10. Asa Semata
Kadang sesuatu yang tampak begitu mendekat di setiap harinya, justru sebenernya menjauh perlahan-lahan hingga sampai tak ada jarak apa pun di suatu hari.
Layaknya Helmy yang dia pikir sesuatu itu yang selama ini tampak mendekat dan mendekat dari hari ke hari, justru kenyataannya malah menjauh dan semakin menjauh dari waktu ke waktu.
Pertunangannya dengan Qumi yang tinggal menghitung hari itu tidak akan pernah ada.
Pertunangannya dengan Qumi yang dirasakannya sebentar lagi terlaksana pada akhirnya berujung hanya cukup sampai di sini.
Pertunangannya dengan Qumi yang amat didambakannya ternyata hanya harapan semata tanpa ada sebuah perwujudan nyata.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." Helmy mengucap kalimat istirja itu dengan serak. Kabar dari Abah Mufid menjelang shalat isha, amat mengejutkannya.
Qumi, gadis manis yang dicintainya itu telah berpulang ke Sang Pemilik. Penyakit epilepsinya kambuh tanpa diketahui orang lain.
Keluarganya mengira Qumi yang sedang haid sedang berdzikir di kamar saat semuanya salat berjamaah, nyatanya entahlah. Kronologinya; Ummi Buna, ibundanya Qumi, masuk kamar Qumi untuk mengingatkan Qumi mengajar mengaji ba'da maghrib, justru sudah menemukan Qumi terbujur kaku di lantai kamar dengan mulut berbusa.
Qumi diduga mengalami salah satu hal yang amat dikahwatirkan penderita epilepsi; yaitu Sudden Unexpected Death in Epilepsy atau SUDEP. Sebuah kematian mendadak yang tidak disebabkan oleh kecelakaan atau tenggelam, bisa terjadi hanya dengan selama atau setelah penyidap epilepsi kejang.
Usai mendapat telepon duka dari Abah Mufid, Helmy bergegas menghaturkan kabar duka itu pada Abah dan Umminya yang baru selesai mengajar ngaji. Dia menjelaskan perihal kematian Qumi dengan kedua mata masih sembap sebab sebelumnya dia sempat menangis bisu.
Adzan isha berkumandang. Usai salat isha berjamaah, keluarga Abah Uwais bersiap-siap pergi ke Tuban, Jawa Timur.
"Omong-omong, tadi abis salat isha, kita didawuhi yasinan dulu buat siapa, Mbak Wi? Siapa yang sedo tadi?" Ning mana?" tanya Fatonah, teman kamar ndalem Queen yang begitu sampai kamar dan melepas mukenah, menyempatkan tanya soal demikian. Dia tadi ngantuk saat sehabis salat isha di mushola santriwati, jadi tatkala pengumuman dari Mbak Hikmah--lurah pondok putri--soal yasinan untuk seseorang yang baru meninggal itu, dia remang-remang mendengarnya.
"Ning Qumi, Tonah," sahut Mira, teman sekamar yang lain, "Makanya jangan ngantuk mulu."
Fatonah nyengir kuda. Dia memang terkenal ngantukan. Terkenalnya bahkan bukan hanya sekamar, malah hampir seantero pondok putri, sampai Ummi Maftuhah pun paham atas ngantukan kebangetannya itu. Saat mengaji kerap ngantuk, takror juga ngantuk, di kelas sekolah juga banyak ngantuk. Aduh, benar-benar penyakit kalau ngantukan di majelis ilmu karena bisa-bisa salah tangkap keterangan pelajaran karena setengah-setengah mendengar penjelasannya.
"Ning Qumi dari Ponpes Manarul Huda Tuban. Putri Abah Yai Mufid," jelas Sabiya, santriwati paling disiplin di kamar. Di saat yang lain sedang melepas mukenah di kamar sehabis pulang salat isha berjamaah, dia sudah mulai sibuk menjadwal pelajaran takror.
"Iya. Bener tuh kata Sabiya," jawab Dewi yang sudah diwakilkan lengkap perihal jawaban pertanyaan Fatonah.
Di pojokan, Queen malah berlagak santai tanpa dosa. Dia sudah ambruk setengah tidur dengan masih memakai mukenah lengkap. Dia tidak peduli dengan obrolan yang lagi ramai dibicarakan.
"Queen! Halo! Nggak boleh tidur sehabis solat isha," ledek Sana yang menepi ke samping Queen, menoeli bahu Queen.
"Ngantuk banget, San. Minggir deh kamu, aku mau tidur dulu," sahut Queen dengan setengah sadar, sebelah tangannya terulur, menjauhkan toelan Sana.
"Di sini sehabis isha nggak boleh tidur, Queen. Kita harus berangkat takror dulu sampai jam setengah 10." Sana menoeli baju Queen lagi yang kini menahan kantuk dengan bersimpuh sujud.
Yang lainnya menahan tawa atas polah Queen di malam pertama mondok ini.
"Apaan tuh takror?" Queen masih sempat menyahut, melihat Sana malas sembari cemberut, lalu tidur dengan posisi sujud lagi di pojokan kamar.
"Takror itu berasal dari Arab yang artinya mengulang. Tapi dalam dunia pesantren salaf biasa diistilahkan sebagai mengulang pelajaran secara bersama atau mudahnya belajar bareng gitu, sesuai kelas diniyah," jelas Sana, sesingkat dan sesimpel mungkin agar Queen mudah menangkap maksudnya.
Queen menyahut, tapi hanya deheman. "Hmm .... "
"Yuk! Berangkat takror yuk! Nanti kalo nggak berangkat kena hukuman loh." Silvi yang sudah selesai melepas mukenah ikut mendekat, meledeki Queen dengan menoeli bahu santriwati baru satu ini.
"Aku absen ya? Jugaan aku belum punya kelas diniyah," sahut Queen seraya kukuh merem.
"Biarin aku tidur, ya? Mau ngimpi pacaran sama Oppa-oppa Korea."
Sana dan Silvi saling menatap mendengar celotehan asal Queen, berujar serentak, "Astaghfirullah .... "
Mendengar jenis sahutan dua temannya ini, lolos membuat Queen tersenyum geli, mengangkat sujudnya secara suka rela, tersenyum lebar.
"Bukan itu kok. Aku malah penginnya mimpi .... " Queen sengaja menjeda kalimatnya yang belum utuh, merangkul Sana dan Silvi dengan kedua tangan, membisiki, "Ayang Helmy .... "
Perlahan, kedua mata Sana dan Silvi melebar.
Di sana, di tempatnya, Dewi menangkap bisikan Queen. Dia pun yang sudah rapi mengenakan hijab beringsut mendekati Queen yang tengah terkikik melihat komuknya wajah Sana dan Silvi yang kena mental atas ledekannya.
"Queen, kamu tahu nggak tadi kita yasinan bareng sepondok putri buat apa?" tanyanya, begitu mendekati Queen yang masih merangkul Sana dan Silvi.
"Tahu, Mbak Wi. Buat doain orang yang udah meninggal 'kan?" sahut Queen enteng.
"Siapa ya tadi namanya? Aku lupa." Sebelah tangan Queen terulur, menggaruk dagunya yang tak gatal.
Di depannya, Dewi menghembuskan napas lemah.
"Ning Qumi, Queen."
Atas penjelasan Dewi itu, Queen mengangguk. Melepas sempurna rangkulannya pada Sana.
"Kamu tahu siapa Ning Qumi ini, Queen?"
Queen menggeleng. Dia tidak begitu peduli siapa almarhumahnya. Intinya sosok itu baru saja meninggal dan dia sudah berkirim doa, bukankah itu sudah cukup untuk tidak kepo-kepo hal lain?
"Dia itu Ning yang mau lamaran sama Gus Helmy, Queen," bisik Dewi, dia memang tahu tentang Qumi yang hendak lamaran dengan Helmy karena sempat nderekaken Ummi Maftuhah membeli cincin pertunangan mereka.
Mendengar penjelasan ketua kamarnya itu, Queen yang hendak menyahuti asal omongan Dewi, seketika terbungkam. Berbalik menatap Dewi dengan tatapan kurang percaya perihal yang meninggal adalah sosok gadis yang hendak berlamaran dengan Helmy. Yang berarti ... bukankah pahlawannya sedang amat-sangat berduka?
"Mbak nggak lagi bercanda, 'kan?" Suara Queen merendah lemah.
Kepala Dewi menggeleng pelan.
"Ayo berangkat takror," rayu Dewi. Ditanggapi cenungan Queen. Malah melamun, pikirannya menjadi kacau balau, teramat iba pada Helmy.
"Iya, Mbak Wi." Akhirnya Queen menyahuti itu, bergegas bersiap-siap berangkat takror, melepas mukenah, berhijab rapi.
Queen pun berangkat takror bersama Sana. Pikirannya semrawut memikirkan betapa kasihan pahlawannya yang ditinggal mati sosok gadis yang hendak dilamarnya. Dia tidak terbayang bagaimana hancur perasaannya itu.
Di waktu yang sama saat langkah kaki Queen berjalan ke tempat takror, di tempat yang berbeda, tepatnya pelataran ndalem, mobil SUV putih yang dikendarai keluarga Abah Uwais melaju meninggalkan gerbang, siap membawa rombongan kecil beliau berlayat ke Tuban.
Di langit kelam, gemintang bertaburan indah. Namun sayangnya, keindahan kerlipan itu tak sejenak pun lolos membuat hati Helmy semringah. Pikirannya sungguh kacau balau. Batinnya terus melambungkan doa-doa terbaik untuk Qumi.
Qumi, sesosok gadis yang Helmy kira hendak menjadi istrinya, tetapi ternyata ... semua itu hanya sekedar asa semata.
_______________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro