Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Semua Pasti Ada Jalan

"Pasti akan ada hikmah dibalik semua kejadian dan selalu ada jalan untuk semua masalah."

***
Sudah satu bulan semenjak kejadian malam itu. Malam di mana Sekar bersimpuh untuk pertama kalinya menghadap Sang Khalik. Keadaannya pun  jauh lebih baik. Perlahan tapi pasti, dia sudah mulai berbicara pada orang-orang. Tidak selalu mengurung diri. Lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Setiap malam dia tidak akan melewatkan salat tahajud. Dia selalu bersujud memohon ampun serta berdoa agar lebih ikhlas dan bersabar. Hal yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Sekar sadar bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Dia harus lebih banyak mengucap syukur karena Allah masih sayang padanya dengan memberikan cobaan seperti ini.

"Bagaimana keadaan kamu, Nduk?"  tanya Bu Nyai.

"Alhamdulillah jauh lebih baik, Bu," jawab Sekar sopan.

Setiap hari Bu Nyai akan menanyakan perihal keadaan Sekar. Wanita sholeha tersebut sangat menyayangi Sekar layaknya anak sendiri. Beliau tidak membedakan Sekar dengan santriwati lainnya. Perlakuannya sama, seperti seorang ibu pada anak-anaknya.

"Kamu harus lebih ikhlas lagi. Lebih banyak berdoa dan memohon ampun kepada Allah."

"Enjeh, Bu."

"Jangan bersedih lagi. Kamu itu cantik. Dan Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang terbaik buat kamu. Jadi kamu cukup berdoa dan bersabar."

Sekar tersenyum kemudian mengangguk.

"Jangan biarkan setan membelenggu hatimu dengan kesedihan dan kebencian."

Wanita sholeha itu mengusap pelan punggung tangan Sekar.

"Andaikan, ibu punya anak laki-laki pasti sudah tak jodohkan kamu sama dia. Tapi sayang anak ibu tiga, perempuan semua."

"Ibu, bisa saja."  Sekar tersenyum malu.

"Ibu serius loh... Kamu itu cantik, baik dan juga nurut, seperti yang pernah diceritakan oleh ibu kamu."

"Kasihan ayah dan ibu."  Raut wajah Sekar berubah menjadi sedih.

"Jangan sedih. Kalau kamu memang merasa kasihan dengan mereka, kamu harus bisa bangkit dan berusaha membahagiakan mereka. Jangan terus bersedih dan mengurung diri."

Sekar menyeka air mata yang telah membasahi pipinya.

"Sudah jangan menangis. Kamu ingat kisah para Nabi? Mereka diberikan cobaan yang lebih besar daripada kamu sekarang."

"Tapi Sekar bukan Nabi," potong Sekar cepat.

"Memang kamu bukan Nabi, ibu juga bukan Nabi, tapi Nabi juga manusia. Hanya bedanya mereka diberikan kelebihan oleh Allah."

"Tapi kadang Sekar masih menyalahkan Allah. Kenapa harus Sekar yang harus menanggung cobaan seperti ini?"

"Kamu ndak sendiri yang menanggungnya. Kedua orang tua kamu juga sama. Bahkan mereka lebih malu, sakit dan juga kecewa. Namun, mereka mencoba tabah dan sabar juga ikhlas. Mereka tidak mau terlihat lemah di mata orang-orang terutama di mata kamu. Mereka juga tidak mau menambah beban kamu jika melihat mereka bersedih dan terpuruk seperti kamu saat ini."

Sekar menunduk malu. Dia sadar dirinya terlalu egois. Tidak memikirkan perasaan kedua orang tuanya. Dia hanya memikirkan luka hatinya sendiri.

"Jangan pernah menyalahkan Allah lagi. Dia Maha Adil atas segala sesuatu di dunia ini." Bu Nyai memeluk tubuh Sekar. Dan gadis itu hanya bisa menangis.

"Kamu harus jadi gadis yang kuat dan tabah. Percayalah, semua pasti akan indah pada waktunya." Bu Nyai membelai lembut punggung Sekar.

"Kamu harus menjadi wanita tangguh seperti Siti Maryam atau seperti Ibunda Khadijah."

"Terima kasih, Bu Nyai. Sekar akan berusaha untuk menjadi wanita yang kuat," ucapnya disela tangis.

"Bagus, kalau kamu mau berusaha. Kamu itu beruntung Nduk, Allah masih memberikan jalan yang terbaik walaupun melalui cobaan seperti ini. Ingatlah masih banyak orang yang menyayangi dan mencintaimu."

Sekar masih terisak. Nasihat dari Bu Nyai begitu menohok hatinya. Dia sadar bahwa selama ini telah berdosa pada Tuhan. Melupakannya dan meninggalkan semua perintah-Nya.

"Sudah jangan menangis. Cuci wajahmu dan berdoalah. Minta ampun kepada Allah. Ingat Allah itu Maha Pengampun. "

"Enjeh, Bu Nyai."

Sekar menurut kemudian meninggalkan wanita setengah baya tersebut untuk pergi mengambil air wudhu. Dia harus lebih banyak lagi mendekatkan diri pada yang Sang Maha Pencipta.

***

"Nduk, ibu ada kabar gembira," ucap Bu Nyai ketika Sekar sedang membantu anak-anak pesantren belajar.

"Nopo, Bu Nyai?" tanya Sekar sopan.

"Begini Nduk, ibu punya saudara yang tinggal di Jakarta dan beliau mempunyai sebuah yayasan pendidikan. Bagaimana jika kamu ibu titipkan di sana?" Ibu Rosyad mengatakan hal tersebut dengan hati-hati.

"Apa Sekar merepotkan selama tinggal di sini Bu Nyai?" tanya Sekar sedikit terkejut.

"Kamu sama sekali tidak merepotkan Nduk, hanya saja ibu lihat kamu perlu suasana baru untuk membuka lembaran hidup yang baru," kata Ibu Rosyad tulus.

"Tapi, Sekar sudah betah tinggal di sini Bu," ucap Sekar terlihat sedih jika harus meninggalkan pondok pesantren yang selama beberapa bulan telah membuatnya hidup kembali.

"Pikirkanlah dulu Nduk,  ibu juga tidak memaksa. Di sana kamu bisa mengajar lagi. Bukannya kamu sangat senang dengan anak-anak?"

Sekar merasa sedikit bingung, pasalnya kabar tersebut terlalu tiba-tiba. Dia baru saja menata kembali kepingan hatinya yang telah hancur berantakan. Baru tiga bulan ia tinggal di pesantren tersebut dan Sekar masih ingin lebih banyak melakukan ibadah dan belajar ilmu agama. Mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

"Jangan terlalu dipikirkan," ucap Bu Nyai Rosyad lembut ketika melihat Sekar larut dalam pikirannya sendiri.

Sekar mengangguk tanda setuju.

"Ibu hanya ingin menawarkan saja sama kamu. Jika kamu mau, ibu akan segera mengabari mereka."

"Terima kasih Bu Nyai."

"Kamu anak yang baik. Bukan bu Nyai mau mengusir kamu dari sini. Malah ibu pengen kamu tinggal di sini selamanya. Tapi, ibu pikir kamu masih muda, punya masa depan yang panjang. Jadi tidak ada salahnya memulai kehidupan yang baru," jelasnya pada Sekar.

Sekar mendengarkan dengan baik setiap perkataan istri pemilik pesantren tersebut. Dia harus bangkit dan berusaha lagi untuk lebih menghargai hidup. Kehidupan pesantren memang sangat nyaman baginya tapi apakah ini yang sebenarnya ia inginkan?

Benar kata bu Nyai. Dia masih muda dan masih punya masa depan yang panjang, jadi kenapa tidak mencoba membuka hidup baru. Memulai lembaran di tempat lain. Mungkin dengan demikian luka hatinya akan berangsur sembuh. Namun, ia tidak langsung mengiyakan tawaran tersebut karena Sekar masih bingung dengan jalan hidupnya sekarang.

"Sekar akan pikirkan tawaran Bu Nyai. Dan Sekar sangat berterima kasih Bu Nyai begitu perhatian pada Sekar."

"Kamu sudah seperti anak ibu sendiri Nduk. Dan ibu lihat kamu juga sudah lebih bisa ikhlas dan sabar dalam beberapa bulan terakhir ini."

Memang banyak yang bahagia melihat Sekar sudah seperti dulu lagi. Suka tersenyum dan ceria kembali. Maryam dan Suhadi pun yang menjenguk Sekar terlihat begitu bahagia. Anak bungsu mereka telah kembali seperti dulu. Kadang ada keinginan Maryam untuk membawa Sekar pulang setelah melihat putrinya tersebut jauh lebih baik. Namun, dia masih takut luka yang diderita Sekar akan berdarah lagi jika berada di lingkungan rumahnya. Kadang-kadang masih ada saja tetangga yang bergunjing tentang gagalnya pernikahan putri bungsunya tersebut.

"Ya sudah, ibu tinggal dulu ke dalam."

Wanita sholeha tersebut meninggalkan Sekar bersama beberapa anak yang masih sibuk mengerjakan PR mereka. Namun, Sekar menjadi kepikiran tentang perkataan Bu Nyai. Dia merasa nyaman tinggal di pesantren bersama para santriwati lainnya. Namun, ia bertanya lagi dalam hati, sampai kapan ia akan bersembunyi di tempat ini?

"Mbak Sekar ini bagaimana cara ngerjainnya?"

Lamunan Sekar terhenti ketika suara Salma mengagetkannya. Dia lalu tersenyum sekilas pada gadis berusia sepuluh tahun tersebut. Kemudian fokus pada soal Matematika yang ada di hadapannya. Sedikit melupakan perkataan wanita sholeha tadi.

Setelah membantu Salma mengerjakan PR-nya, ia pun kembali memikirkan tawaran Bu Nyai Rosyad. Sekar melihat anak-anak yang sedang belajar tersebut. Ada rasa rindu kembali ke tengah-tengah anak didiknya. Rindu berinteraksi lagi dengan anak-anak. Rindu berkutat dengan kertas-kertas ujian. Rindu dengan suasana sekolah. Sekar merenung, mungkin ini semua jalan yang sudah digariskan Tuhan untuknya. Dia hanya perlu berusaha lebih baik dan lebih banyak bersyukur lagi. Dia yakin masih banyak orang-orang yang sayang padanya.

***

"Sebagus apa pun sebuah sangkar, walaupun terbuat dari emas. Seekor burung akan lebih bahagia jika terbang bebas di luar sana."
~ veaaprilia

****

Alhamdulillah saya bisa update lagi setelah sekian lama sibuk dengan dunia nyata. Maaf 🙏 jika banyak yang menunggu cerita ini dan maaf juga jika ada typo atau kalimat kurang efektif. Mohon koreksinya.

Veaaprilia
Ta, 31 Maret 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro