
22. Hari Pertama di Rumah
Cincin yang selama ini disimpan Ummi Amel yang ditemukannya di samping bayi Qonita adalah palsu. Qumi menyadarinya saat suatu hari, dia membawa cincin berbaret nama Kuni tersebut ke Mbok Rum, pengrajin emas yang dulu membuat, sekaligus menghadiahkannya kepada Ummi Amel untuk Si Kembar.
Saat diteliti Mbok Rum, dari material, lingkar cincin, motif, semuanya sama, tetapi tedapat satu perbedaan; yaitu size tulisan Kuni yang berbeda dari yang asli. Yang palsu memiliki size lebih tebal setengah milimeter dari yang asli.
Awalnya Qumi tidaklah percaya, tetapi begitu dibandingkan dengan cincin size tulisan Qumi miliknya yang secara jeli diamati, nyatanya memang benar adanya. Tulisan cicin Kuni yang palsu size-nya lebih lebar dari miliknya, padahal seharusnya memiliki size yang sama.
Qumi berpikir panjang perihal bagaimana cara menemukan adiknya. Dia mengambil peluang mencari Kuni lewat panti asuhan. Lewat bantuan Tika, sahabatnya yang tergabung dalam komunitas Rumah Kita, sebuah komunitas yang menyalurkan volunteer ke panti asuhan di Surabaya dan memiliki jangkauan cukup luas dengan panti asuhan lain di Jawa.
Cukup lama Qumi untuk menemukan hal yang dirinya cari. Hingga pada akhirnya, di tengah malam, dia mendapatkan telepon dari Tika.
"Ngampuro, Qum. Aku telpon sampean larut malam," ujar Tika dari seberang telepon, nadanya kentara rikuh.
(Maaf, Qum. Aku telpon kamu larut malam)
"Ora popo, Tik. Ono opo, pasti penting banget toh?" Qumi membenah letak duduk bersilanya di atas petiduran.
(Nggak apa-apa, Tik. Ada apa, pasti penting banget 'kan?)
"Iyo, Qum. Penting banget. Kabar apik. Panti Asuhan Asih Ibu nang Tangerang, sekitar 20 taun silam, ono bayi sing ketemu bareng cincin berbaret Kuni nang kono." Tanpa basa-basi, Tika langsung memberikan informasi penting tersebut yang sudah beberapa minggu Qumi cari.
(Iya, Qum. Penting banget. Kabar baik. Panti Asuhan Asih Ibu di Tangerang, sekitar 20 tahun silam, ada bayi yang ditemukan bersama cincin berbaret Kuni di sana)
Esok harinya, Qumi langsung menghubungi via online nomor ibu panti asuhan Asih Ibu untuk memastikan kembali informasi yang Tika dapatkan, hingga membuat janji temu. Namun, sebelum hari H janji temu itu tiba, Qumi lebih dahulu dibawa pulang oleh-Nya.
"Mbakyu-mu ini begitu sayangnya sama kamu, Nduk. Nanti sore kita ziarah bareng ke makam Mbakyu-mu," kata Ummi Amel, setelah menceritakan perihal Qumi dengan pencariannya mencari Kuni, sejauh beliau tahu lewat cerita Mbok Rum dan Tika karena Qumi masih merahasiakan hal itu darinya.
Qumi merahasiakan fakta dan pencariannya mencari Kuni dari kedua orangtuanya adalah untuk nanti, dia hendak memberi kebenarannya setelah dia benar-benar menemukan jejak Kuni di masa kini.
Kedua mata belo Queen berair. Kepalanya mengangguk. Ummi Amel merangkul Queen hangat.
Perasaan Queen begitu penuh oleh rasa bahagia dan syukur. Entahlah, sulit menjabarkan detail bagaimana kebahagiaan yang dirinya miliki sekarang. Kebahagiaan yang nyaris mustahil dirinya dapatkan, begitu yang dirinya terka di hari-hari sebelumnya.
Dulu, Queen memang kerap melambungkan doa untuk pengabulan harapan seperti yang sekarang dirinya rasakan. Dia marah karena tak kunjung diijabahkan, hingga putus asa berhenti menengadah. Namun, walau terus dibawa waktu yang bergulir, semakin lama saja, bahkan hingga sosok hamba lupa akan doanya, Allah tak penah lupa akan doa-doa hamba-Nya.
"Lalu kenapa nama di cincin itu Kuni, sedangkan namaku yang sekarang dikenal dengan Qonita, Ma?" Queen mencari tahu perihal kebingungannya begitu nama aslinya adalah Qonita.
Seutas senyum singgah di bibir Ummi Amel begitu dilepas pelukannya.
"Karena dulu, Mama pernah curhat sama Mbok Rum setelah USG kalau bayi Mama kembar perempuan dan rencananya mau dinamai Qumi dan Kuni, tetapi begitu lahir, Abah memutuskan menamai kamu Qonita, Nduk. Dan Mbok Rum, ternyata sudah membuatkan cincin couple itu jauh hari." Sebelah tangan mengelus pucuk kepala Queen. Disambut lengkungan sabit di bibir ranum Queen.
***
Queen yang kini mengenakan gamis warna salem, memandang piring tumis pare dan ikan kembung di depannya dengan penuh antusias. Kepulangannya ke rumah disambut dengan begitu hangatnya, hingga Mamanya membuat menu spesial untuknya. Tumis pare dan ikan kembung adalah menu kesukaannya.
"Matur nuwun, sudah memasakkan memu spesial untukku, Ma. Aku udah nggak sabar ingin segera menyantapnya," kata Queen dengan roman mukanya kentara semringah, sinar matanya berpendar indah.
"Mama senang dengarnya, Nduk. Ayok segera dimakan." Setelah mengambil nasi untuk Abah Mufid, beliau gesit mengambil nasi untuk Queen.
Queen mengambil tumis pare begitu piringnya terisi oleh nasi, lantas mengambil lauk ikan kembung dengan hati-hati. Mulai menikmati hidangan tersebut dengan penuh kenikmatan usai doa sebelum makan dilafadzkan dalam hati.
"Tapi maafkan Mama ya, Nduk. Soalnya tumis parenya sedikit pahit," maaf Ummi Amel.
"Nggak apa-apa kok, Ma. Ini udah enak banget. Aku suka, malah langsung pengen nambah." Bukan lelucon, Queen jujur perkara nambah dan enak, buktinya, tumis pare di piringnya sudah tinggal separuh.
"Maklum, ini kali pertama Mama kamu masak lagi." Ummi Amel mengambil lauk ikan kembung untuknya.
"Hm, memangnya kapan kali terakhir Mama masak?" Dengan mulut masih penuh oleh nasi dan tumis pare, Queen antusias menanyakan hal itu.
"Sudah lama sekali. Kali terakhir Mama masak ya saat pengantin baru, begitu mengandung kamu sama Mbakyumu, Mama nggak pernah masak lagi," sahut Ummi Amel usai merapalkan doa sebelum makan, "Memang dari dulu, Mama nggak pintar masak tumis pare, selalu ada rasa pahit-pahitnya. Tapi alhamdulillah, Abah nggak pernah komplain, selalu menghabiskan tumis pare Mama."
Edaran mata Queen beralih ke arah Abah Mufid, melontarkan senyum.
"Tapi walau kerasa pahitnya, memang tetap enak rasanya toh, Um. Makanya Abah selalu boros nasi kalau Ummi lagi masak tumis pare, soalnya pengen tambah lagi, tambah lagi."
Wajah Ummi Amel berpendar pancarona, "Matur nuwun, Bah."
Queen pun mengangguk setuju setelah Abah Mufid meminta pendapatnya, "Bener toh, Nduk. Masakan masakan tumis pare Ummi memang lezat banget?"
Mereka bertiga melanjutkan makan sore dengan hangat. Jamur krispi, tempe goreng, sambal petis, tumis kangkung, ayam goreng, hingga rawon pun menjadi pelengkap hidangan spesial untuk Queen.
Waktu terus berjalan, sore hari Queen ditutup dengan ziarah ke makam Qumi yang berada di pemakaman keluarga besar Manarul Huda.
Semburat jingga melatar belakangi langit Tuban, menyiratkan kedamaian di ujung senja dengan warna hangat yang merona di ufuk barat, menciptakan panorama yang menakjubkan. Di tengah suasana itu, kicauan riang burung-burung piaraan memecah keheningan, disertai gemericik air mancur di kolam belakang rumah yang menambah daya tarik alami sore hari.
Tiba-tiba, terdengar suara denting bel rumah yang mengindikasikan kedatangan seorang tamu. Seorang wanita paruh baya dengan gaya narsistik, mengenakan sandal heels merah, midi dress floral, kutek merah mengkilap di setiap kuku tangan, berdebar-debar menunggu Si Empunya Rumah membukakan pintu.
Tak berselang lama, Ummi Amel terpana melihat sosok itu begitu beliau membukakan pintu. Seperti merasa mengenali, tetapi tidak bisa mengingat siapa.
Tanpa menunggu lama, tamu itu memperkenalkan diri dengan ramah, "Halo, Bu. Saya Sani, Ners yang dulu jaga bayi ibu."
Jantung Ummi Amel berpacu rancu.
Kumandang adzan terdengar syahdu dari Masjid Manarul Huda.
____________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro