09. Malam Pertama di Pesantren
Helmy paham benar bahwa dia haruslah memiliki rasa sabar lebih banyak untuk menghadapi Queen. Lihatlah, bisa-bisanya Queen berseru menyapanya begitu di depan Ummi Maftuhah, jelaslah hanya Queen saja sosok santriwati yang tak sesopan ini.
Namun, sekalipun Helmy tahu benar kalau Queen tidak sopan, dia masih amat maklum atas perilaku kurang beradab Queen begitu melihat ke belakang soal latar belakang Queen.
Atensi Ummi Maftuhah teralihkan mendapati polah Queen. Beliau menoleh ke belakang dan langsung menemukan putra pertamanya itu yang tengah menoleh dengan muka kaku serba salah menghadapi Queen.
"Akhi," sapa Queen lagi dengan riang. Melambaikan tangan. Hatinya berkupu-kupu membawa kegembiraan kalau rindunya terhadap Helmy terobati.
"Queen." Suara keibuan Ummi Maftuhah mengalihkan atensi Queen.
Namun, itu gagal. Queen tetap saja tebar senyum ke arah Helmy dengan wajah Helmy masih kaku bingung.
"Mbak Queen."
Mendengar panggilan kedua dengan tambahan Mbak, barulah lolos membuat Queen sadar atas polahnya.
"Iya, Ummi," sahut Queen dengan muka merikuh.
"Besok juga mulai ngaji hafalan juz amma," kata Ummi Maftuhah untuk mengalihkan atensi Queen pada Helmy sekaligus memang sebelumnya beliau lupa soal itu.
"Hafalan juz amma juga, Um? Maksudnya juz 30 itu, 'kan?" Kedua mata Queen melebar.
Seutas senyum singgah di bibir Ummi Maftuhah.
Di tempat berdirinya, Helmy menghela napas lega. Beringsut pergi--ke niat awal hendak ke aula santri putra untuk mengajar ngaji bandongan.
"Iya. Juz 30. Mulai saja pelan-pelan dari surah An-Nas, ya?"
Queen mengangguk takdzim seraya mengingat-ngingat, dulu dirinya juga pernah hafalan surah-surah pendek saat di panti asuhan mulai dari An-Nas sampai surah Ad-Dhuha.
"Buat jadwal ngajinya nanti ditanyakan ke Mbak Dewi."
Lagi. Queen mengangguk. Sempat-sempatnya juga melirik ke tempat sebelumnya Helmy berdiri, sedih karena lelaki pemilik mata teduh itu sudah tidak ada di sana. Ah, rejeki memandangnya bentar banget!
Karena Ummi Maftuhah juga harus mengajar mengaji, bukan hanya untuk menyeleksi bacaan al-Quran Queen, beliau tidak bisa berlama-lama, membiarkan Queen kembali ke asrama, berbaur bersama santriwati lain. Beliau juga memberi beberapa nasihat untuk santriwati barunya ini agar dibetah-betah mondok dan mengaji yang tekun.
Akhirnya Queen sungguh kembali ke asrama pesantren, tepatnya dia kembali ke kamar. Tapi amat tidak asyik karena kamar sepi, semua penghuninya sedang mengikuti kajian mengaji yang sedang berlangsung di aula ataupun di mushola santriwati.
Melongok ke kamar lain pun sama saja kosong. Beneran sepi, jadi merinding horor, takut tiba-tiba ada penampakan Jin Iprit atau Mbak Kunti.
Malas sendirian, usai meletakkan al-Quran di rak, tanpa tujuan pasti mau kemana, Queen nekat keluar, mencari teman yang barangkali ada yang sudah selesai mengajinya.
Langkah kakinya bergerak gelisah menyusuri lantai komplek. Angin malam berhembus begitu menyusuri tangga yang terbuka ke halaman pesantren putri. Edaran matanya menangkap para santriwati di aula sana yang tengah duduk berkumpul khidmat mengikuti kajian mengaji bandongan. Membuat Queen sedikit merasa lega atas suasana merindingnya itu hanya dengan melihat mereka di sana.
Dan, kala dia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan cukup rileks, mendadak tepukan kasar singgah di bahunya.
Sekonyong-konyong, kedua mata Belo Queen membelakak. Bibirnya membuka. Berteriak lantang.
"AAKHHH!"
***
Sial. Sana sebenarnya enggan membuat gara-gara. Dia kira umpan balik Queen atas tepukan kasar untuk mengagetkan tidaklah akan sehebat itu sampai menimbulkan teriakan lantang Queen. Tapi oh tapi, alamak, Queen menjerit begitu keras sampai-sampai sebagian santriwati di aula sana menoleh ke arah mereka.
"Queen. Ini aku; Sana!" jelas Sana sembari membekap mulut Queen yang hendak berteriak lagi seraya mencengkeram sebelah tangan Queen agar gadis ini tidak terbirit lari.
"Aduh, San! Aku kira ada jin yang jailin aku!" cicit Queen sembari napasnya masih ngos-ngosan takut.
Sana melontarkan satu cengiran pada Queen.
"Kenapa kamu ada di sini? Nggak ngaji?" selidik Queen, "Bolos ya?"
Sana berdecak enggan terima. "Aku ngaji. Enak aja dikira bolos!"
"Lalu kenapa di sini? Katanya ngaji? Udah selesai ya kelompoknya kamu?"
"Belum selesai. Cuman tadi didawuhi Ning Bita buat nemenin kamu. Biar ngajak kamu ke kelompok ngaji sesuai tingkatan kamu."
"Oh," timpal Queen. Menganggukkan kepala. Dia paham sekarang.
"Ini kitab yang dikaji sekarang." Kitab kuning Safinatun Najah yang masih baru, Sana berikan pada Queen, tak lupa beserta bol poin.
"Buku apaan nih?" Kening Queen mengkerut begitu menerima kitab kuning Safinatun Najah, membukanya dan terbelalak begitu melihat isinya menggunakan bahasa Arab tanpa harokat semua.
"Gimana aku bisa baca ginian? Udah pake bahasa Arab, tanpa harokat lagi," komentar Queen, mukanya tertekuk bingung.
Bukan memberi penjelasan atas kekhawatiran Queen, Sana justru tertawa ringan.
Kepala Queen menggeleng-geleng membuka lembar demi lembar semua halaman kitab kuning berisi bahasa Arab, tanpa harokat, tanpa makna Indonesia.
"Ini gimana aku bisa paham kalo modelan begini pake bahasa asing belajarnya?"
"Udah. Yang penting berangkat aja dulu ke kelompok ngajinya kamu yuk. Nanti bakalan tahu sistem belajarnya dan nggak bakalan bingung lagi," ajak Sana begitu melas atas kebingungan Queen.
Kedua mata belo Queen teralihkan menatap Sana. Dia setuju dengan itu. Lebih baik langsung masuk lapangan saja dari pada hatinya malah bersenandung lagu Perdamaiannya Nasida Ria; bingung-bingung kumemikirnya.
"Yuk!" sahut Queen dengan semangat.
Sekon ke depan, Sana beringsut mengajak Queen, mengantarkannya mengaji bersama santriwati lain yang sesuai tingkatan mengaji anak baru.
"Siapa yang ngajar? Akhi Helmy, bukan?"
"Bukan. Ning Bita yang ngajar."
"Yah! Kurang semangat!"
Sana menahan tawa di sela berjalan mereka ke majelis mengaji yang masih cukup jauh.
"Kamu mah Gus Helmy mulu. Naksir, ya?" ledek Sana. Menoel bahu Queen.
Tanpa malu-malu, Queen mengangguk. Membuat Sana terbatuk-batuk. Bukan terbatuk sebab Queen yang terlalu jujur, melainkan sebab rival Queen itu banyak banget; banyak santriwati yang naksir atau sekedar mengidola pria dewasa satu ini.
Angin malam berhembus. Gemintang menghiasi langit kelam Pesantren Bustanul Hidayah.
Queen ikut kajian mengaji Safinatun Najah yang diajar Bita dengan khidmat, walau satu-dua kali dia menguap, mengantuk berat.
Waktu terus berlalu. Helmy selesai juga mengajar kitab Fathul Mu'in. Dia kembali ke ndalem seraya sebelah tangannya membawa kitab kuning yang diajarkannya dari karya Syekh Zainuddin al-Malibari.
Sembari berisitirahat sejenak seraya menunggu adzan Isha, Helmy duduk di sofa di ruang keluarga. Dia menyempatkan menilik ponselnya, mengintip WhatsApp yang barangkali memiliki pesan masuk yang penting.
Terdapat chat dari Ammar. Menanyakan kabar Queen di malam pertamanya gadis itu di penjara suci.
Jemari Helmy mulai mengetik balasan. Tetapi tertahan begitu saja begitu panggilan suara masuk.
Sebuah panggilan suara dari Abah Mufid yang tak lain adalah Abahnya Qumi.
Panggilan masuk, di mana usai beberapa detik ke depan, kembangan senyum Helmy perlahan memudar kala dia mendengar sebuah kabar.
Perihal kabar tentang Qumi.
Kabar di luar atensinya yang teramat jauh. Hingga berhasil membuat Helmy seperti orang linglung kala mendengarkannya.
Kabar itu ....
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
_____________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro