Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB I

Fata viam invenient.
Fate will find a way - Virgil.

***

Mataku mengerjap, mencoba menyesuaikan intensitas masuknya cahaya ke dalam pupil hitam yang memang sudah tugasnya untuk membantu retina meneruskan rangsangan. Aku masih ingin tertidur, sejujurnya. Namun, bising yang menggangu tak dapat terelakkan. Jiwaku ditarik paksa dari kedamaian yang tadi menghinggap sebentar.

Suara dua orangㅡhanya sebuah perkiraankuㅡitu tidak kunjung berhenti berbincang.

"Apakah kali ini berhasil?" ucap salah seorang.

Tidak ada lagi balasan untuk sementara. Sayup-sayup terdengar benturan dua benda yangㅡlagi-lagi, masih perkiraankuㅡberbahan dasar besi. Seperti dentingan pedang dalam film perang.

"Entahlah." Jawaban itu terdengar payah, dalam artian penuh dengan keraguan. Namun, suaranya terdengar lebih berat daripada yang bersuara sebelumnya. "Seharusnya ... ya, seharusnya berhasil."

Kali ini, aku mendengar deham. Gugup, sepertinya. "Jika tidak ... apakah ... apaㅡ"

"Tunggu!" sela si suara berat.

Sejujurnya, aku betul tidak mengingat apa pun sebelum tertidur dan siapa mereka yang berbicara sejak tadi. Suaranya terdengar asing dan bagaimana mungkin mereka berada di kamarku?

Tunggu ... asing? Di kamarku?

Aku sontak membuka mata seraya menegakkan badan, bermaksud bersiap jika aku harus memberi perlawanan, atau sesuatu seperti itu. Mataku menelisik, menatap curiga dua orang berpakaian aneh di hadapanku.

Embusan kasar langsung saja kulontarkan begitu detik ketiga terlewati setelah saling menatap. Benar dugaanku, terdapat dua orang.

Sudah kuduga. Ternyata, hanya sebuah kepanikan yang tidak berguna.

"Ugh. Aku masih bermimpi," ucapku bermonolog selagi menyamankan diri untuk kembali mendapatkan ketenangan. Ya, semacam tidur di dalam tidur, kalau itu masuk akal.

Tidak sulit untuk membedakan mana mimpi dan kenyataan untukku akhir-akhir ini. Aku selalu bermimpi tentang padang luas, pohon menjulang tinggi, suara alam khas hutan yangㅡkalau boleh jujurㅡtidak menakutkan. Juga, tentang orang-orang berpakaian aneh dan kerajaan berpilar megah. Persis seperti buku fiksi bertema kerajaan dengan kisah romansa putri kerajaan dan kekasihnya yang kubaca di waktu luang.

"Alea?" Alunan dari si suara beratㅡyang sejujurnya aku akan sangat bersyukur jika dapat mendengarkannya setiap hariㅡmenyambangi gendang telingaku. Membuat lagi-lagi kesadaranku kembali. Benar-benar menyebalkan.

Mataku terbuka, menatap tepat di iris kecokelatan lelaki tampan ituㅡini bukan ungkapan hiperbolaㅡyang turut diikuti dengan sedikit desisan yang dikeluarkan tanpa dapat kutahan.

Biar aku jelaskan mengapa kukatakan bahwa lelaki ini tampan, terutama si suara berat. Pernah membaca deskripsi tentang keturanan dewa-dewi Yunani? Dengan pahatan wajah sempurna dan postur tubuh gagah, tepat jika aku membayangkan lelaki di hadapanku ini sebagai keturunan dewa-dewi yunani yang pernah kubaca.

Diaㅡsi suara beratㅡmemakai baju cokelat tua dengan motif berwarna emas di leher, lengan, dan di bagian bawah. Dilengkapi pula dengan ikat pinggang hitam bermotif khas yang melingkari pinggul.

Begitu pula dengan si lawan bicara. Hanya saja ia menggunakan baju yang berwarna hijau dan tanpa ikat pinggang.

Kalau dibandingkan, postur si suara berat terlihat sangat proporsional. Bukannya mengatakan bahwa si baju hijau buruk rupa, hanya saja ... tidak seimbang jika aku harus membandingkan mereka.

"Halo! Apakah kau ada di sini?"

Aku sontak terkaget begitu melihat si baju hijau bersuara tepat didekatku.

Tanpa membalas pertanyaannya, aku hanya menatap bingung, masih belum sadar akibat terlalu fokus memperhatikan mereka.

Dia kemudian menatap ke arah si suara berat.

"Apakah masih belum berhasil? Haruskah kita mencoba cara lain?" suaranya terdengar putus asa.

Kali ini aku benar-benar penasaran, "Sebenarnya, keberhasilan apa yang kalian bicarakan?" Juga tidak mau menjadi bodoh sendirian.

Di luar ekspektasiku, dua orang tadi menunjukkan raut terkaget, seakan sesuatu luar biasa baru saja terjadi. Bahkan si baju hijau harus sedikit terlonjak dengan mata membola.

Apa ada yang salah? Sekarang, rasa kepercayaan diriku yang diuji. Reaksi mereka sangat berlebihan, kalau aku boleh beropini.

Keterkejutanku berlanjut begitu lengkingan suara diikuti teriak kompak keluar dari kedua lelaki itu.

"Berhasil, Ed! Kita berhasil!" seru si baju hijau seraya memeluk si suara berat.

Tak kalah, si suara berat pun ikut heboh dengan memeluk eratㅡaku yakin itu cukup menyesakkanㅡdiikuti dengan sedikit menggoncangkan badan si baju hijau.

Apakah tidak ada dari mereka yang berniat menjawab pertanyaanku? Karena aku benar-benar merasa bodoh sekarang.

***

"Baiklah. Aksi heroik apa yang harus aku lakukan kali ini?" tanyaku mencoba keluar dari situasi menyebalkan sejak beberapa menit lalu.

Setelah melihat aksi berpelukan mereka yang cukup lama, kedua orang itu kemudian terdiam dan menatap intens padaku. Kalau di dalam film-film perang, semacam prajurit yang menunggu perintah komandan.

Dan jangan tanya mengapa aku langsung bertanya mengenai aksi heroik. Mimpiku dua hari berturut-turut kemarin cukup melelahkan. Tiba-tiba saja aku berlari menyusuri hutan luas, entah untuk menghindari apa. Hanya saja aku tahu aku harus tetap berlari hingga alarm pagi membangunkanku dari tidur.

Kedua lelaki itu saling berpandangan sebelum si suara berat berbicara, "Well, memang ada aksi heroik yang harus kau lakukan, Ratu."

Kalau aku sedang minum, adegan selanjutnya pasti aku akan tersedak akibat terkejut dengan panggilan si suara berat padaku. Tapi, masa bodoh. Mimpiku memang penuh imajinasi akhir-akhir ini.

Aku merenggangkan tubuh. Rasa gatal juga memaksaku menjilati beberapa bagian tubuhku. Jangan kaget, aku memang selalu bermimpi sebagai seekor kucing. Aku menyadari itu beberapa minggu setelah mendapatkan mimpi yang sama berulang kali. 

Tepat saat aku bermimpi dikejar dua orang berbadan besar dengan baju khas prajurit kerajaan. Memang dua orang tidak terlihat banyak, tapi percayalah dalam kacamata seekor kucing, dua orang benar-benar terlihat menakutkan. Apalagi saat itu diriku harus terpojok sebelum akhirnya terbangun, tentu dengan kinerja jantung yang masih belum stabil.

Aku tahu aku bukanlah sesosok manusia karena dua prajurit itu mengajakku berbicara seolah mengajak seekor kucing berbicaraㅡaku akan tertawa jika saja keadaannya tidak semenakutkan itu.

"Mari kita lakukan sebelum aku kembali terbangun," ucapku dengan percaya diri. Aku sudah cukup beradaptasi dengan apa yang terjadi. Toh, di akhir nanti aku akan terbangun, lagi dan lagi.

***

Saat ini, kami bertiga sedang mengintai kerajaan yang secara samar selalu ada dalam mimpiku. Ketika kedua lelaki itu sibuk berdiskusiㅡatau bisa disebut berdebat?ㅡtentang hal yang entah aku tidak mengerti apa, aku memutuskan untuk mengabadikan apa yang kulihat sekarang ini dengan mata kepalaku sendiri. Sehingga saat terbangun nanti, aku tak lagi melupakannya. Karena sungguh, sebuah keindahan yang sangat sayang jika dilupakan.

Tidak seperti bayanganku di mana kerajaan akan ramai dikelilingi prajurit yang bersiaga, Kerajaan Moritusㅡbegitu si suara berat menyebutnya tadiㅡterlihat tenang. Di mana pun mata memandang, aku tidak bisa melihat tanda-tanda kehidupan.

Kalau saja si suara berat tidak menceritakan ke mana kita akan pergi tadi, mungkin aku sudah mengira ini sebagai rumahㅡamat sangatㅡmewah yang tak berpenghuni.

"Kenapa sepi sekali?"

"Ini hari sakral di Kerajaan Moritus. Semua penghuni, termasukㅡ" dia terbatuk sebentar, "ㅡya, Ratu, dan prajurit serta pengabdi kerajaan sedang melakukan ritual untuk tetap menjaga kerajaan di bawah perlindungan para leluhur."

"Apakah aman jika ditinggal dalam keadaan sepi begini?" Kepalaku menoleh, masih belum puas akan jawaban dari si suara berat.

"Well, seharusnya tetap ada penjaga yang berjaga, walau tidak seketat biasanya. Toh, para leluhur terkhusus di hari ini, akan memberikan segala atensi mereka untuk menghalau bahaya bagi kerajaan."

"Begitulah kepercayaan kami," celetuk si baju hijau.

Aku mengangguk, menerima alasan dari mereka. "Jadi, kita akan masuk?" 

Pertanyaan itu sudah sejak tadi menghantuiku. Maksudku, apa gunanya memata-matai jika tidak menyambangi, bukan? Bohong jika aku tidak penasaran akan bagaimana isi kerajaan megah ini. Setidaknya sekali dari sekian mimpiku, aku harus bisa masuk ke dalam kerajaan.

Seakan ikut penasaran tentang pertanyaanku, si baju hijau pun turut memandang si suara berat, menunggu balasan.

Di sisi lain, si suara berat terlihat gugup, bola matanya bekerja lebih cepat untuk memindai seluruh kerajaan.

"Ha-haruskah?" bisiknya.

Baiklah, ini saatnya aku mengambil peran penting. "Ayo kita masuk! Dan kita lihat apa yang kita dapatkan atau apa pun itu yang kalian cari."

Keempat kakiku melangkah memasuki gerbang, berjalan santai seakan aku sudah terbiasa berjalan di sini.

"He-hei! Hei! Tunggu kami!" seruan setengah berteriak diikuti hentakan kaki seperti berlari samar kudengar mengikuti aksiku yang akan masuk ke pintu di hadapanku.

Pintu ini tidak terlihat seperti pintu utama kerajaan. Mungkin salah satu dari beberapa pintu yang ada di kerajaan ini.

Baru saja saat akan melangkah lebih jauh, aku merasakan kakiku tidak lagi memijak tanah. Badanku kini berada dalam gendongan si suara berat, lengkap diikuti dengan bisikan, "Begini lebih baik."

"Kucing manis," lanjutnya.

Si baju hijau di depan kami memimpin jalan, entah menuju ke mana. Mata kedua lelaki ini selalu terlihat waspada, diikuti dengan gerakan dan langkah kaki yang sangat hati-hati.

Sejak menaiki tangga dan menyusuri sisi lain dari kerajaanㅡtolong jangan tanya aku berjalan ke mana saja karena, demi Tuhan, kerajaan ini begitu membingungkan atau memang aku saja yang baru pertama kali menyusuri ruangan seluas iniㅡhanya lorong-lorong bercorak unik dan elegan yang kuingat. 

Hingga, kami pun tiba di ... kamar tidur. Kamar tidur seorang putri kerajaan, menurutku. Bagaimana dekorasi dan tata letak serta perlengkapan yang terlihat sangat menggambarkan keanggunan seorang putri.

Aku bisa melihat kaca rias setinggi badan orang dewasa terletak tepat di samping nakas. Jika melihat ke sisi lain, maka terdapat tempat tidur luas lengkap dengan kelambu yang tersampir. Ada pula lemari besar yang kuyakini berisi perlengkapan pemilik kamar. Terakhir, ada karpet lembut yang sejak tadi kupijak begitu memasuki ruangan ini. Ah, bahkan untuk tertidur di lantai pun terlihat sangat nyaman.

Selagi aku mengagumi isi kamar ini, kedua lelaki itu sibuk mencari sesuatu. Menarik laci, membongkarnya, kemudian mendorong kembali. Beralih ke lemari dan terus saja seperti itu. Aku sebenarnya tidak ingin menawarkan bantuan karena apa yang bisa dilakukan oleh kaki-kaki mungil ini? Tidak ada, pikirku. Namun, sepertinya yang mereka cari sangat berharga sehingga mungkin aku bisa membantu dengan mencari di tempat-tempat sempit. Aku hanya perlu mengetahui, apa tepatnya yang dicari.

Belum sempat aku mengeluarkan suara, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka bersamaan dengan kedatangan prajurit istana lengkap dengan pedang yang mengacung pada kami. Dengan refleks, aku bersembunyi di bawah tempat tidur, mengintip dari balik selimut yang menjuntai.

Adrenalinku terpacu, memandang gusar ke arah si suara berat dan si baju hijau yang dibawa paksa dengan tangan yang terikat. Si suara berat sempat melihat ke arah aku yang bersiap untuk keluar dari tempat persembunyian, tetapi itu hanya sepersekian detik sebelum mereka menghilang di balik pintu.

Dengan kecepatan maksimal, aku mencoba menyusul sebelum pintu benar tertutup. Sayang, dentuman pintu yang tertutup menghantam wajahku dan sekuat apa pun tenagaku untuk mencoba membuka pintu, pintu ini sama sekali tidak bergerak.

Untuk ukuran mimpi, semua ini terlalu intens. Bahkan benturan tadi terasa sangat menyakitkan.

Sekilas bayangan tentang stasiun kereta, benturan di kepala, dan seorang wanita yang membantuku ketika diserang orang mabuk tiba-tiba saja menghampiri.

Tuhan ... jangan bilang aku sedang tidak bermimpi?

***

Dec, 18th,

veediya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro