R.I.P Andelyn Part 3
Tengah malam. Ruang kamar cukup luas ini terasa sempit begitu lampu redup beberapa jam sejak tadi. Secercah cahaya dari lampu halaman sedikit menerobos sela-sela ventilasi jendela. Sementara gorden merah darah itu tertutup rapat tegak berdiri di sana.
Getar ponsel Andelyn mengagetkan mayat di kuburan. Nama kakaknya, Ethan muncul di layar ponselnya. Panggilan telepon macam apa di tengah malam oleh saudara kandung sendiri yang tinggal satu rumah?
"Andelyn?" sergah Ethan tanpa menunggu Andelyn mengucapkan kata pertamanya. Suaranya tengah berbisik seperti sedang dalam kondisi mendesak. "Kau tau aku berada di mana sekarang?" bisiknya. Apa dia sedang membuat lelucon tengah malam begini?
"Kau sedang pesta di rumah temanmu!" jawab Andelyn kontan.
"Bukan. Aku ada di depan pagar pintu rumah."
"Kau ingin aku membukakan pintu untukmu? Jawabannya, tidak!" ketus Andelyn juga berbisik di balik selimutnya yang panas.
"Tidak! Aku tak akan pernah menginjakkan kaki di rumah!" seru Ethan sedikit berteriak, tapi berbisik. "Ada seorang wanita muda yang terus menatap jendela kamarmu dari kursi halaman depan."
"Ya, aku tau. Mereka semua ada di sini," jawab Andelyn yang masih memegangi selimutnya erat.
"Baiklah. Aku pergi. Jaga dirimu, kau tau, aku tak bisa berbuat banyak jika terjadi sesuatu denganmu!"
"Mm-hmm!"
Klik
***
Jadi, cerita cinta Romeo-Juliet atau Adam-Hawa...
Suara Mrs. Jennifer menggema di seluruh ruang kelas. Lalu terhenti saat sepasang matanya menemukan sebuah pengkhianatan dalam kelasnya. "Mr. Kleinstern, apa yang sedang kau lakukan di belakang sana?"
"M-m..."
Mrs. Jennifer memotong sebelum Justin sempat menjawabnya. "Dan apa yang sedang kau lakukan dengan kelopak mata teman sebangkumu itu?" tukasnya.
Semua mata menoleh ke arah meja nomor dua dari belakang yang berada di tepi jendela kaca kelas dengan pemandangan pepohanan rindang di taman. Menatap Justin dan Andelyn yang setengah hidup dengan mata sembab, efek semalaman terus terjaga.
"Membantunya agar tidak tidur di kelasmu," jawab Justin enteng, seolah dia adalah pahlawan yang sedang berjuang untuk kelancaran kelas Mrs. Jennifer.
Mrs. Jennifer beralih menatap Andelyn yang duduk di samping Justin. Ia mengerjap polos seperti boneka. Lalu meringis sambil melepas plester-plester di kelopak matanya. "Pergi cuci mukamu!" ucap wanita separuh baya dengan kacamata yang dipasang di ujung hidungnya itu.
Andelyn beranjak dari kursinya sambil merapikan kedua kepangan rambutnya. Ia melangkah dengan kaki yang diseret. Bahunya yang biasa tegap itu hari ini terlihat jatuh, seperti sedang memanggul dua tas berisi batu.
"Andelyn?" panggil Mrs. Jennifer sambil melotot tajam. "Angkat kakimu saat berjalan!" perintahnya penuh ancaman.
Andelyn mengangguk. Meski sedikit berat melakukannya.
Koridor sekolah terlihat ramai. Mungkin ini pergantian jam di kelas lain. Di ujung sana, tepat di loker kelas Biologi terlihat seorang lelaki berambut hitam dengan model rambut spike yang ditata dengan model jambul sedang menatap lurus isi lokernya. Lesung pipinya lama tak terlihat menghiasi wajahnya sejak kematian Cassandra, si gadis populer yang diduga sebagai salah satu anggota pemuja setan.
Andelyn terus menatap ke arah Wayne yang tengah termenung di keramaian anak-anak sepanjang loker itu. Tapi tatapannya berhenti di akhir koridor. Ia berbelok kanan menuju kamar mandi wanita.
"Hai, Gadis Pecundang!" sapa segerombolan anak senior yang tengah berbaris di depan kaca wastafel kamar mandi sambil cekikikan.
Andelyn hanya diam, mengabaikan ledekan yang sudah biasa dia dengar. Kran wastafel paling ujung ia nyalakan, lalu kedua tangannya menengadah di bawah aliran air dan membasuhkannya di wajahnya. Dingin. Tangannya mengusap wajahnya dengan lembut. Lalu ia menatap gambar dirinya di cermin. Pecundang?! pikirnya sambil memperhatikan setiap bagian tubuhnya yang memang pantas disebut sebagai pecundang setelah segerombolan gadis itu pergi.
Andelyn!
Suara itu kembali berbisik di telinga gadis bermata coklat madu.
"Stop it!" teriaknya menatap tajam ke arah cermin. Untungnya, kamar mandi sudah sepi dari pengunjung.
Jantung Andelyn bisa langsung copot begitu sesuatu di balik pintu deretan kamar mandi di belakangnya bergetar. Seperti ada seseorang yang terkunci di dalam dan memaksa untuk keluar. Pintu itu terus didobrak dari dalam.
Napasnya semakin menderu, lengkap dengan keringat dingin yang mengucur deras.
Lalu satu per satu dari delapan pintu kamar mandi itu terbuka tiba-tiba dengan ajaib.
Andelyn masih mematung di depan wastafel yang masih mengalirkan air kran. Tangannya gemetar, meremas tepi wastafel hinggal ujung-ujung kukunya memucat. Kantuknya seketika hilang. Bisa saja ia mati terkena serangan jantung.
Seluruh arwah yang menyedihkan itu berlari menggapai Andelyn dari setiap pintu. Satu pintu kamar mandi kira-kira ada lima sampai delapan arwah mengenaskan. Mereka berebut lari ke arah Andelyn, termasuk wanita muda yang Ethan lihat semalam di halaman rumah.
Andelyn bergidik. Biasanya ia hanya merasakan kehadiran mereka, tapi kali ini ia bisa melihat setiap wajah dari mereka.
Wajah mereka jelek. Darah mengalir di beberapa bagian tubuh mereka. Ada yang berdaster, ada yang berpakaian rapi, ada yang bergaun, ada juga yang bergaya klasik kuno. Ada nenek-nenek, ada tante-tante yang terlihat arogan selama hidupnya dulu, ada juga wanita biasa yang menyedihkan dan kucal seperti semasa hidupnya hanya penuh penderitaan.
Juga, salah satu dari mereka yang paling bisa ditangkap mata Andelyn adalah wanita muda seumurannya dengan rambut lurus menutupi sebagian wajahnya dengan bibir yang sobek hingga pipi dan hampir hitam membusuk. Gurat kecantikannya masih sedikit terlihat di wajahnya. Wajahnya masih terlihat familiar.
"Cassandra," gumamnya terbelalak menatap cermin sepanjang satu meter di hadapannya.
Semuanya berlari ke Andelyn dengan brutal.
Andelyn berbalik badan. Kosong. Tak ada apa pun. Hanya angin kencang yang menerpa kencang tubuhnya. Dan semua yang ia lihat di cermin tadi tidak ada di belakangnya.
Ia terhuyung ke pojok. Masih dengan tubuh lemas dan mata sayu.
Perlahan Andelyn bangkit. Ia mematikan kran yang masih mengalir. Lalu menatap cermin di hadapannya. Tampak wajahnya yang lonjong dan pipi tirus tanpa blush on itu. Alis lurusnya mengerut menatap aneh dirinya sendiri. Ia menarik karet di kedua ujung rambutnya, lalu menyisir rambut coklatnya dengan jari.
Senyum Andelyn simpul. Rambutnya yang bergelombang diurai bebas, lalu dipelintir asal dan dijepit di belakang. Ada beberapa helai yang tak ikut terikat, tapi membuatnya lebih terlihat bagus. Ia tersenyum. Ujung kanan bibirnya terangkat lebih tinggi.
"Hei," seru teman-teman sekolah yang biasa mengejeknya, "si pecundang sudah lelah menjadi pecundang. Ke mana rambut kepang keramatmu itu?" ledek mereka.
Andelyn menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gadis sialan yang paling sering meledeknya sejak ia kelas 1. Telunjuknya diacungkan ke arah bibir tebal itu. Sembari menatapnya tajam, Andelyn berkata, "berhenti membuat mulutmu itu semakin membusuk!"
"Apa?" Gadis itu terbelalak melihat Andelyn yang mulai berani memberontak.
"Wayne?!" Andelyn memanggil laki-laki yang sebelumnya tak terlihat tanda-tanda akan melewati jalan ini. Ia bahkan tak terlihat sempat melihat sosok Wayne sebelum ini. Suaranya bergetar menghentikan langkah kaki laki-laki bertindik di telinga kanannya.
"Apa? Mau apa? Kau pecundang yang sering bersama Justin itu, kan?" cerocos Wayne.
Andelyn mengangkat alisnya sebelah sambil tersenyum simpul di ujung kanan bibirnya. "Mm-hmm!" jawabnya, "kau mau jalan denganku nanti malam?" godanya.
Wayne mengernyitkan dahinya. Ia merubah posisi berdiri menjadi berhadapan langsung dengan Andelyn. Dada bidangnya membusung, seperti orang yang sedang menantang lawan bicaranya. Tatapannya masih tampak aneh, juga meremehkan. "Silakan jika kau ingin mati di tangan Kleinstern!" Suara Wayne terdengar kasar. Lalu ia berlalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro