selalu menghemat tenaganya. Tak apa jika berjalan lambat dan lama, asal tidak berkeringat. Karena itu pertanda ia lelah. Ia tidak mau tubuhnya bau keringat, kecuali jika saat dia memang sedang berolahraga.

"Menungguku?" Andelyn terdengar heran. "Pulanglah sendiri! Aku tau jalan rumahku," ketusnya.

"Ya, aku tau kau tau jalan rumahmu. Tapi..." Justin tak melanjutkan kata-katanya. "Terserah kau saja," tukasnya. Lalu pergi meninggalkan Andelyn.

    ***

Sesore ini Ethan masih duduk bersila di depan dinding kamarnya. Ia terus menatap tajam ke dalam dinding itu. Pikirannya bekerja keras hingga mengerutkan dahinya. Jendela kamarnya tak sebesar milik Andelyn. Penerangan yang selalu dipakai hanya lampu. Sementara kali ini, lampunya tak ia nyalakan. Siluet dirinya tergambar bersama bayangan tubuhnya di depan dinding.

Laki-laki bertubuh tegap dengan jambul dan potongan rambut Rockabilly itu terus mematung. Kepalanya menengadah ke atas menatap pria pucat separuh baya yang sedang menatapnya dari atap kamar gelap ini.

"Mereka menemukan Andelyn lagi," ucap Etham dengan suara parau.

Pria itu menatap nanar Ethan. Ia menghampiri Ethan, mensejajarkan pandangannya. Alisnya ikut mengerut, ia khawatir sama halnya dengan putranya. "Dia terlalu lemah. Salah satu dari mereka telah mengusirnya," terang pria itu dengan suara teduhnya.

Ethan terhenyak. Ia tak bergeming sedikit pun. Mulutnya bungkam seolah tak mampu berucap apapun. Ia belum pernah menghadapi hal ini sebelumnya. Tentu ia khawatir, panik, juga bingung dengan apa yang harus ia perbuat. Mencari keberadaan Andelyn? Itu sulit, meski ia memiliki anugrah bisa melihat sesuatu yang tak lazim untuk dilihat manusia.

"Jangan sampai mereka tau kemampuanmu, terutama dia." Pria itu berpesan sebelum ia menjauh dari hadapan Ethan.

"Daddy..." rengek Ethan yang merasa tak sanggup. Ia pun ketakutan memikirkan adiknya itu bukanlah adiknya. Juga merasa kesulitan untuk tak menatap Andelyn aneh nantinya, memperhatikannya dengan seksama, atau berpura-purantak terjadi sesuatu. Itu sangat sulit dan hampir tidak mungkin.

"Ethan?" Mommy mengetuk pintu dari luar pelan.

Ethan bergegas keluar. Merubah wajah kakunya menjadi sedikit lebih terang. Menghiasi wajahnya dengan senyum teraneh yang pernah ia lakukan.

"Kau tak berniat ingin makan?" sindir Mommy.

Ethan bergeleng, meski perutnya sudah terasa seperti diremas-remas.

"Tapi Andelyn sudah menunggumu. Ia hanya mau makan jika ada kau. Jadi, mau tak mau kau harus makan!" bujuk wanita berwajah tirus itu.

Andelyn? Ia ingin makan bersamanya? Jika gadis yang ada di meja makan itu bukan Andelyn, lalu atas dasar apa dia menginginkan kehadiran Ethan di sana?

Ethan masih terdiam melamun. Tapi segera buyar setelah Mommy mencubit pipinya yang kenyal. Ia mengaduh sembari Mommy menyeretnya turun. Jantungnya semakin keras berdenyut saat langkahnya semakin dekat dengan meja makan. Seperti melihat iblis, ia berusaha memalingkan wajahnya saat gadis yang seharusnya berkulit coklat itu menjadi pucat pasi dan rambut yang seharusnya dikepang itu dibiarkan tergerai bebas. Benar-benar jelas terlihat bukan Andelyn yang sebenarnya.

Ethan mati-matian menahan sikapnya agar tak salah tingkah. Ia memalingkan wajahnya tepat saat Andelyn tersenyum kecil dengan khas barunya, ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi.

"Sudah! Duduk saja tenang di sittu, jangan makan sesuatu jika memang tak ingin makan, tapi jangan meninggalkan makan malam seenaknya lagi," keluh mommy.

Ethan mendengus kesal. Lalu, takut-takut dia melirik Andelyn yang duduk di seberangnya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berkata, "gaya baru? Bagus juga!" Dengan senyum aneh yang sulit disembunyikan.

Andelyn mengangguk. Anggukannya sangat manis. Seperti waktu kecil ia masih berponi dan berjepit rambut. "Aku membaca majalah mode akhir-akhir ini. Justin semakin menyebalkan menyuruhku melakukan itu," terangnya.

Justin! Ya! Pasti Ethan bisa tau sesuatu tentang awal mula semua ini dari Justin. Ia beranjak dari kursinya, tapi mommy sudah menghujamnya dengan tatapan mengancam. Akhirnya Ethan meringis sambil duduk kembali ke kursinya. Menanti makan malam yang membosankan ini agar segera selesai dan ia bisa segera mencari Justin.

Andelyn begitu berhati-hati menyendok makanannya. Sepertinya ia sengaja memperlambat waktu makan malam ini. "Ingin segera ketemu pacar?" Andelyn angkat bicara.

Ethan menatap adiknya. Dari posisi duduknya yang sedikit membungkuk ke meja. "Pacar?" Ethan bergidik. Ia berusaha mengatur nada bicaranya agar tak terdengar sinis atau menunjukkan bahwa dia tau sesuatu. "Aku tak tertarik berpacaran. Aku takut kau cemburu padanya, temanku saja kau cemburui, apalagi pacar," lanjutnya.

"An, kau sudah selesai makannya?" Mommy memberesi piringnya sembari menunggu piring Andelyn.

Andelyn mengangguk sembari menyodorkan piringnyabyang sudah kosong.

"Bagus! Kalau begitu aku pergi." Ethan beranjak dari kursinya. Ia setengah berlari keluar, sembari merogoh saku celananya. Barangkali kunci motornya masih tertinggal di kamar. Naaah! Ini dia, masih bersarang di saku kanannya. Sementara tangan kirinya mengetik pesan untuk Justin.
Aku sedang menuju rumahmu!
Sent!

Andelyn memperhatikan Ethan dari balik tepi gorden jendela kacanya yang besar. Ethan, bisiknya sambil tersenyum kecut.

Justin yang baru membaca pesan Ethan setelah lima menit berlalu itu pun terheran. Untungnya dia sedang ada di rumah, jadi dia tinggal menunggu. Tapi untuk apa Ethan mencarinya? Apa dia akan memarahinya karena hari ini Andelyn pulang sendiri dan mungkin terlambat sampai rumah? Aaaah, Justin tak habis pikir dengan pikiran aneh Ethan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro