
3. Mapple Berdarah
Ketika pagi menampakkan matahari dengan senyum memilaukan. Quizer sama sekali tidak berniat beranjak dari posisinya. Dia raba permukaan pipi mulusnya. Lengket, bekas air mata.
Kantung mata lebam, sudah bisa dia pastikan karena menangis semalaman. Quizer merasa napasnya membutuhkan pasokan lebih. Entah bagaimana dia bisa bertahan di dalam lemari begitu lama, mungkin itulah kehendak Tuhan.
Dia dorong pelan-pelan pintu lemari. Tidak ada hawa keberadaan apa pun. Kecuali dirinya jika dihitung. Quizer lalu mengembuskan napas lega.
Brak!
"Quizer! Quizer! Tidak, lepaskan! Aku harus menjemput anakku."
Quizer mengerutkan dahinya. "Dad?"
Keuntungan menangis, membuat kemampuannya berkurang drastis untuk 2x24 jam. Nyaris mendekati pendengaran orang normal. Namun, di saat seperti ini Quizer membutuhkan kemampuannya.
Tertatih-tatih tubuh Quizer bertumpu pada tembok dan semua benda yang ada di ruangan. Dia harus segera keluar. Bagaimana juga, dia harus bertemu dengan Mom dan Dad.
"Dad ... Dad ... I'm here," bisik Quizer berharap orang-orang di bawah dapat mendengarnya.
Quizer yakin, orang-orang tersebut belumlah beranjak jika Dad tidak memaksa. Namun, kesadarannya tidak akan lama. Quizer lalu mengambil barang terdekat sebelum melemparnya. Polisi akan curiga, mereka pasti langsung ke tempat perkara.
Sayangnya ketika panggilan, "Adik" keluar dari mulut mereka. Quizer memilih beranjak dari tempatnya. Meski harus pingsan sekali pun dia harus kabur.
"Dad ... help me ...."
oOo
Saat Quizer membuka mata, dia hanya tahu jika tempat yang dilihatnya berbeda. Tanah kering menjadi tempatnya berbaring. Semua badannya sakit, terutama bagian kepala.
Dia mengerjapkan mata beberapa kali melihat langit oranye yang menggantikan lautan biru. Ini sudah sore. Quizer berusaha duduk, tetapi sakit badannya membuat dia kesulitan. Hingga ada satu tangan hangat yang membantu jadi tumpuannya.
"Kamu pingsan Quiz," seru suara merdu di sampingnya.
Perempuan itulah yang membantu Quizer duduk. Mata hijaunya meneduhkan. Namun, dia masih tidak mengerti. Pingsan? Karena apa?
"Maafkan aku, harusnya tadi aku melempar bola dengan memberitahumu. Ngomong-ngomong, teman-teman belum ke sini. Mereka sedang main di hutan mapple," jelas perempuan tersebut.
"Jadi begitu?" bisik Quizer sambil memegangi kepalanya sendiri.
"Ngomong-ngomong kamu pucat, Quiz. Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku hanya ... mendapatkan mimpi buruk." Quizer mengembuskan napas. Di antara semua traumanya, entah mengapa harus Sang merah lagi. Dia lalu melanjutkan, "dan perutku mulas."
Gadis dengan netra hijau itu tersenyum. Menampilkan dua lesung pipi yang manis. Dia bantu Quizer berdiri. Memapah laki-laki tersebut ke dalam sekolah.
"Aku akan mengantarmu ke kelas," ucap gadis tersebut.
Quizer menggeleng. "Aku mulas."
"Pahamilah, bagaimana bisa aku memapahmu ke kamar mandi cowok? Kita minta bantuan Luxi, dia di kelas."
Dengan embusan napas yang berat, Quizer hanya bisa mencondongkan bibir ke depan. Perutnya mulas dan dia harus ke kamar mandi! Terlalu banyak ingatan trauma yang masuk mengganggu pencernaannya. Setelah ini Quizer percaya, satu malam tidak makan apa pun.
Gadis itu benar-benar membawanya ke ruangan. Bukan kelas. Lebih ke ruangan ekstrakurikuler. Di sana hanya ada satu laki-laki yang dia tahu adalah Luxi.
Laki-laki tersebut berperawakan kurus dan pendek. Memakai kacamata super tebal dan sibuk membaca buku novel bersampul hitam. Di depannya tertulis sebuah judul dari karya yang terkenal. "Sherlock Holmes".
"Luxi, kamu baca novel lagi? Tidakkah kamu bosan?" tanya gadis tersebut setelah membantu Quizer duduk di salah satu bangku.
Luxi mendongak. "Sherlock itu hebat, bahkan aku menyukai karya misteri di dalamnya karena dia. Isi ceritanya tertuang dengan rapi seakan memang terjadi.
"Menurutmu bagaimana tentang cita-citaku sebagai detektif dan bisa menaklukan Merah. Keren, 'kan?"
"Tidak tuh," timpal Quizer, "lebih keren jika kamu mengantar orang keren dan tampan ini ke kamar mandi."
"Mulas lagi?" Quizer mengangguk ketika Luxi menanyakannya.
"Tidak, tidak. Mungkin saja saat ini aku adalah Sherlock, biasanya saat kamu mulas ... ada sesuatu yang terjadi. Pasti nih ada sesuatu."
"Tidak ada. Aku benar-benar mulas, tetapi terlalu pusing ke kamar mandi sendirian."
"Antar saja dia, Luxi." Entah Luxi mendengarnya atau tidak, tetapi dengan beberapa menit saja dia lalu menutup buku.
Sebelum ke kamar mandi. Quizer berdiri, melihat hutan mapple kemerahan di bawah sana. Semua berlarian. Tidak. Ini aneh. Mereka tidak tersenyum atau tertawa. Terlalu jauh pula mendengarkan apa yang terjadi.
Tiba-tiba sosok berjubah hitam berjalan. Tiga detik kemudian menampilkan jenjang kaki dengan darah merah segar mengalir. Tiga detik selanjutnya, sosok itu mengambil sabit dan mengarahkannya pada anak-anak lainnya.
"Tidak mungkin."
Luxi benar. Lagi-lagi mulasnya membawa kesialan. Mual. Mulas yang menjadi. Lagi-lagi Merah.
"Luxi, panggil polisi," perintah Quizer.
Luxi mengerutkan dahi. "Hah? Maksudmu?! Kamu mau ke kamar mandi bersama polisi?"
"Tidak, ya ampun!"
"Lalu?"
"Merah, Merah di sini."
Luxi segera menghampiri Quizer. Mereka sama-sama melihat ke arah pohon mapple. Merah tidak alami, hanya darah di mana-mana.
Segera dia keluarkan ponsel bersama si gadis pun. Keduanya menghubungi nomor yang berbeda. Namun, hingga selesai menelpon pun perutnya masih saja mulas berkepanjangan.
Dia bukan laki-laki cengeng lagi. Tidak boleh menangis. Namun, Quizer tidak kuat. Dia berlari meninggalkan ruangan tanpa peduli pusing kepalanya.
Dia harus ke kamar mandi, mengeluarkan semua yang membuatnya sakit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro