27. Aku Sanggup Mengobati Luka Hatimu
"Luka hati bisa diobati dengan sebuah cinta."
~***~
Bima akhirnya bisa mengantarkan Sekar pulang setelah berdebat panjang dengan putri kecilnya.
Rere yang terbangun sebelum magrib langsung mencari keberadaan Sekar. Gadis kecil itu begitu pintar. Dia tidak serta melupakan janji sang papa untuk menjemput Sekar sebelum tertidur.
Setelah bertemu Sekar, dia langsung ceria. Seperti tidak pernah merasakan sakit. Makan pun harus Sekar yang menyuapi. Puncaknya Rere tidak mau ditinggal pulang. Dia merengek agar ibu guru cantiknya mau menginap dan tidur dengannya.
Sekar pun dibuat bingung.
Sedangkan Bima tidak enak. Bagaimana pun juga gadis seperti Sekar tentu bingung untuk menentukan pilihan. Apalagi hubungan mereka hanya sebatas murid dan guru. Jadi Bima pun tidak bisa untuk memaksa Sekar untuk menginap. Laki-laki itu terus memberi pengertian untuk putri kecilnya.
Setelah perdebatan panjang dan sedikit sulit, akhirnya gadis kecil itu mau mengerti. Rere hanya minta dikelonin saja. Kemudian, setelah Rere tertidur Bima langsung mengantar Sekar pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, mereka baru saja keluar dari rumah Bima.
"Maaf, Bu. Saya jadi tidak enak," Bima bicara sopan sambil terus menyetir.
"Tidak apa-apa, Pak."
"Saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Rere jadi begitu manja."
"Namanya juga anak-anak, Pak," balas Sekar maklum.
"Tapi tidak wajar, Bu. Dan ini sudah sangat malam sekali. Saya benar-benar merasa tidak enak dengan Ibu."
" Tidak apa-apa, Pak. Tidak perlu merasa tidak enak. Rere adalah murid sekaligus teman kecil saya, dan bapak juga teman saya, kan? Jadi tidak perlu merasa tidak enak. "
Bima hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan Sekar. Dia tidak menyangka Sekar akan berkata seperti itu.
"Terima kasih, Bu."
Mobil pun semakin mendekati jalan menuju rumah kontrakan Sekar. Sesekali mereka mengobrol tentang pekerjaan hingga mobil Bima berhenti di depan rumah sederhana berpagar hitam.
"Terima kasih banyak, Pak, sudah mengantarkan saya." Sekar tersenyum manis.
"Sama-sama, Bu." Bima balas tersenyum.
Sekar membuka pintu mobil akan turun ketika matanya melihat seseorang sedang duduk di kursi teras rumahnya.
Orang itu adalah Dimas.
Sekar terdiam di tempatnya. Hingga suara Bima sukses membuatnya terkejut.
"Ada apa, Bu?" tanya Bima.
Bima bukanya tidak tahu. Dia juga melihat apa yang dilihat oleh Sekar. Dan Bima tidak tahu siapa itu.
Bima jadi bertanya dalam hati, siapa laki-laki itu dan ada hubungan apa dengan Sekar. Hampir pukul sepuluh malam dan itu tidak wajar seorang laki-laki bertamu selarut ini.
"Saya temani, Bu."
Sebelum Sekar menjawab, Bima sudah turun dari mobil dan berjalan ke arahnya.
"Bapak pulang saja," ucap Sekar tidak enak.
"Tidak apa-apa, Bu. Tidak baik ibu saya tinggal sendirian dengan seorang laki-laki malam-malam begini."
Sekar hanya terdiam. Kakinya akhirnya melangkah menuju ke teras di mana Dimas sudah berdiri sekarang.
"Mas Dimas, kenapa di sini?" tanya Sekar langsung tanpa mengucap salam terlebih dulu.
"Aku nunggu kamu dari habis magrib dan siapa dia?" tanya Dimas melirik tidak suka pada Bima.
"Saya Bima, teman Sekar," ucap Bima sebelum Sekar menjawab.
Bima mengulurkan tangan dan disambut oleh Dimas. Walaupun terlihat Dimas tidak begitu suka terhadap Bima.
"Dimas," ucapnya singkat.
"Mas Dimas pulang saja ini sudah malam," ujar Sekar karena merasa canggung dengan suasana saat ini.
"Kamu ngusir aku?" tanya Dimas seperti tidak terima.
"Ini sudah malam, Mas."
"Apa gara-gara dia?" Dimas menunjuk Bima.
"Mas Dimas," bentak Sekar.
"Kamu ngusir aku tapi dia tidak?"
"Mas ini sudah malam..."
"Saya juga akan pergi setelah memastikan Sekar baik-baik saja," potong Bima cepat.
"Sekar akan baik-baik saja dan Anda boleh pergi," usir Dimas.
Bima hanya diam dan melihat Dimas. Dia tidak gentar sedikit pun dengan ucapan Dimas.
"Mas Dimas, aku minta kamu pergi sekarang juga," tegas Sekar sekali lagi.
Dia tidak mau terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Sekar tahu betul sikap Dimas dan aura ketidaksukaannya terhadap Bima.
"Jadi kamu ngusir aku?" tanya Dimas seperti tidak percaya.
"Iya."
"Gara-gara laki-laki ini?"
"Mas...! Aku capek dan tidak ingin berdebat atau bertengkar."
Matanya kemudian beralih ke arah Bima. "Dan Pak Bima terima kasih telah mengantarkan saya. Saya baik-baik saja," ucap Sekar lembut.
"Aku udah berusaha untuk minta maaf dan ingin memperbaiki semuanya, Kar. Tolong jangan bersikap seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik."
"Aku capek Mas dan sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi!" tegas Sekar. Dia tidak ingin membuat suasana menjadi semakin rumit.
"Baiklah, aku pergi... Tapi aku akan kembali lagi."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Dimas meninggalkan Sekar dan Bima.
Sedangkan Bima hanya bisa diam melihat semua adegan yang baru saja terjadi. Dalam hati dia penasaran, siapa itu Dimas dan apa hubungannya dengan Sekar.
Apa mungkin kekasih Sekar?
"Dia mantan calon suami saya, sekaligus kakak ipar saya."
Bima terkejut mendengar perkataan Sekar. Seolah gadis itu tahu apa isi hatinya.
Sekar pun duduk di kursi kayu.
Bima melihat kilat kesedihan yang terpancar dari wajah Sekar.
"Satu tahun yang lalu kami hampir menikah tapi ada satu kejadian yang membuat semuanya tidak pernah terjadi."
Bima masih berdiri sambil mendengarkan.
"Dia menghamili kakak saya."
Sekar menghela napas mencoba menghalau air mata yang mendesak keluar.
Bima terkejut tapi masih tenang. Dia masih ingin mendengar kelanjutan cerita Sekar.
"Maaf, Pak. Tidak seharusnya saya menceritakan hal ini."
Sekar mengusap air matanya yang tidak bisa lagi dibendung. Dia akan menjadi rapuh jika menyangkut masalah setahun yang lalu.
"Tidak apa-apa, jika itu bisa membuat Ibu sedikit lega."
Sekar menghela napas. "Saya jadi tidak enak sama Bapak."
"Jangan panggil bapak."
Sekar bingung, dia melihat Bima.
Bima tersenyum kemudian mendekat ke arah Sekar kemudian berjongkok di depannya.
"Panggil mas saja." Bima tersenyum.
Sekar membatu untuk sesaat.
Ada seorang laki-laki yang kurang lebih empat bulan dikenalnya sedang tersenyum di depannya. Tampan, sopan dan berwibawa. Hatinya sedikit terasa hangat.
"Tapi...."
"Bukankah kita teman? Masa teman manggil bapak dan ibu."
Sekar masih terdiam.
"Begini saja kalau di sekolah ibu panggil saya bapak tapi kalau di luar sekolah panggil mas saja. Dan mulai sekarang saya panggil ibu, Sekar saja."
Bima tersenyum sambil memandang Sekar yang masih diam. Bukan Bima bersikap tidak sopan tapi dia hanya ingin mengalihkan pembicaraan dari masalah tadi.
"Terima kasih banyak, M-mas Bima," ucap Sekar sedikit canggung.
"Nah gitu lebih enak didengar," ucap Bima senang.
"Saya belum terlalu tua untuk dipanggil bapak," sambungnya sambil terkekeh.
Kemudian mereka sama-sama diam. Bima melirik ke arah Sekar.
"Saya tahu, semua itu berat untuk kamu," Bima mulai bicara lebih halus.
"Tapi, saya yakin kamu adalah seorang wanita yang tegar dan kuat."
Bima memegang tangan Sekar. Dan Sekar pun terkejut diperlakukan seperti itu.
"Jika kamu ingin cerita, kapan saja, saya siap untuk mendengarkan. Tidak perlu sungkan. Bukankah saya pernah bilang, jika kamu lelah saya bersedia meminjamkan pundakku untukmu."
Sekar sekali lagi hanya mampu diam dan diam. Mendengarkan dan mencoba mencerna.
Bima tersenyum. "Sekarang sudah malam, masuk dan istirahatlah."
Sekar mengangguk. "Terima kasih."
"Jangan berterima kasih, sudah tugas sebagai seorang teman."
Setelah mengucapkan salam Bima pun meninggalkan rumah Sekar.
Dalam perjalanan pulang Bima terus saja memikirkan kejadian tadi. Hanya laki-laki berengsek yang mampu berbuat sekeji itu. Mengkhianati gadis seperti Sekar dan menghamili calon kakak iparnya sendiri. Sekar terlalu baik untuk diperlakukan seperti itu.
"Aku akan berusaha mengobati luka hatimu. Aku janji."
****~~~***
"Sangat mudah untuk meminta maaf tapi apakah kamu tahu sedalam apa luka yang telah kau torehkan."
****~~~***
Ps: Ternyata saya masih bisa nulis.
Saya pengen tahu komentar kalian tentang cerita ini?
Jangan lupa komentar ya....
Vea Aprilia
Ta, 22 Agustus 2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro