Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Tidak ada Kebetulan di Dunia ini

"Tidak ada suatu kebetulan, yang ada adalah takdir. Karena Allah sudah merencanakan semua dengan indah."

~****~

****

"Bu Sekar, terima kasih banyak, sudah beberapa hari ini, menemani Rere."  Bu Rani  berbicara sambil memberikan sekotak kue bronies keju.

"Ibu tidak perlu sungkan seperti itu.  Sudah menjadi tugas saya. Dan ini...."  Sekar menunjuk kue bronies yang baru saja diberikan oleh Bu Rani.

"Sebelumnya saya minta maaf. Tapi, mungkin saya tidak bisa lagi untuk menemani Rere." Bu Rani nampak sedih.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa menemani Rere."

"Sejak kejadian anak saya sakit. Suami melarang saya untuk pulang telat. Jadi...." Bu Rani tidak melanjutkan kalimatnya karena sedikit canggung.

"Tidak apa-apa. Ibu tidak perlu cemas. Ada saya." Sekar tersenyum sopan.

"Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu minta tolong pada siapa lagi, karena hanya tiga orang pengajar di sini, dan Bu Sinta, beliau sedang hamil."

"Jangan terlalu khawatir, Bu. Tapi terima kasih kuenya."  Sekar tersenyum manis.

"Saya juga berterima kasih."

*****

Seperti biasa Sekar sedang duduk bersama Rere untuk menunggu Bima, untuk datang menjemput. Sekar baru tahu kalau Bima itu adalah seorang dokter. Jadi, dia maklum kalau laki-laki itu sering telat untuk menjemput Rere. Tebakannya ternyata melesat. Dia mengira Bima adalah seorang pengusaha ternyata bukan.

Setelah setengah jam mengobrol asik dengan Rere akhirnya mobil Bima masuk ke area parkir. Mereka pun bangkit dari bangku. Sekar menggandeng jemari mungil Rere.

"Maaf, saya terlambat," ucap Bima setelah keluar dari mobil dan menghampiri mereka.

"Tidak apa-apa, Pak."

Sekar tersenyum kemudian melepaskan genggaman tangannya pada Rere, tapi gadis itu menolak untuk melepasnya.

"Kenapa?" tanya Sekar heran.

"Ibu pulang bareng Rere, ya?" rengek bocah kecil tersebut.

Sekar ragu, dia kemudian menatap Bima yang sedang tersenyum. Sebenarnya sudah beberapa kali Rere merengek seperti ini, tapi Sekar selalu saja bisa memberikan alasan untuk gadis kecil tersebut.

"Jangan menolak lagi, Bu. Demi Rere. Kasihan dia setiap hari ngambek, gara-gara Ibu tidak mau pulang bareng bersama dengan kami."

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak ingin merepotkan Pak Bima." Sekar merasa sungkan sekaligus tidak enak.

"Saya tidak merasa repot, justru saya akan senang jika Ibu mau ikut bersama kami dan juga Rere pastinya." Bima merespon sambil tersenyum.

"Ayolah, Bu." Rere masih saja merengek membuat Sekar menjadi kasihan. Namun, Sekar juga harus menjaga diri, walaupun Bima terlihat sebagai laki-laki baik, tapi dia juga perlu waspada. Apalagi kalau sampai ada berita tidak baik tentang dirinya di sekolah, karena kedekatannya dengan salah seorang wali murid.

"Tolonglah, Bu. Kali ini saja. Tolong Ibu jangan menolak permintaan Rere. Ibu tidak tahu saja, kalau putri saya sampai ngambek tidak mau makan gara-gara Ibu tidak mau pulang bersama kami." Bima mencoba membujuk dengan memberikan penjelasan dan alasan yang membuat Sekar langsung terkejut.

"Astagfirullah...,"  ucapnya kaget.

Dia kemudian menatap Rere, lalu berjongkok. "Kok Rere nakal, nggak mau makan."

"Habis, Ibu Guru nggak mau pulang bareng Rere." Gadis kecil itu nampak cemberut.

Sekar terdiam untuk beberapa saat. Dia nampak berpikir.

"Baiklah. Ibu mau pulang bareng Rere...."

"Horeee...."  Rere langsung saja berteriak kegirangan mendengar perkataan Sekar.

"Tapi... Tapi... Rere dengerin kata Bu Guru dulu." Sekar mencoba menenangkan Rere yang sedang melompat kegirangan.

"Rere janji tidak boleh nakal lagi apalagi sampai nggak mau makan."
Gadis itu mengangguk dengan semangat.

Bima yang melihat interaksi keduanya merasa sangat senang. Dia tahu kalau Rere itu menyukai Sekar. Bahkan sebelum ini putrinya,  tergolong anak yang tertutup. Bima bersyukur kehadiran Sekar bisa membuat Rere lebih ceria lagi. Di rumah pun ketika dia pulang dari rumah sakit, putrinya selalu saja bercerita tentang Sekar. Sekar, Sekar, dan Sekar.

Bima sendiri sampai heran. Magnet apa yang diberikan oleh Sekar pada Rere, hingga bidadari kecilnya begitu sangat menyukai gadis berparas ayu tersebut. Laki-laki itu ingat, dulu, dia pernah mengenalkan seorang wanita pada putrinya. Wanita itu adalah teman sekolah Bima ketika SMA. Namun, yang terjadi adalah, Rere selalu saja menangis dan menolak semua hal yang berhubungan dengan wanita itu. Hingga Bima merasa putus asa. Waktu itu dia berpikir untuk memberikan sosok seorang ibu untuk Rere. Namun, anaknya menolak dan pada akhirnya Bima pun menyerah.

"Ayo, Pa." Ajakan Rere membuyarkan pikiran Bima.

"Ayo." Bima langsung menggendong Rere.


"Terima kasih, Bu," ucap Bima tulus.

Mereka berjalan berdampingan sampai di mobil.

"Ibu duduk di depan saja," ucap Bima setelah mendudukkan Rere di kursi penumpang bagian tengah.

"Saya bersama Rere saja, Pak," balas Sekar sopan.

"Ibu di depan saja sama Papa."

Like father like daugther.

"Baiklah."  Akhirnya Sekar menyerah. Dia tidak ingin berdebat dengan ayah dan anak hanya gara-gara tempat duduk.

"Horeeee...."  Rere berteriak keras. Dia terlihat begitu bahagia.

Setelah memasang sabuk pengaman. Mobil Toyota tersebut melaju meninggalkan sekolah.

Pada awalnya mereka sedikit canggung. Apalagi Sekar, gadis itu nampak tegang.

"Ibu, asli dari mana?"  tanya Bima memecah kecanggungan di antara mereka.

"Saya dari Pacitan, Jawa Timur."

"Oh, pantes bahasa Indonesianya sedikit medok."

Setelah itu Bima menanyakan di mana tempat tinggal Sekar sekarang. Sekar pun menunjukkan di mana alamatnya. Beberapa saat mereka mengobrol. Mereka tidak sadar kalau Rere sudah terlelap. Mungkin karena lelah, hingga gadis kecil itu tertidur di jok tengah.

"Rere tertidur." Sekar terkejut setelah menengok ke belakang.

Bima kemudian menatap putrinya dari kaca spion.

"Begitulah dia setiap hari."

"Setiap hari?" tanya Sekar sedikit kaget.

"Iya, setiap hari ya seperti ini. Makanya banyak bantal dan boneka di jok tengah. Dan itu sebabnya Ibu saya suruh untuk duduk di depan saja." Bima tersenyum.

"Tapi, kalau tahu begitu saya bisa memangku kepala Rere, Pak," protes Sekar.

Bima terkejut dengan perkataan Sekar. Hampir saja dia menginjak rem.

"Kan, kasian dia tidur dengan posisi seperti itu." Sekar masih menatap Rere yang terlelap dengan posisi yang kurang begitu enak menurutnya.

"Benar kata Rere."

Sekar terkejut mendengar perkataan Bima. Kemudian membentulkan posisi duduknya sebelum membalas ucapan Bima.

"Maksud, Bapak?" tanya Sekar sedikit kurang mengerti.

"Tidak apa-apa, Bu. Hanya saja Rere sering bercerita tentang Ibu pada saya."

"Cerita?"

"Iya. Dia selalu bilang kalau Ibu itu baik dan cantik, juga sangat perhatian padanya."

Sekar yang dipuji seperti itu jadi sedikit merona. Wajahnya terlihat malu.

"Dan benar saja, Ibu sangat perhatian."

"Itu sudah tugas saya sebagai seorang guru, Pak." Sekar mencoba merespon perkataan Bima dengan sewajarnya.

Kepadatan Jakarta pada sore hari membuat perjalanan yang seharusnya hanya lima belas menit menjadi hampir setengah jam.

Tak terasa pula mereka berdua telah banyak bercerita tentang Rere. Bima ternyata laki-laki yang ramah dan enak diajak mengobrol. Sekar baru tahu kalau Bima itu baru berusia 34 tahun dan berprofesi sebagai dokter spesialis mata. Walaupun Rere pernah bercerita tentang ayahnya yang seorang dokter, tapi Sekar belum tahu detailnya. Jam prakteknya mulai pukul tujuh pagi sampai tiga sore. Apalagi kalau pasien sedang banyak, dia tidak bisa langsung pulang untuk menjemput Rere. Ya, pantas saja kalau Bima sering telat. Sekar maklum.

Ada satu hal lagi, Sekar juga baru tahu kalau Ibu kandung Rere meninggal setelah melahirkan gadis itu. Air ketubannya pecah, sehingga mengakibatkan terjadinya keracunan. Untung saja langsung diambil tindakan dengan jalan operasi. Namun, ternyata Allah berkata lain. Shakila, nama wanita itu harus lebih dulu menghadap Sang Maha Kuasa setelah berhasil melahirkan Rere.

Dan setelah cerita itu berakhir. Sampailah Sekar di depan rumah kecil kontrakannya. Setelah mengucapkan terima kasih, Sekar turun dari mobil. Namun, sebelum dia masuk ke dalam rumah. Dia sempat membenarkan posisi tidur Rere. Kemudian mencium kening gadis kecil yang masih terlelap tersebut. Perlakuan kecil Sekar tersebut membuat hati Bima merasa hangat. Ada perasaan bahagia yang terpancar dari laki-laki itu. Dia seperti menemukan sosok seorang ibu pada diri Sekar.

*****

"Jodoh, mati, rejeki, sudah diatur oleh Allah. Manusia hanya bisa berdoa dan berusaha."
~***~

Ps; cerita ini adalah ide saya sendiri yang terinspirasi dari cerita nyata. Jika ada cerita yang mirip dengan ini atau sama, tolong kasih tau ke saya.

Cerita ini belum pernah tamat, masih ON GOING.

Terima kasih

Vea Aprilia
Ta, Sabtu 1 Juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro