5. Pengasuh
Aku berada di sebuah kamar yang cukup bagus dibanding kamar lamaku. Dua ranjang sederhana dan nyaman, dengan satu nakas di tengahnya. Lilin-lilin di dinding berjajar rapi dan menyala terang. Makan yang datang tidak pernah mengecewakan, tersikat habis olehku dan ibu. Semua itu adalah berkat hari keberuntungan kami untuk dapat menyembuhkan sang putri dengan sangat luar biasa. Bahkan aku sendiri mengakuinya. Karena apabila aku disuruh mengulaingi keajaiban itu lagi, aku tidak yakin dapat melakukannya.
Jadi, mempertimbangakan segala kemungkinan yang dapat tercipta selama kami di istana. Aku dan ibu memutuskan untuk menikmati semua ini sebelum kami diusir lagi nanti.
---cup.chocochip---
Hari-hari berlalu dengan sangat bahagia. Saat happily ever after mencapai kehidupan pangeran dan putri. Sang Putri Mahkota yang ceria dan terlihat sedikit lebih kekanak-kanakan dan manja, mungkin karena usianya yang masih 14 tahun—padahal aku sendiri masih 15 tahun—membuatku harus selalu mengejarnya ketika dia berjalan-jalan atau tepatnya berlarian di taman. Pihak kerajaan memutuskan untuk tidak mengekang Sang Putri seperti layaknya calon Ratu. Karena kondisinya yang tiba-tiba turun setelah diforsir menerima pelajaran-pelajaran, dan pengetahuan mengenai dunia kerajaan.
Maka beginilah nasipku. Berlarian sepanjnag taman yang sangat-sangat luas, dengan di temani berbagai jenis bunga warna-warni, kupu-kupu yang menari, lebah pencari madu, dan putri mahkota yang ingin menangkapi mereka semua. Ironis sekali, nasibku yang bukannya menjadi tabib istana malah menjadi seorang pengasuh bayi.
Karena perintah langsung dari Putri Herleva yang memintaku untuk menjadi asisten pribadinya, maka dengan segala kerelaan hati, aku menerima jabatan itu. Berpisah dari ibu yang kini menjadi asisten utama kepala tabib istana. Mimpi untuk untuk menjadi tabib handal kerajaan harus pupus. Karena kini aku harus melayani dengan kepatuhan, bukan obat-obatan.
"Claudia, kenapa kau lambat sekali? Katanya kau sering mendaki gunung?" kata Putri Herleva di tengah aktivitasnya. Rambut hitam panjang milikya bergerak liar saat berlari.
"Saya tidak mendaki dengan cara berlari Yang Mulia, hah.. tunggu saya.." habis sudah secuil roti ada di perutku tadi pagi. Hari ini entah kenapa aku malas makan. Main kejar-kejaran dengan Putri Herleva di taman, bukan kabar baik bagi perutku yang kosong.
"Herleva, kemarilah! Aku membawakan senwitch untuk kalian!" kata Pangeran Stephen yang tiba-tiba berdiri di pinggran taman bersama asistennya.
Apakah Pangeran Stephen baru saja menyebut kata 'kalian' dan juga 'senwitch'. Tidak basa-basi, aku langsung berlari dengan kecepatan kuda, menangkap Putri Herleva, untuk kubawa paksa pada Pasangannya.
Hari ini adalah hari saat Pangeran Stephen memiliki kelonggaran dalam jam kerjanya yang tidak terbatas. Menemui kami yang tengah asik berlari cantik, di temani tarian kupu-kupu, dan bunga-bunga yang bermekaran. Mungkin itu yang ada di pikrannya ketika melihat kebahagiaan Putri Herleva, tapi ia tidak memperhatikan aku yang ngos-ngosan berlari kesana-kemari seperti mengejar layangan putus.
Terlalu lama sendiri, membuatku ingin diperhatikan semua laki-laki.
Mungkin itu yang terjadi padaku. Di saat aku tidak memiliki pria yang menjagaku sebagai sosok kekasih, sedikit apapun perhatian seorang pria padaku, aku menanggapinya dengan cukup antusias. Bahkan pernah suatu waktu aku merasa Pangeran Satephen memandangku dengan sangat intens, yang ternyata hanya memperhatikan jendela yang dihinggapi sepasang camar yang berteduh di kala hujan. Atau ketika ia menggapai lenganku, untuk meminta isi ulang air minum yang kosong dalam teko.
Pangeran Stephen duduk di bangku taman, ditemani seorang pelayan pribadi yang bernama Gerald yang berdiri di belakangnya. Sedangkan aku masih dalam posisi mengamit lengan Putri untuk memaksanya duduk di sebelah Pangeran Stephen. Pangeran tertawa melihat tingkah lucu sang putri yang menggemaskan saat meronta meminta kebebesan. Namun sama sekali tidak aku ijinkan, karena ini setidaknya membuat Sang Putri duduk beberapa lama hanya untuk mengobrol ringan bersama Pangeran. Aku sungguh mensyukurinya, setidaknya itu mengurangi frekuensi lari pagi yang aku lakukan setiap hari.
Disamping bangku taman, telah tersedia sebuah keranjang yang aku yakini berisi senwitch dengan is daging asap dan sayuran segar yang menggiurkan. Entah ia melihatku saat menelan ludah, atau memang inisiatif dari awal, Pangeran Stephen tiba-tiba menawariku satu dari semua senwitch yang ia bawa.
"Ambilah!"
"Tidak Pangeran, terimakasih," kataku mengetahui siapa diri.
"Tidak apa-apa, ambilah! Gerald, ambilah juga,"
"Pangeran—" Gerald juga ingin menolak sebelum sebuah perintah datang dari Pangeran Stephen.
"Ambil!" katanya mutlak, membuat Gerald langsung mengambil senwitch dari tangan pangeran bahkan tanpa permisi, "Kau lihat, jadi ambilah!" Menawariku lagi, dengan halus.
"Terimakasih," aku menerimanya dengan suka cita.
---cup.chocochip---
Kehidupan istana cukup menarik juga cukup membosankan. Menarik oleh banyak hal baru yang aku temui di sana, seperti seberapa megahnya istana, para bangsawan yang memiliki peranan besar dalam tatanan kerajaan, aturan-aturan yang hanya menguntungkan pihak pengusa, perbudakan yang berkembang dengan mudahnya, dan perdagangan manusia untuk menjadi tentara perang atau pelayan istana. Semua hal itu tanpa sengaja aku ketahui dari teman-teman pelayan dan tabib yang secara sembunyi-sembunyi membicarakanya, pada malam insomnia.
Tapi tidak semenyenangkan itu, ketika berhadapan dengan para putra bangsawan yang kadang menghadang jalanku. Ada-ada saja yang mereka lakukan. Terkadang memberi sebuah bunga mawar yang tidak dapat ditanam lagi, sepucuk surat yang bertele-tele, atau sekedar kata-kata omong kosong yang sama sekali tidak bermakna. Bukanya aku tidak menyukai mereka semua. Mereka tampan dan ada beberapa yang baik, walau ada pula yang sedikit kurang ajar. Hanya saja aku menyukai tipe pria sederhana yang mungkin sedikit banyak mirip dengan Edmund.
Harus aku akui, dulu Edmund adalah tipe pria paling aku inginkan. Pria sederhana yang menyayangi keluarganya, baik hati, tampan, dan pastinya bukan sang nelayan yang pergi dan tak pernah kembali. Walau juga ada bayak kekurangan dalam dirinya, tapi dia tipe seseorang yang apa adanya. Tidak palsu seperti para bangsawan dan anggota kerajaan. Adalah yang aku inginkan.
Namun perpisahanku dengan Edmund juga bukan hal yang menyenangkan. Hari saat aku menyatakan akan pergi ke istana.
Aku menemui Edmund sebelum ia berangkat ke ladang, dan menyatakan maksud kepergianku.
"Ed maafkan aku, aku harus pergi dengan ibuku ke istana,"
Ia terlihat sedikit riasau oleh perkataanku, "Benarkah, kapan kau kembali?"
"Aku tidak tahu," kataku dalam penyesalan.
"Hati-hati di jalan, jangan lupakan aku," terdengar sangat datar dan tanpa persaan.
"Hah—?"Kataku, masih belum dapat mencerna kalimat perpisahan Edmund dengan sempurna.
"Aku harus ke ladang, sampai jumpa,"
Lalu ia pergi dari, maninggalkan seribu tanda tanya dalam benak.
Percakapan terakhir yang membuatku geram setengah mati. Jadi selama delapan bulan kemarin, apa kami benar-benar pacaran? Dia bahkan sama sekali tidak memaksaku untuk tinggal. Sebegitu tidak kuatnya hubunganku dengan pria itu, sedikit membuatku sedih untuk sehari, tapi lupa pada hari berikutnya.
Rupanya kami sama saja.
"Hai Claudia, kau cantik sekali hari ini," kata seorang bangsawan muda yang aku ketahui bernama Antonio, dan yang paling kurang ajar di antara para bangsawan yang senang berbasa-basi.
Aku sedang berada di aula besar yang sepi, membawa satu keranjang roti yang akan aku antarkan kepada yang mulia Putri Herleva. Ketika sosok pria tinggi, beralis tebal, mata coklat, rambut panjang terkuncir rapi, dengan kulit kuning kecoklatan, menghadang tepat di depanku.
"Terimakasih, saya sedang buru-buru. Bisakah Tuan Antonio memberi jalan untuk saya?" kataku mencoba sopan.
"Tidak usah sok jual mahal, aku tahu yang kau inginkan. Sedikit emas akan mebuatmu tersenyum padaku,"
Ungh... dimana aku pernah mendengar ucapan itu. Apa semua bangsawan selalu memandang rendah orang-orang seperti kami?
Antonio beranjak mendekat, mengulurkan tangan hendak menyentuh pipiku, sebelum aku reflek mengucapkan sebuah mantra yang membuatnya terjengkang kebelakang, seoalah ada yang mendorongnya.
"ADUH ...," lolongnya kesakitan.
"Ada apa?" tanya sebuah suara di belakang.
Tiga pemuda bangsawan yang selesai bersenang-senang dari pesta mingguan kerajaan, mulai mendatangi kami, kemudian membantu Antonio untuk berdiri.
"Kenapa kau terjatuh?" tanya salah satu temanya.
"Dia mendorongku," kata Antonio menebak dengan tepat. Yang berarti tengah berdusta.
"Claudia, sebaiknya kau meminta maaf padanya," kata pemuda yang aku tahu bernama Thomas. Putra Mahkota pun juga berada di antara mereka, tapi sama sekali tidak berekasi.
"Maafkan saya Tuan Antonio, saya pantas diusir dari istana. Saya akan segera melaporkan tindakan kurang ajar saya pada Hakim," tantangku.
"Wah... tidak! Kumohon jangan. Hey Atonio, kau yang seharusnya minta maaf padanya." Thomas membalik ucapanya, dan memang telah aku prediksi.
Sesungguhnya aku sudah tahu, bahwa mereka tergila-gila padaku.
"My Sweety Claudia tidak perlu melakukan hal sejauh itu. Kau hanya perlu menemaniku jalan-jalan, dan kesalahanmu akan aku anggap tidak pernah terjadi," kilah Antonio.
Justru itu yang merupakan hukuman terberat.
"Saya hanya seorang rakyat jelata yang melakukan tindakan tidak sopan. Sangat tidak etis bagi saya untuk menerima kebaikan anda." Setidaknya bersama Tuan Putri sepanjang hari membuatku belajar banyak tentang tatakrama.
"Untuk apa kau perduli dengan aturan-aturan konyol itu. Kalau aku menginginkanmu, saat ini juga aku bisa menikahimu. Aku tidak perduli meskipun kau hanya seorang pengemis sekalipun," Antonio terlihat bersungguh-sungguh. Nilai plus baginya adalah sikap apa adanya yang cukup menawan.
"Maafkan kelancangan saya Tuan. Tapi saya sangat menghormati aturan para bangsawan, dan saya harap Anda pun menerapkannya. Permisi,"
Aku langsung meninggalkan tempat itu tanpa meminta persetujuan dari mereka semua.
"Aku akan melakukan sesuatu untuk mendapatkannya," kata Antonio saat aku berjalan meninggalkan kerumunan.
"Dan aku akan membuatmu berfikir dua kali saat ingin melakukanya." Walau jarak antara aku dan para bangsawan muda sudah cukup jauh, tapi aku masih dapat mendengar sebuah ancaman dari seseorang. Yang benar-benar membuatku sangat terkejut. Sang Putra Mahkota yang sedari tadi hanya diam, kini tengah melindungiku dari mereka semua.
Bersambung ....
Vote please ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro