Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Wabah


Keesokan harinya, sebuah kabar duka membuyarkan suasana pesta di desa Michingan dengan begitu mudah. Bertepatan dengan pernikahan kerajaan yang spektakulier. Sebuah rumah keluarga bangsawan di kota Brinton yang hanya berjarak 3 km dari desa tempat tinggalku, mendadak ramai disambangi banyak orang. Kematian mendadakseluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah di jalan Avenue No. 9 Kota Brinton, menjadi topik hangat di kota itu, bahkan di desa kami.

Itu belum selesai. Beberapa hari kemudian para prajurit, pengunjung, maupun keluarga yang nekat masuk ke dalam, tiba-tiba meninggal dengan cara yang sama. Mereka mengeluhkan sesak nafas untuk beberapa hari, dan meninggal dengan damai sehari kemudian.

Peristiwa itu membuat seluruh desa penasaran dan berbodong-bondong datang ke Kota. Aku dan Edmund pun tidak ingin ketinggalan untuk mengetahuinya. Kami berangkat subuh, dan sampai di sana pagi menjelang siang. Banyak orang telah berdiri dalam jarak 10 meter dari tempat kejadian, tapi tidak ada yang berani mendekat lebih dari itu. Desas-desus cerita-cerita aneh pun terdengar dari tiap kerumunan dengan versi berbeda. Ada yang mengatakan rumah itu berhantu, keluarga itu diracun, ditembak, diguna-guna, dikutuk, dan masih banyak lagi.

Tapi satu hal yang membuatku menyesal karena datang melihat dan mengetahui tentang rumah kutukan itu. Adalah rumah tempat aku menjual Cermin ajaib setahun yang lalu.

"Ada apa Claudia?" tanya Edmund saat mengetahui perubahan ekspresiku.

"Tidak ada apa-apa," aku berbohong.

Lalu samar-samar aku mendegar sebuah percakapan dari para warga yang berkerumul di belakang kami.

"Sekarang bahkan para tetangganya telah pindah dari rumah mereka. Wabah itu meluas sampai pada rumah di sampingnya."

"Iya, aku juga mendengar kabar bahwa banyak keluarga bangsawan yang memutuskan pindah rumah atau mengungsi ke rumah kerabat setelah kejadian ini terjadi."

Aku bergidik ngeri mendengar penjelasan mereka. Berpikir keras tentang wabah yang kini menyebar lewat udara. Tapi aku juga telah bertemu hal mengerikan saat tiba di sini. Aku melihat penampakan aura gelap sejenis kabut, melingkupi kediaman tempat keluarga itu tewas, walau hanya sebentar dan kemudian lenyap begitu saja. Akan tetapi kesimpulanku, menujukan sesuatu yang luar biasa telah terjadi di sana.

Kemudian, seorang laki-laki terlihat keluar dari rumah yang terletak tiga deret dari rumah kutukan. Ia berdiri kesusahan sambil memegangi dadanya, berjalan dengan nafas sesak tersengal, dan menggapai-gapai udara untuk meminta pertolongan pada kerumunan yang hanya menyaksikan dirinya ambruk di tengah jalan sepi, tanpa ada yang menanggapi. Semua orang terdiam, dan tidak bermaksud memberi bantuan. Bahkan seseorang yang tepat berdiri di depanya pun langsung pergi, takut terinfeksi sesuatu yang mungkin menular lewat sentuhan.

Sedangkan aku terlalu penasaran untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Ed, aku akan memerikasa kondisi pria itu. Tunggulaah di sini," kataku singkat dan langsung pergi.

"Tapi—," Edmund berkata saat aku hampir sampai di depan sang pria.

Aku melihat kondisi sang pria yang mengenaskan,ketika telah sampai di depanya. Matanya merah, nafas yang tersengal, dengan dengkur khas seseorang yang hampir mati.

Aku terlalu penasaran untuk berfikir resiko yang menunggu, setelah menyentuh pria sekarat ini. Tapi juga tidak bisa berdiam diri saat menyadari kemungkinan untuk bisa menyelamatkan sebuah nyawa. Aku mulai mengumpulkan seluruh energi, kemudian mengentuh dada sang pria untuk mengetahui kondisinya.

Aku melihatnya. Sebuah aura gelap yang benar-benar pekat menyelimuti permukaan tubuh pria itu. Seperti yang ku lihat pada rumah kutukan, kabut hitam itu hanya muncul sekejab sebelum hilang kembali.

Sang pria tiba-tiba berdiri kokoh, memandang tubuhnya sendiri dengan heran.Merasakan nafasnya yang longgar dan kesembuhan yang tiba-tiba. Seperti telah mendapat mukjizat dari Tuhan untuk kesempatan hidup yang kedua. Ia langsung bersorak lari dan melompat-lompat pergi.

Aku yang tidak mengerti tentang apa yang baru saja terjadi, memutuskan kembali pada posisi sebelum aku meninggalkan Edmund bersama kerumunan. Semua orang yang melihat kejadian itu memberikan tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang kagum, ada yang curiga, dan ada juga yang penasaran. Tapi aku bersyukur tidak ada satupun dari mereka yang mencoba bertanya tentang hal itu. Karena aku sendiri juga tidak tahu apa jawabannya.

Aku mencapai tempat Edmund berdiri. Ia mengawasiku dengan tatapan yang aku tafsirkan sebagai kekecewaan. Tapi aku masih tetap berterimakasih padanya, untuk tidak menjauhiku setelah kejadian penyelamatan itu. Karena para warga yang tadi ada di belakang kami, tiba-tiba pergi saat melihatku mendatangi mereka.

Situasi saat kami pulang tidak jauh lebih baik dibanding setelah ia melihatku melakukan tindakan heroik yang menurutnya tidak perlu. Edmund masih marah pada tindakan gegabah yang aku lakukan untuk pria yang tidak aku kenal. Dan memperbesar kesempatanku untuk tertular wabah yang belum di ketahui penyebab maupun penawarnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Edmund di tengah perjalanan pulang.

"Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya memeriksanya, dan dia langsung sembuh," kataku, apa adanya.

"Teruskan saja kebohonganmu itu," Edmund memancing pertengkaran.

"Apa yang kau maksud dengan aku berbohong?"

"Iya. Kau menyembuhkanya dengan ilmu sihirmu bukan?" tuduhnya.

"Kalau iya kenapa? Aku adalah penyihir yang menyembhkan orang-orang." aku mencoba membela diri.

"Ilmu sihir tidak pernah baik Claudia," Edmund lagi-lagi menggunakan argumen itu.

Edmund tidak pernah suka aku menjadi seorang penyihir. Ia merasa semua orang yang berhubungan dengan ilmu hitam adalah jahat. Sehingga beberapa kali ia pernah membujukku untuk tidak lagi menekuni profesiku itu.

"Apa kau melihatku sebagai orang yang tidak baik," bujukku untuk kesekian kali.

"Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan."

"Kau bermaksud mengatakan—aku akan berubah jahat nanti?"

Edmund diam. Mata hijaunya menatap jalan yang kami lalui dengan fokus yang dipaksakan. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Ia mungkin tidak ingin membahas topik yang sama berkali-kali. Sebenarnya ia hampir sama dengan kebanyakan pria yang mencintaiku, yang tidak setuju pada profesiku. Hanya saja Edmund lebih tolerir membujukku secara halus dan pelan-pelan. Bukan mereka yang hanya bisa menuntutku beralih dari jalan hidupku. Namun kali ini Edmund mungkin telah mencapai batasanya. Dan sedikit membuatku kecewa.

cup.chocochip

"Dan aura yang aku rasakan sangat kuat bu. Hitam pekat dan menakutkan. Tapi hanya sesaat kemudian hilang lenyap," aku mengakhiri cerita tentang apa yang terjadi selama perjalananku di Kota Brinton.

Ibu menatapku dengan penasaran. Kami sempat beradu debat siapa yang akan bercerita terlebih dahulu, karena sama-sama ingin menyatakan sesuatu. Tapi saat aku selesai bercerita ia malah diam, tidak berbicara.

"Kau tahu Tuan Frank?" Ibu memulai.

Aku mengangguk, membayangkan Tuan Frank yang 3 hari yang lalu ku temui di pesta, dan toko roti di pojok kampung yang selalu lairs di pagi hari.

"Dia meninggal tadi pagi oleh gejala yang sama," ibu berkata dalam penyesalan.

"Oh Tuhan, wabahnya telah menyebar kemari?" Menatap ibu memita kepastian.

"Tuan Frank menginap sehari di rumah saudaranya di Brinton. Kemudian pulang membawa penyakit. Saat ini warga sedang berunding apa yang harus dilakukan pada mayat Tuan Frank. Karena mereka tidak ingin tertular saat meyentuhnya."

Sedikit terlalu sadis menurutku. Tuan Frank adalah salah satu warga desa, tapi mereka memperlakukanya seolah ia orang asing yang meninggal di wilayah kami. Menolak memakamkannya, banar-benar mengesahkan Tuan Frank tidak berarti apa-apa di mata warga desa.

Aku beralih menatap wajah ibu yang terlihat lebih muda. Ibuku berusia 30 tahun, yang berarti melahirkanku pada usia ke 15 tahunnya. Kami bercerita masalah kami bukan seperti seorang ibu dan anak, tapi hampir seperti seorang sahabat. Mendalami dan menyukai hal yang sama, membuat ibuku juga menganggapku seperti teman sebaya. Dan aku menyukainya.

"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanyaku. Meminta pendapat.

Ibu sejenak membuang muka. Menatap jendela kaca berdebu yang sudah lama tidak kubersihkan. Menjaga kebersiahan rumah adalah tugas para gadis muda, dan pasti ibu akan segera menyalahkanku kalau kami tidak dalam situasi seperti ini.

"Ayo kita pergi," katanya, menyadarkanku dari lamunan.

"Kemana bu?" Aku penasaran. Apa kami akan pergi ke puncak Himalaya lagi. Setidaknya itu harapanku.

"Ke istana," jawabnya membangunkanku dari mimpi,"mereka mengadakan saembara. Tabib dari luar istana yang berhasil menyembuhkan putri mahkota akan dijadikan Tabib kerajaan,"

"Putri mahkota sakit?"

"Tepat setelah hari pernikahan," jawab ibu langsung pada ku."dan gejalanya seperti wabah di kota Brinton," lanjutnya.

Aku berpikir keras pada semua yang terjadi. Semua kejadian besar yang akhir-akhir ini menimpa rakyat Velian benar-benar berasal dari wabah misterius yang tiba-tiba menyerang. Sebenarnya apa penyebab wabah ini? Dan kenapa harus dimulai dari sebuah kediaman bangsawan yang ada di Kota Brinton?

"Em... apa ibu tahu, tentang rumah bangsawan tempat wabah ini berasal?" tanyaku ragu-ragu.

Tatapan peringatan ibu tertuju padaku, sebelum ia mengatakan sebuah permohonan.

"Aku tahu, dan kumohon jangan mengatakan apapun tentang benda itu, pada siapapun!"

Akubergidik ngeri. Mengetahui sesuatu yang mungkin menyebabkan semua peristiwa initerjadi. Ibuku yang ternyata memilki pendapat yang sama, membuatku lebih yakindengan teori yang terbersit sejak kepulanganku dari kota.    

Bersambung ....

vote please ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro