Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #4: Krisis Anak Tengah

Itu pertama kalinya rubrik 'Sosok' mendapat banyak perhatian. Mulai dari dibahas sebagai pembuka sesi mengajar, ditampilkan di slide presentasi waktu seminar, sampai dipajang di kolom utama papan buletin, menggantikan posisi berita korupsi Dekan. Kampus memang jagonya pengalihan isu, Aya tidak pernah heran.

Yang dia herankan justru isi rubrik itu. Tidak satu kata pun menyebut-nyebut Januar Ragaswara atau jabatannya di Kemenlu. Jadi, buat apa kemarin bocah sialan itu memancing emosi Aya, kalau ujung-ujungnya tidak punya nyali untuk menuangkan tuduhan sewenang-wenangnya ke dalam tulisan?

"Mana Juna?" Aya sudah ingat namanya sekarang.

Ines yang sepertinya lupa. Gadis campuran Batak-Bali yang sering mencuri atensi dosen bapak-bapak genit itu menoleh bingung dari kursi Warkom di sebelah Aya. "Hah?"

"Ck. Anak magang."

"Ooohh. Ndak lihat, aku."

Aya mengangkat alis. "Nggak bilang sama lo dia ke mana?"

"Lah? Ngapain bilang ke aku?"

"Bukannya lo deket sama dia?"

"Aku aja lupa namanya, Ya. Belom pernah ngobrol sama dia."

Aya terdiam, tiba-tiba teringat sesuatu. "Belum pernah ngobrol?"

"Kenapa sih, Ya?"

"Nes. Coba lo bohong."

Ines menatap Aya seolah perempuan di depannya sudah tidak waras, meski kemudian menurut. "Tadi pagi aku makan bubur."

Aya menghela napas lega. "Oke. Thanks."

"Ih, kasih tahu. Kenapa?"

"Alis lo. Yang kiri. Gerak dikit ke atas."

Ines buru-buru merogoh bedak dari tas dan memeriksa wajahnya di cermin. "Kentara banget, gitu, setiap kali aku bohong?"

"Kentara buat gue, belum tentu kentara buat orang lain."

Ines menurunkan cerminnya dan menatap Aya lagi. "Si anak magang bohongin kamu, Ya?"

Aya tidak menjawab. Pikirannya ada di tempat lain. Ines kelihatannya cukup tahu diri untuk tidak bertanya lagi. Gadis berambut keriting menjuntai itu hanya menepuk bahu Aya dua kali dan kembali fokus mengerjakan entah apa di laptopnya.

Sementara itu, Aya menggigit bibir. Dia belum pernah kecolongan untuk waktu yang lama. Setiap kali seseorang berbohong, Aya selalu bisa membaca gesturnya, sekalipun mereka tidak saling kenal. Itu bakatnya. Itu juga yang menjadikan tulisan-tulisannya istimewa. Aya menangkap kejujuran manusia seperti berkaca di air jernih dan menyajikannya dalam bentuk paling sederhana. Apa adanya. Setidaknya itu yang selalu Mas Bondan gembar-gemborkan kalau ditanya siapa staf emas Warkom.

Sekarang Aya merasa tolol. Dia baru sadar dibohongi setelah berhari-hari. Siapa yang tahu ada berapa banyak kebohongan yang sudah dia lewatkan di bawah hidungnya? Siapa yang tahu ada berapa banyak kebohongan yang sudah Juna lontarkan pada Aya selama mereka bekerja?

"Ya!"

Aya mengerjap. Ines baru saja menyikutnya.

"Itu, HP kamu bunyi."

Melihat nama peneleponnya, Aya mengangkat alis. "Halo? Kenapa, Bim?"

"Ya!" Suara di seberang terdengar panik. "Lo bisa ke Permata sekarang?"

Aya sedikit menegakkan tubuh. Permata itu nama rumah sakit terbesar di kota mereka.

***

Untuk ukuran perempuan 27 tahun yang terlibat kecelakaan lalu lintas tepat sebulan sebelum resepsi pernikahan, Nirmala Gauri bisa dibilang terlalu tenang. Meski Aya tidak akan heran, toh ini kakaknya.

Lala mungkin wanita paling tangguh di muka bumi. Enam tahun terakhir berhasil menghidupi ketiga adiknya seorang diri, dengan bekal jadi founder sekaligus CEO dari PRAJNA— sebuah start-up clothing brand lokal. Meski berdua bersama Mas Laksa, pacarnya dari zaman kuliah, tetap saja cuma orang-orang dengan mentalitas tahan banting yang bisa begitu.

"Lo beneran udah diperiksa?"

"Udah, Ya. Tanya Abim deh, kalau nggak percaya."

Abhimana Praya, adik mereka yang berdiri di ujung ranjang buru-buru mengangguk. "Udah. Sumpah. Nggak apa-apa, katanya. Cuma luka ringan di dahi, udah dijahit. Disuruh istirahat doang."

Aya mengembuskan napas keras. Matanya menatap Lala yang duduk tegak di ranjang IGD. "Gue se-nggak becus itu, ya, di mata lo?"

Lala refleks memutar mata. "Udahlah, Ya—"

"Se-nggak becus itu sampe lo jadiin Abim nomor darurat lo?"

Abim dengan kikuk mengalihkan pandang.

"Bukan gitu maksud gue. Lo kan, sering sibuk sama pers mahasiswa lo. Abim lebih reachable. Jadi kalau ada keadaan darurat—"

"Gue tahu kali, mana yang harus dijadiin prioritas, Kak. Gue nggak tolol."

"Yang bilang lo tolol juga siapa, sih?" gertak Lala. "Udahlah, Ya, nggak usah digede-gedein. Masih untung juga gue nggak kenapa-napa."

"Mas Laks! Di sini!"

Seruan Abim yang disengaja tiba-tiba memecah ketegangan di antara Lala dan Aya. Kedua perempuan itu menoleh bersamaan ke arah pintu masuk. Barata Adi Laksana setengah berlari menghampiri.

"Sayang, kamu gapapa? Ada yang sakit? Dokter bilang apa?"

Aya terpaksa mundur, membiarkan kakaknya diberondong pertanyaan bernada khawatir. Kepala gadis itu digeleng sekali sebelum langkahnya dipatri keluar. Abim mengekor di belakang.

"Ya, mau ke mana?"

Aya mendengus. "Ngapain tadi lo hubungin gue? Jelas-jelas Lala cuma butuh adek-adek kesayangannya. Harusnya lo hubungin tuh, Tata."

Abim menghela napas. "Gue hubungin Tata juga, tapi—"

"Bagus."

"Ya, Lala tuh cuma nggak mau lo khawatir sama dia. Dia nggak mau lo ngelihat dia dalam kondisi gini."

"Satu-satunya alasan—" Aya berhenti melangkah dan berbalik, membuat Abim mengerem mendadak, "—kenapa bukan nomor gue yang jadi nomor darurat Lala, adalah karena dia nggak pernah percaya gue bisa pegang tanggung jawab."

Kali ini Abim membiarkan kakak keduanya berderap pergi. Tidak ada gunanya berusaha menenangkan Aya yang sedang emosi.

"Abaaang!"

Abim menoleh, mendapati Tata berlarian di koridor untuk menghampirinya. Di belakang gadis berseragam putih abu-abu itu, melangkah laki-laki yang lebih tinggi dalam balutan kemeja biru muda dan dasi motif garis-garis.

"Weits! Mr. Diplomat! Kok bisa bareng Tata? Lo minta Mas Gat jemput ke sekolah ya, Dek? Parah lo, udah jadi orang sibuk dia sekarang!"

"Heh! Enak aja." Tata cemberut. "Orang gue papasan di depan. Harusnya lo merasa bersalah ya, Bang, bikin gue naik ojek! Gimana Kak Lala?"

Abim merangkul leher Tata, membuat yang dijahili berusaha menggigit lengannya. Gestur brutal itu memancing tawa Gatra.

"Gimana Kak Lala, Bim?"

"Nggak apa-apa kok, Mas. Udah dijahit lukanya. Cuma disuruh istirahat."

"Gimana sih, ceritanya?" cetus Tata. "Kok bisa kecelakaan?"

"Tunggal ya, Bim?"

"Hooh, Mas. Nggak fokus nyetir, katanya."

Tata menghela napas, melepas rangkulan Abim, dan berlari menuju IGD. Sementara Gatra mengedarkan pandang ke sekitar.

"Aya mana, Bim?"

Abim menggaruk belakang kepala. "Barusan cabut, Mas. Nggak tahu ke mana."

Seolah paham, Gatra menepuk bahu Abim dua kali. "Yaudah, gue cari ya. Kalo ketemu nanti gue coba bujuk."

Abim mengangguk sungguh-sungguh. Kalau di dunia ini ada manusia yang bisa meluluhkan tempurung kepala Aya yang sekeras baja itu, cuma Gatra orangnya.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro