Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #30: Krisis Seperempat Asmara

Motor itu diparkir di tepi jalan Jakarta. Di sebuah taman hijau buatan, di seberang kompleks gedung apartemen elit raksasa. Angin malam yang sedingin es menampar wajah Aya, membuat helai-helai setengkuknya makin semburat. Gadis itu duduk di salah satu bangku kayu yang catnya masih mengkilap, memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang dalam pakaian olahraga, lari-lari kecil mengitari taman.

Di sebelahnya, Abim, mengeluarkan vape dari kantong hoodie.

Alis Aya terangkat. "Sejak kapan?"

Abim tampak bingung sesaat. "Udah lama, kan?"

Aya tertegun. Tapi gadis itu tidak bicara apa-apa lagi, seolah sengaja membiarkan menit demi menit berlalu dalam hening. Abim juga tidak bicara apa-apa, entah kenapa. Mungkin menyadari mereka memang jarang menghabiskan waktu bersama untuk tahu kebiasaan satu sama lain. Ada terlalu banyak hari yang habis hanya dengan saling papas di depan pintu kulkas tanpa banyak tanya. Sekarang Aya sedikit menyesal.

"Ya–"

"Bim–"

Dua saudara itu sama-sama berhenti.

"Lo dulu."

"Nggak, lo dulu."

Aya menghela napas. "Kayaknya mending kita pulang aja."

"Kenapa?"

Karena Aya tidak menjawab, Abim melanjutkan, "Lo nggak siap ngomong sama Gatra?"

Jauh di dasar dadanya, Aya ingin seribu kali mengiyakan pertanyaan Abim. Tidak, dia tidak siap. Tidak akan pernah siap. Kalau Aya melihat wajah Gatra sekarang, dia hanya akan terbayang amarah yang berkecamuk di pinggir danau malam itu. Cincin yang tenggelam. Empat tahun yang hangus Aya bakar.

"Gue juga takut, Ya."

Aya menoleh perlahan. "Takut sama Gatra?"

Abim mendengus konyol. "Bisa bego juga nih jurnalis. Takut sama cinta."

Kerutan di kening Aya yang tadinya hanya samar kini beranjak makin dalam. "Takut sama cinta?"

"Lo bilang, lo nolak lamaran Gatra karena lo takut bakal nyakitin dia, kan? Karena lo belum selesai sama issues lo." Abim mengangkat bahu. Selama Aya hidup bersamanya, adik laki-lakinya itu jarang bersikap serius begini. "Gue juga... nolak perasaan gue sendiri. Bukan karena gue takut nyakitin sih, tapi karena gue takut disakitin. Intinya ya, sama. Karena gue belum selesai sama issues yang gue punya."

"Yang itu ya?" tebak Aya.

Abim tertawa sedikit. "Iya."

"Apa kabar dia, Bim?"

"Sekampus sama kita. Di FK. Gue sempet ketemu, dua kali."

"Terus?"

Abim terkekeh dan menyandarkan kedua lengannya di punggung bangku. "Ya, nggak ada terus-terus, Ya."

Aya tersenyum di ujung bibirnya, simpatik. "Lo pengen banget PDKT-in dia ya?"

"Gue takut berhasil. Yaaa... mungkin gue yang kepedean juga." Abim garuk-garuk kepala. "Tapi kalo gue coba-coba, terus dia beneran suka balik, gue nggak tahu habis itu gimana."

"Apanya gimana?"

Abim ganti menghela napas. "Siapa sih, Ya, yang percintaannya berhasil di keluarga kita?"

Aya menelan ludah.

"Ayah-Ibu, chaos. Lala-Laksa, chaos. Lo-Gatra–" Abim tiba-tiba berhenti, segan.

"–chaos," sambung Aya, mengangguk sedikit terpukul. "Iya, gue paham."

"Konyol sih, tapi gue beneran takut."

Aya ikut menyandarkan punggungnya, menatap lanskap Jakarta yang bertaburan cahaya papan iklan dan lampu jalan. "Menurut lo, mendingan mana? Nyesel karena coba ngelawan ketakutan lo dan gagal, atau nyesel karena nggak pernah berani coba sama sekali?"

"Mendingan nggak nyesel."

Aya menatapnya galak dan Abim tertawa.

"Ya emang konyol sih lo, Bim."

"Sialan," kekeh adiknya.

Aya akhirnya ikut tersenyum kecil dan menggeleng. "Tapi mungkin itu jawabannya nggak, sih?"

"Apa?"

"Kadang cinta emang tentang keberanian. Keberanian buat selesaiin semua masalah dan trauma yang belum selesai di dalam diri lo, supaya lo bisa jadi manusia yang lebih baik buat orang-orang yang lo cinta. Juga keberanian buat mulai hubungan walaupun ada kemungkinan semuanya nanti gagal."

Abim diam, mengangguk-angguk. "Ibu juga bilang gitu ke gue."

Aya menoleh lagi. "Ibu?"

"Ibu bilang, cinta itu soal pilihan. Gue boleh pilih apa aja yang gue rasa baik buat gue. Cuma, jangan sampe gue juga jadi ngelewatin pilihan-pilihan yang sebenernya gue mau tapi nggak gue ambil karena terlalu takut." Abim mengangkat bahu, sebelum mendecih dan mengacak rambut. "Aarrrghhh, gini amat cinta-cintaan umur 20-an."

Aya tertawa kecil. "Quarter love crisis, ya?"

"Quarter love crisis emang tai."

"Tapi cinta umur segini yang bikin kita banyak belajar nggak, sih?"

"Biar pas udah dewasa jadi bijak soal cinta, yak?"

Dua bersaudara itu sama-sama mendengus konyol sebelum menyandarkan kepala ke punggung bangku, menatap langit malam yang hitam melompong.

"Menurut lo, Ibu cinta Ayah nggak sih, Bim?"

"Yah... siapa yang tahu sih, Ya?"

Jeda.

"Tapi kalo lo nggak jadi masuk ke gedung apartemen itu malam ini, Gatra mungkin juga bakal selamanya bertanya-bertanya hal yang sama kayak lo sekarang."

Aya bungkam beberapa saat. "Ibu bilang, nama gue artinya cinta bijaksana. Tapi gue rasa gue nggak akan pernah jadi bijaksana soal cinta."

"Asmara Prajna, ya?" Abim angguk-angguk. "Lo tahu nggak sih, kenapa Lala namain kantornya PRAJNA?"

Aya mengerutkan kening oleh pengalihan topik tiba-tiba itu. "Nggak. Kenapa?"

"Soalnya waktu kecil pas Ayah sama Ibu sering berantem, gue sama Tata nggak pernah nangis. Selalu lo yang nangis."

Aya mengubah posisi duduknya jadi tegak. "Hah? Lala bilang gitu ke lo?"

"Katanya Lala selalu ngerasa gagal jadi kakak karena nggak bisa bikin lo berhenti nangis. Makanya dia bangun sesuatu pake nama lo, biar kalo sesuatu itu berhasil, dia nggak ngerasa gagal lagi."

"Ini lo ngarang ya?"

Abim mendecak. "Jago bener tuh gue ngarang cerita. Serius, nih. Kan gue juga udah sering bilang, Lala tuh paling nggak mau keliatan nggak becus di depan lo. Makanya dia jarang kasih lo tugas apa-apa di rumah, atau hubungin lo kalo ada keadaan darurat kayak waktu dia masuk rumah sakit."

"Bukan karena dia anggep gue troublemaker?"

Abim balas duduk tegak menghadap Aya. "Lo tuh, sesusah itu ya nerima kalo kita semua sayang sama lo?"

Gadis itu membeku.

Abim mengeluarkan jemarinya satu-persatu, menghitung. "Gue, Tata, Lala, Gatra. Nggak ada tuh yang peduli lo troublemaker, cewek galak, apaan kek. Lo mau bikin kesalahan apa pun, ya bakal kita maki-maki. Tapi itu nggak ngubah fakta kalau kita sayang lo. Lo tuh deserve itu, Ya."

Air mata Aya mendadak merebak. Gadis itu mengalihkan pandang agar Abim tidak melihatnya.

"Sekarang, lo punya kesempatan buat nunjukin Gatra juga deserve rasa sayang lo. Penjelasan lo. Semuanya."

Kemudian, akhirnya, pertanyaan yang sejak awal membuat Aya berlama-lama duduk di taman itu disuarakan lamat-lamat.

"Terus kalau Gatra mutusin gue... gimana, Bim?"

Abim berdiri. Tangannya terulur. "Kalau Gatra mutusin lo, artinya itu udah cinta paling bijaksana yang bisa dia kasih buat lo."

Aya menatap uluran tangan itu sebentar sebelum menggenggamnya ragu.

"Dan cinta paling bijaksana yang bisa lo kasih buat dia adalah–" Abim menarik Aya sampai gadis itu bangkit di atas dua kakinya sendiri.

Aya mengangguk berat. "–hargain keputusannya."

Abim membiarkan kakaknya menarik napas beberapa kali, sebelum akhirnya Aya memberanikan diri untuk berbalik. Laki-laki itu tersenyum konyol, merasakan matanya sendiri baru mulai berair setelah Aya melangkah menyeberangi jalan. Abim mendekatkan kedua telapak tangannya ke mulut dan berteriak, "AYA!"

Dari seberang jalanan yang ramai, Aya berbalik.

"NANTI JUGA SEMBUH!"

Teriakan Abim dibawa kabur klakson kendaraan dan desau angin malam. Tapi Abim tahu Aya mendengarnya.

Terus kalau Gatra mutusin gue... gimana, Bim?

Aya tertawa kecil. Air matanya jatuh. Segala ketakutan yang melingkupinya seumur hidup luruh di tempat. Gadis itu balas mendekatkan kedua telapak tangan ke mulut dan berteriak. Teriakannya dibawa kabur klakson kendaraan dan desau angin malam. Tapi Abim bukan orang yang butuh mendengarnya.

"NANTI JUGA SEMBUH!"

Aya sendiri yang butuh.

Gadis itu sekali lagi menarik napas dalam-dalam dan menatap gedung apartemen yang menjulang. Mungkin apa yang terjadi malam ini akan menghancurkannya. Mungkin akan membuat empat tahun Aya berakhir sia-sia. Mungkin akan menabur garam di atas lukanya.

Tapi nanti juga sembuh.

Aya melangkah masuk.

bersambung ke novel

a/n:

Akhirnya!

Terima kasih banyak sudah membaca Quarter Love Crisis sampai di sini. Semoga Aya, Gatra, Juna, Lala, Abim, Tata, dkk. berhasil menjadi teman seperjalanan yang sedikit banyak memberi pelajaran baru tentang cinta dan kompleksitas krisisnya. Atas segala kekurangan dalam cerita ini, aku memohon maaf.

Cerita ketiga yang kutulis ini cukup berbeda dari dua cerita sebelumnya. Aku banyak belajar tentang emosi-emosi yang lebih berkembang seiring proses pendewasaan. Konflik utama di sini adalah segala krisis di umur seperempat abad, alias 20 tahunan. Bagiku, umur 20 tahunan itu masa paling berantakan, tapi juga paling menentukan akan jadi siapa seseorang di masa depan. Aya dkk. memang dirancang untuk melalui krisis-krisis paling menyakitkan, kemudian keluar hidup-hidup untuk terus bertumbuh. Di akhir cerita ini, aku merasa selangkah lebih dewasa, dan kuharap kamu juga.

Kalau ada pesan dan kesan yang ingin kamu sampaikan tentang Quarter Love Crisis dan karakter-karakternya, aku akan dengan senang hati membacanya. Harapanku, setidaknya Quarter Love Crisis cukup dekat dan realistis untuk menyentuh satu titik krisis dalam hidupmu dan memberitahu bahwa di dunia seluas ini, kamu dan ketakutan-ketakutanmu itu tidak pernah sendirian.

Terima kasih sudah percaya pada tulisanku sampai akhir. Sampai jumpa lagi di Quarter Love Crisis versi novel (dengan epilog)! ^^

Pre-order dibuka mulai besok tanggal 7 Agustus 2024 pukul 15.00 WIB. Link Pre-order bisa diakses melalui bio Instagram @ itschocotwister.

Sekali lagi, terima kasih banyak! <3

Love,
Putri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro