4. Istana
Setelah perjalan selama tiga hari tiga malam menggunakan kuda, melewati Hutan Kabut Elbow yang terkenal tidak ada manusia yang selamat setelah melewatinya, mereka yang masuk satu senti ke tempat itu dapat dikatakan telah menghilang dari dunia. Namun siapa yang peduli. Kami penyihir. Kami punya banyak cara untuk menyelamatkan diri dari makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat manusia normal. Juga, hutan itu adalah satu-satunya jalan pintas paling dekat menuju istana, yang seharusnya dicapai dalam waktu dua minggu.
Di sinilah kami, masih harus mengantri selama hampir sepuluh jam di sebuah lorong kastil istana. Mengunggu giliran untuk mencoba mengobati Putri Mahkota, hingga dapat diresmikan menjadi tabib istana. Atau setidaknya itu yang ibu harapkan.
Aku tidak paham kenapa Ibu tiba-tiba mengusulkan hal ini. Keluar dari desa yang hampir terserang wabah, kami malah masuk penjara istana yang mengalami situasi yang sama.
Aku tidak bisa berhenti memandangi tiap ukiran marmer di tembok kuning yang mengkilau cerah, dan ratusan lilin yang terpasang indah di langit-langit. Lantai batu yang cicin mengkilap, berbagai ornamen-ornamen patung para tetua atau raja sebelumnya, lukisan-lukisan para raja-raja yang berwibawa dan ratu-ratu yang cantik jelita tertempel rapi di dinding. Selain itu, terdapat kebun luas berrumput hijau tertawat dengan bunga warna-warni yang sangat cantik menghiasi taman yang hampir menarikku untuk memetiknya. Sungguh luar bisa bagi seorang awam seperti kami, dapat berkunjung di tempat menakjubkan seperti ini. Mungkin juga karena aku lebih sering menatap keindahan alam dari pada gemerlap dunia. Atau karena terlalu sering meremehkan orang-orang yang mencintainya.
Tidak hanya itu, keberadaan para bangsawan berbaju indah yang berseliweran di sekitar istana dengan kepala terangkat ke atas, yang menurutku sangat luar biasa. Bagimana mungkin mereka bisa berjalan secepat itu dengan pandangan yang selalu menghadap langit-langit tanpa pernah terjatuh, adalah salah satudari berjuta pertanyaan yang terbersit di pikiranku.
Berlawanan dengan sikap para bangsawan, para pembatu dalam istana selalu menunduk rendah ketika berjalan apa lagi berpapasan dengan mereka yang berkasta tinggi. Beberapa prajurit yang masih mengenakan baju besi dan terlihat kesusahan untuk berjalan. Termasuk para tabib luar sitana yang kini bersaing mendapatkan pengakuan dari Putra Mahkota. Semua sungguh menarik di mataku.
Para tabib dari seluruh penjuru negeri kini tengah mengantri di depan kamar Putra Mahkota. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian yang luar biasa. Ada yang memakai jubah bertudung kerucut dengan bau menyengat khas bawang putih. Ada yang hanya menggunakan jerami sebagai pakaian, dan ada juga yang memakai baju dari bulu-bulu angsa yang kini rontok dan terbang kesana-kemari, mencari lubang hidung yang paling besar yang dapat dimasuki.
Setiap satu jamnya ada saja tabib yang keluar dalam keadaan lesu tak bertenaga karena kegagalannya. Hal itu sedikit membuatku lega karena masih punya kesempatan, tapi juga cemas karena sampai sejauh ini tidak ada yang sanggup menyembuhkan sang Putri Mahkota.
Uh, entah kenapa. Aku menjadi tertarik untuk benar-benar hidup dalam istana. Hal baru ini membuatku penasaran. Seperti menemukan rumah nyaman baru yang benar-benar penuh tantangan. Aku ingin mencobanya.
Ibu pun telah merencanakan hal ini dengan sangat baik. Ia ingin kehidupan yang lebih layak untukku yang telah berusia lima belas tahun, tahun ini. Secara harfiah, wanita seumuranku telah layak menikah. Dengan membawaku berpetualang tanpa tujuan akan memperkecil kesempatanku mendapat laki-laki yang besedia meminangku segera. Itulah ujar ibu. Yang aku tanggapi dengan enggan dan penuh rasa bosan.
Lalu apa yang terjadi pada Edmund? Maaf, tapi aku tidak ingin membicarakannya hari ini.
Namun juga ada hal lain yang membuatku sedikit was-was. Yaitu kondisi istana saat kami pertama kali menginjakan kaki di tempat ini. Aura hitam khas wabah Brinton,samar-samar menampakan diri saat kami memasuki aula istana. Namun langsung lenyap setelah kami memasukinya. Mungkin itu hanya halusinasiku. Walau begitu aku punya persaan buruk terhadap hal itu.
"Ny. Eveline, silahkan masuk," kata salah satu pelayan laki-laki yang menjaga pintu pada ibu.
Pria penjaga itu sedari tadi terus menatapku tanpa berkedip. Itu sangat membuatku risih. Apa ia tidak pernah melihat seorang gadis desa? Atau di merasa terganggu dengan tampangku yang lusuh? Jadi aku memutuskan untuk menggosok mukaku dengan sapu tangan agar tidak terlalu menjijikan saat bertemu dengan pangeran nanti. Walau sepertinya juga tidak ada gunanya. Karena saputangan yang aku gunakan sama kotornya dengan alas sepatu yang aku injak saat ini.
Kami memasuki sebuah kamar besar nan megah milik anggota kerajaan. Jendela besar yang langsung menghadap taman, prabotan kayu dengan ukiran indah, lemari-lemari besar di sebelah kanan ruangan, Cermin oval besar di pojok, rak dengan buku-buku tebal tertata rapi, meja kursi tempat bekerja yang sangat indah, banyak perabotan berbahan emas dan perak tergantung di tembok, ataupun di letakan begitu saja di atas meja. Semua itu sungguh luar biasa.
Aku dan ibu dibawa menuju tempat tidur besar dengan cat dasar coklat kayu kokoh, dengan tirai putih terkuncir rapi pada tiang-tiang yang ada pada tiap ujung ranjang. Seprei putih bersih di kombinasikan dengan warna emas dan merah, menambah kesan kemewahan dalam kamar itu. Tapi yang lebih indah dari semua, adalah seorang gadis yang mengeanakan baju tidur sutra putih berkerah yang indah dan terlihat nyaman. Kulit putih seputih salju, hidung mungil yang mancung, bibir pucat pink alami, garis hitam samar bawah matanya yang tertutup, tidak dapat menyembunyikan kecantiakanya. Kecantikan luar biasa oleh putri mahkota yang sedang terbaring sakit.
Berbeda sekali dengan tampilan kumal seorang gadis yang tidak mandi berhari-hari karena berada dalam perjalanan. Baju terbaik yang kini juga lusuh oleh debu dan kotoran, dan jangan lupa wajahku yang selalu terlihat biasa, yang merupakan anugerah dari yang Maha Kuasa.
"Pangeran, ini adalah tabib ke- 16 hari ini. Dia bernama Evelin Venningan dan putrinya Claudia Venningan," kata si pelayan pada seseorang laki-laki yang sedari tadi tidak aku sadari keberadaanya.
Pria itu mengenakan pakaian khas Kerajaan, yaitu baju ketat dengan lengan balon yang besar, menggambarkan kasta tinggi yang dia emban. Memiliki wajah tegas pria berumur 23 tahun, rambut cepak pendek, hidung mancung, mata hijau muda seprti milik Edmund, wajah tegas, dan rahang kokoh yang berberewok tipis. Termasuk pada golongan laki-laki tampan yang pernah aku temui di dalam istana. Dia adalah Stephen Canute Blois, putra mahkota Kerajaan Velian.
Pangeran sama sekali tidak menatap kami, ia hanya fokus menggenggam jari kecil putri cantik yang merupakan istrinya. Sikapnya yang terlihat sangat mencintai Putri Mahkota, membuatku sangat iri. Kapan tepatnya diri ini menemukan pria yang mampu mencintaiku seperti itu. Kurasa dongeng pengatar tidur sudah tidak cocok dengan umurku.
Ibu memulai proses pengobatan. Ia mengecek nadi sang Putri dengan hati-hati. Setelah memastikan kondisi awal, ia mencoba merapal beberapa mantra, tapi ternyata tidak bereaksi. Maka ibu mulai membuka kotak persediaan obat, meracik sesuai gejala penyakit yang dialami, dengan aku yang membatu untuk memercepat proses peracikan.
Obat yang telah selesai diramu, dituang dalam sebuah cawan besar. Ibu berdiri untuk memberikannya pada Sang Putri. Tapi sebelum sempat meminumkannya, rupanya Sang Putri Mahkota telah terbangun. Mata biru cerah yang berlawanan dengan mata biru gelap milikku, kini telah terbuka, tapi nafas tersengal juga meyertainya. Ia memegangi dadanya kuat-kuat. Bernapas pendek seoalah udara telah habis dari dunia.
"Cepat panggil tabib kerajaan, dan usir mereka dari hadapanku," kata Pangeran masih tidak bersedia memandang kami.
"Yang Mulia, bisakah saya meminumkan ramuan ini pada Putri Mahkota terlebih dahulu sebelum pergi," tanya ibu dalam permohonnan.
"Tidak perlu, aku sudah muak dengan semua omong kosong kalian. Pergi dari hadapanku, dan DIMANA TABIB KERAJAANKU!" Perintah mutlak sang Pangeran membuat si pelayan lari secepat mungkin untuk memenuhi titah.
Aku sudah pernah berkali-kali dicaci maki, dihina, diusir, dan diremehkan. Namun kali ini terasa berbeda. Entah kenapa aku sangat marah pada pangeran di depanku. Kami telah menunggu sangat lama untuk menanti kesempatan ini, dan dia dengan sangat tega mematahkannya hanya dalam waktu dua detik. Maafkan aku ibu, mungkin aku tidak akan pernah bisa menjadi wanita kalem seperti yang ibu ajarkan.
"Maafkan atas kelancangan saya sebelumnya. Kalau memang tabib kerajaan mampu menyembuhkan Yang Mulia Putri Mahkota, untuk apa Yang Mulia repot-repot memanggil kami semua kemari?" kataku, tidak lagi mampu menahan kata-kata yang sedari tadi terbendung.
Pangeran yang sesaat lalu sama sekali tidak menggubris keberadaan kami, kini mulai mendongakan kepala untuk menatap wajah lusuh yang tengah menentangnya.
Aku yang sadar tatapan kami bertemu, segera menundukan kepala menghindari ketidak sopanan. Atau ketidak sopanan itu telah tercipta lebih besar dari sekedar tatapan mata. Aku yang menentang titahnya. Mendeklarasikan sebuah tindakan pembangakangan terhadap calon raja. Hanya satu hal yang dapat aku lakukan sekarang, yaitu berdoa pada Tuhan, agar ia meyelamatkan leherku dari mara bahaya.
"Mo-mohon beri kami kesempatan. Kami akan melakukan yang terbaik," Harusnya aku langsung bersujud dan memohon ampun, bukannya malah meninta kesempatan.
"Baiklah, aku akan memberi kesempatan pada kalian sampai tabib kerajaan datang," pernyataan yang sungguh mengejutkan. Aku berhasil meraih dua-duanya, baik pengampuanan, maupun kesempatan. Ini adalah hari keberuntungan kami.
Tidak membung kesempatan aku langsung membantu putri untuk duduk. Saat tanganku memegang pundak Putri Mahkota, aku terkejut dengan kemunculan aura hitam wabah Brinton dari dalam tubuhnya, tapi dengan cepat menghilang kembali seperti biasanya. Tidak memberi kesempatan untuk pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah penampakan itu. Aku segera meminumkan ramuan ibu pada Sang Putri, sebelum kami diusir lagi.
Satu harapanku, semoga obat ini bekerja dalam hitungan detik. Sebelum Pangeran mencurigai kami sebagai penipu kembali.
Putri Mahkota tiba-tiba duduk lebih tegak pada posisinya. Nafas yang tadi tersengal dan pendek, kini normal dan terlihat longgar.
"Bisa kau ambilkan air, ini sangat pahit," kata Putri Herleva, merasakan indra pengecapnya berfungsi kembali. Aku segera menurutinya tanpa interupsi, mengambilkan segelas air putih dari atas nakas. Kemudian memberikanya pada Putri Herleva dengan tangan bergetar takut.
"Putri Herleva, bagiamana keadaanmu?" Tanya Pangeran Mahkota penasaran, setelah Purti Herleva menghabiskan minumannya.
"Pangeran Stephen, saya sudah sembuh," kata Putri masih bingung dengan kondisinya. Merasa tubuhnya telah kembali sehat seperti sedia kala.
"Benarkan? Kau benar-benar sudah sembuh? Syukurlah," lalu pengantin baru itu saling berpelukan.
Aku menatap ibu meminta penjelasan, bagaimana sang putri bisa sembuh secepat itu? Apa karena ramuan yang ibu buat untuknya? Akan tetapi, dari ekspresi terkejut yang ia tunjukan, sepertinya ibu juga memiliki pertanyaan yang sama denganku.
Bersambung ....
Akhirnya ketemu pangeran ....
Vote please ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro