11. Dijenguk Ammar & Nurul
Hari terus berlalu. Jika waktu berjalan terasa merangkak bagi Helmy atas kesedihan kepergian Qumi, bagi Queen justru waktu bergulir begitu cepat bagai berlari.
"Queen, ada yang jenguk kamu."
Dewi menyampaikan kabar super mengejutkan, hingga melebarkan kedua mata Sana.
Ada yang jenguk Queen?
Siapa? Begitu maksud tatapan Sana pada Dewi. Dia tengah melipat selemari pakaiannya yang awalnya berantakan bak sehabis terkena angin ribut.
Pemilik nama malah tak dengar sama sekali, Queen molor tidur di pojokan kamar. Begitu selesai roan--alis kerja bakti--dia kelelahan, berakhir tidur nyenyak tanpa peduli lagi yang katanya hendak menyempatkan mandi.
"Queen, ada yang jenguk kamu," ulang Dewi begitu lolos mendekati Queen, menoeli kemeja salur yang Queen kenakan.
"Ada yang jenguk aku? Siapa, Mbak?" cicit Queen dengan malas, nyawanya setengah sadar.
Dewi menghela napas. Dia juga tidak tahu siapa yang menjenguk Queen, hanya diamanati Ummi Maftuhah untuk mengabari santriwati baru ini bahwa ada yang menjenguk, lantas Queen disuruh untuk ke ndalem agar segera menemui yang menjenguk.
"Mbak juga nggak tahu. Intinya ada yang jenguk kamu dan sekarang kamu didawuhi Ummi buat ke ndalem nemuin yang jenguk kamu itu."
Queen mencoba mencerna omongan Dewi. Setelah bergeming dan dipikir lagi, agaknya dia tahu siapa gerangan yang menjenguknya.
Adalah Ammar yang menjenguknya. Dan dugaannya benar usai dia memastikan dengan menemui Si Penjenguk di ndalem.
Ammar dengan istrinya; Nurul.
"Maaf, kami telat jenguk kamu. Cari waktu yang pasnya baru ketemu sekarang, Queen," maaf Ammar begitu Queen bergabung di ruang tamu ndalem.
"Iya, nggak apa-apa, Akhi," jawab Queen atas permintaan Ammar yang mulur menjenguknya sampai 3 harian, "Akhirnya kamu jenguk aku, itu juga udah buat aku seneng banget kok."
Di tempat duduknya, Ammar meringis. "Maaf ya?"
Kepala Queen yang berhijab nila pun mengangguk.
"Oh iya, perkenalan, ini istriku, Queen. " Atensi Ammar teralihkan, mengenalkan sosok wanita mungil di sampingnya. Sang istri tercinta; Nurul.
Queen dan Nurul pun berkenalan. Lantas mengobrol ringan.
Hari ahad, seperti biasa, pesantren Bustanul Hidayah ramai oleh para wali santri menjenguk putra-putri mereka. Bercengkerama sejenak melepas rindu, mengobrol ringan, memberi sangu dan jajan, hingga satu-dua meminta izin pengasuh pesantren untuk membawa buah hati mereka keluar dari gerbang penjara suci sejenak, mengisi waktu kebersamaan dengan makan-makan di luar atau ke supermarket, membeli makanan ringan dan kebutuhan sehari-hari seperti persediaan odol dan sabun.
Pun sama layaknya santri kebanyakan, Queen diajak Ammar dan Nurul keluar pesantren sebentar, membawa Queen ke supermarket untuk membeli sesuatu.
"Kayaknya ini cocok buat kamu," kata Nurul begitu melihat tunik abu-abu, tampak manis.
Edaran mata Queen yang dari tadi melirik bagian rok, kini beralih ke arah baju-baju tunik.
Model tuniknya agak gemoy, modelnya rampel, berkesan layaknya baby doll dress. Style begituan cukup cocok untuk Queen.
"Ini aja, Queen. Bagus buat kamu." Ammar ikuta-ikutan memilihkan baju untuk Queen, enggan mau ketinggalan oleh Nurul.
Abaya hitam dengan model 2 saku di depan. Itulah rekomendasi dari Ammar.
"Aduh, ini kurang cocok buat di pesantren. Cocoknya buat ikut pengajian di masjid, Akhi," celutuk Queen dengan muka menanggung rikuh.
Benar sekali memang, kurang cocok. Di pesantren Bustanul Hidayah, para santriwati kebanyakan berpakaian gamis model simpel, tunik, atau kemeja longgar, dan dilarang mengenakan yang berbahan kaos, pas bodi, apalagi yang transparan.
Ammar sebenernya hanya iseng memilihkan Queen model abaya. Dia juga sudah menduga Queen bakalan enggan.
"Mas, kamu ini," komentar Nurul atas perbuatan Ammar.
Si pemilik nama Ammar ini tersenyum lebar.
Akhirnya Queen memilih membeli baju yang dipilihkan Nurul. Membeli kerudung warna senada beserta rok hitam.
"Mau beli apa lagi, Queen?" tanya Nurul saat mereka bertiga puas memilih-milih pakaian buat Queen. Tak luput, dia dan Ammar membeli baju batik sarimbit.
"Udah, Mbak. Tapi ...," sahut Queen, sebenarnya dia ingin membeli sesuatu lagi, soalnya stok satu ini yang dia punya kurang banyak.
"Apa?" Kening Nurul mengkerut samar.
Tidak langsung menjawab, Queen melirik ke arah Ammar yang masih sibuk melihat-lihat kerudung.
Kesempatan karena Ammar sedang tidak memerhatikannya dengan Nurul, Queen bergegas membisiki wanita mungil itu, "Sebenarnya aku pengin beli daleman sih, Mbak. Boleh nggak?"
Queen memberi satu cengiran begitu selesai membisiki Nurul.
Sebagai sesama perempuan, Nurul jelaslah paham dengan kebutuhan amat privasi demikian yang enggan ketahuan membeli beginian oleh lelaki yang bukan apa-apanya.
Usai menjawab dengan persetujuan, Nurul mencoba segera membawa Queen ke bagian daleman setelah izin pada Ammar agar jangan membuntuti mereka berdua.
"Mau beli apa sih, Dek?" Rupanya Ammar tampak malas ditinggal seorang diri.
"Rahasia," cicit Nurul, "Pokoknya ini masalah perempuan, jadi jangan ikut ya, Mas?"
Di sebelah Nurul, Queen meringis.
Mau beli masalah perempuan? Mungkin Queen mau beli pembalut, pikir Ammar yang akhirnya melepaskan istrinya dan Queen pergi.
Alhamdulillah, Queen bisa leluasa memilih daleman, membeli beberapa pasang.
Matahari semakin terik.
Belanjaan Queen cukup banyak. Bukan hanya pakaian beserta daleman, tapi juga jajanan, hingga persediaan sabun untuk sebulan. Ditutup makan siang di Pujasera.
Helmy datang di kala Nurul dan Queen memesan menu makan siang di kedai-kedai yang ada. Tadi saat Ammar bertamu, Helmy sedang pergi, jadi baru sekarang menyusul untuk menemui Ammar. Dan ... sebenernya Helmy juga memiliki maksud lain.
Perihal lain. Masih tentang Qumi.
Perkara Qumi yang kata Abah Mufid, perempuan bermata almond itu sehari sebelum meninggal sempat meminta izin bertandang ke sebuah panti asuhan di Tangerang, entah buat apa, Abah Mufid dan istrinya juga tidak tahu; karena kata Qumi ... dia akan memastikan sesuatu dulu di sana sebelum memberi tahu suatu hal.
Itu amat membuat Helmy penasaran. Qumi hendak memastikan apa di sebuah panti asuhan di Tangerang itu?
Dan ... ini juga tentang Queen. Karena--
"Kamu tahu nggak, panti asuhan Asih Ibu di Tangerang, Kuni?" tanya Helmy, setelah Queen dan Nurul kembali, membuat Queen tertegun sejenak mendengar nama panti asuhan yang disebutkan idolanya.
Asih Ibu. Sebuah nama panti asuhan yang amat familiar terdengar di telinganya. Bahkan pikiran Queen langsung terbawa ke beberapa momen yang tersimpan apik dalam serebrumnya. Sungguh, dia paham betul tempat yang disebutkan. Tak dipungkiri karena panti asuhan Asih Ibu adalah sebuah rumah baginya di masa lalu.
Ah, Ya Allah, pikiran Queen tergelanyut pada slide-slide nostalgia. Banyak kenangan sederhana yang tersemat apik, begitu berharganya kala diingat, sampai-sampai senyuman bulan sabit hadir di bibirnya tanpa dirinya sadari.
_________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro