QLC #29: Krisis Asmara Prajna
"Ibu baca berita kamu waktu itu, sebelum nama kamu dihapus."
Suara yang jarang telinga Aya dengar itu timbul tenggelam oleh denyar ombak di dermaga. Marina Ancol ditimpa ungu senja. Aya memaku matanya pada laut yang terhampar luas. Biru lazuardi, seperti namanya. Nama Diana juga, dulu.
"Ibu senang kamu juga mau jadi jurnalis."
Aya mendengus, tanpa sadar.
Dua wanita yang menumpu siku pada sisian dermaga itu punya perawakan dan potongan rambut yang nyaris serupa. Mata tajam, tulang selangka menonjol, dan ujung jemari kaki yang mengetuk-ngetuk lantai dermaga dengan tempo yang sama.
Tanpa menatap wanita yang lebih tua di sampingnya, Aya menjawab. "Aku sengaja minta namaku dihapus karena Ibu. Aku nggak mau Ibu mikir aku mau jadi jurnalis kayak Ibu."
"Kenapa? Kamu nggak harus benci apa yang kamu suka karena kamu benci Ibu, Asmara."
"Jangan panggil aku Asmara." Aya berusaha menyembunyikan gertakan giginya. "Dan terserah aku mau benci apa pun atau siapa pun. Bukan urusan Ibu."
Jauh dari sisi lain pelabuhan yang tidak disandari kapal-kapal pesiar ini, derum truk raksasa terdengar berlalu lalang. Kotak-kotak kargo diturunkan. Teriakan dalam bahasa daerah bersahutan. Berisik. Kepala Aya lebih berisik.
"Di antara kita berempat, aku yang paling mirip Ibu."
Aya rasa, dia bisa saja menulis seribu halaman buletin Warkom, dan perasaannya masih tidak akan tertuang sempurna. Karena tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan seberapa kacau balau Aya sekarang.
"Sebenci apa pun aku sama Ibu, ada terlalu banyak kesamaan di antara kita."
Seluruh rasa takutnya, rasa sakitnya, rasa bersalahnya, menelan Aya bulat-bulat. Perasaannya lebih raksasa dari dirinya sendiri. Traumanya lebih raksasa dari dirinya sendiri.
"Selama ini aku hidup dalam ketakutan, Bu. Aku takut suatu saat nanti aku akan menyakiti orang yang cinta sama aku sama seperti Ibu."
Di antara intimasi, hasrat, dan komitmen— komitmen lah yang meruntuhkan segitiga cinta Aya. Rasa cintanya kalah oleh ketakutan menyakiti seseorang yang berharga dalam hidupnya. Rasa tidak percaya diri Aya akan komitmen mengguyurnya kuyup mirip gemulung ombak. Buihnya resap. Lenyap.
"Aku terlalu takut untuk menikah. Tapi aku pun terlalu pengecut untuk mengakhiri hubunganku dari dulu. Aku egois sama orang yang kucintai. Atas keegoisanku sendiri, aku lampiasin kemarahanku ke semua orang. Tata... Tata nggak salah apa-apa. Kak Lala juga." Aya menggeleng kecewa. "Kenapa aku segini takut dan marahnya, Bu?"
Pertanyaan itu dilempar ke udara. Pertanyaan yang sudah sejak lama hinggap di palung terdalam diri Aya, membuatnya terombang-ambing di tengah teori cinta dan realitanya.
Diana menatap lautan. "Jadi anak Ibu nggak berarti kamu akan ngulangin kesalahan Ibu, Asmara."
"Tapi aku udah ngulangin kesalahan Ibu... Ibu ngerti nggak, sih?!" ratap Aya putus asa, menoleh menatap Diana. Mata gadis itu merah dan berair. "Aku udah selingkuh, Bu! Aku bener-bener jadi tukang selingkuh kayak Ibu!"
"Asmara." Diana balas menatap putrinya, air matanya sendiri jatuh. "Di dunia ini, nggak ada yang bisa mencintai dengan sempurna. Kesalahan yang Ibu buat sampai kapan pun tidak akan pernah bisa Ibu tebus. Ibu masih menjalani hukumannya sampai detik ini. Semua rasa sakit yang Ibu timbulkan bagi anak-anak Ibu adalah hukuman abadi Ibu. Ibu bukan contoh yang baik. Ibu bukan orang tua yang baik. Tapi kamu anak yang baik, Asmara. Jangan hukum dirimu sendiri atas kesalahan Ibu. Kamu? Kamu bisa jadi jauh lebih besar dari kesalahan-kesalahan orang tuamu."
Aya membisu.
"Asmara Prajna. Kamu tahu arti nama kamu?"
Aya merasa jauh di dasar memorinya, seseorang pernah membuatnya teringat.
"Cinta bijaksana."
Diana tersenyum lemah. "Bukan cinta yang sempurna, Aya."
Aya menatap ibunya. Sesuatu memukulnya keras di dada. Bukan cinta yang sempurna.
"Karena memang nggak ada cinta yang sempurna," bisik gadis itu.
Diana menyentuh hati-hati rambut putrinya yang kalang kabut ditiup angin Ancol. Di kejauhan, sirine keberangkatan kapal dibunyikan. Bisikannya dikaburkan berisik, tapi Aya bahkan mendengarnya dari dalam hatinya sendiri.
Karena yang ada, hanya cinta yang bijaksana.
***
"MAKASIH, AYAAAH! Besok Tata dateng lagi!"
"Yeeeeeh, ngerepotin!"
"APASIHH ABANG JANGAN PEGANG RAMBUT!"
"Heh! Berisik! Didengerin tetangga!"
"Abang duluan tuh, Kak."
"Elu!"
"Ih!"
"SSSTTT! Udah masuk buruan!"
Lala geleng-geleng heran menyaksikan dua remaja tanggung yang bertingkah macam bocah TK itu. Tata dan Abim masih saling berkejaran sampai masuk ke dalam rumah. Menyisakan Lala dan Bram di teras.
Bram tertawa nyaring. "Rame ya, La, tiap hari."
"Rame banget." Lala mengerucutkan bibir, sebelum tersenyum tipis. "Makasih ya, Yah. Udah mau jalan-jalan sama kita hari ini."
Bram menggeleng dan membuka lengannya, membiarkan Lala memeluknya erat. "Ayah minta maaf ya, Ayah jarang luangin waktu buat kalian."
Lala memejamkan mata, meresapi pelukan yang jarang ia dapatkan.
"Ayah janji bakal lebih sering ajak main. Nanti kita main bareng duo Yohanes-Yohana, ya."
Lala tersenyum. "Sama Tante Sekar juga."
"Wah, paling seneng itu kalo diajak jalan-jalan."
Mereka berdua tertawa kecil.
"Ya sudah. Ayah pulang dulu, takut macet di jalan. Nanti sampai rumahnya kemalaman," pamit Bram, mengusap rambut putri sulungnya. "Kalau ada apa-apa, kabarin ya, Kak."
Lala mengangguk dan menyalami ayahnya. "Hati-hati di jalan, Yah."
Belum sampai dua langkah, Bram berbalik. "La?"
"Iya?"
"Sampaikan salam Ayah untuk Aya."
Hati kecil Lala rasanya tersengat listrik sepersekian detik. Bibirnya melengkung tipis. "Nanti Lala sampaikan."
Kalau Aya pulang.
***
"Makasih, Bu, udah dianterin."
Mobil itu berhenti persis di depan gerbang rumah. Aya melepas sabuk pengamannya dalam gerakan lambat. Mencari cara paling tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Hatinya.
"Asmara minta maaf." Gadis itu meneguk ludah. "Untuk semuanya."
Diana tersenyum dari kursi pengemudi. "Sama-sama, sayang. Ibu juga minta maaf."
Aya menyentuh pegangan pintu sebelum menoleh sekali lagi. "Ibu nggak mau mampir?"
Diana menatap gerbang yang familiar, lampu yang menyala di dalam rumah, kemudian menarik napas sebelum menggeleng pelan. "Lain kali aja, ya?"
Aya mengangguk, seolah mengerti. Gadis itu akhirnya turun dan menyaksikan sampai mobil Diana menghilang di tikungan perumahan, sebelum berbalik menatap pintu rumahnya sendiri. Rumahnya sendiri.
Aya mendorong pintu depan terbuka dan masuk dengan langkah berat. Samar-samar, suara percakapan dari ruang makan terdengar. Aroma masakan tercium.
"Hah? Jadi si Raden Roro nyuruh lo duduk di SEBELAHNYA?"
"SEBELAHNYA. Nih, nih, 0 senti kayak gini."
"Anjir, Bang?! Itu mah dia fix naksir lo, kali?"
"Masa, sih?"
"Dih, salting! Kak! Kak, liat Bang Abim salting! Telinganya merah!"
"Cieeeee, Abim..."
"CIEEEE, ABANG..."
Langkah Aya terhenti di ruang tamu. Tawa ledekan dari ruang sebelah mengguncang sesuatu dalam dirinya. Dadanya mendadak sakit. Matanya dipejamkan. Apa yang sudah ia lakukan? Apa yang sudah ia lakukan pada keluarga kecilnya?
Aya menatap tas kantor dan setumpuk berkas yang belum sempat Lala bereskan dari sofa ruang tamu. Kakaknya benar. Lala sudah mati-matian menyambung hidup mereka semua. Menjaga Aya, Abim, dan Tata dari hal-hal yang menyakiti mereka. Meskipun itu bukan tanggung jawabnya. Itu tanggung jawab Ayah dan Ibu, tapi Lala lah yang membesarkan ketiga adiknya. Kalau Lala bersikap seperti Aya dan memutuskan untuk menyalahkan orang-orang di sekitarnya, mungkin sekarang mereka berempat sudah mati kelaparan di jalanan.
Tapi Lala tidak begitu. Dunia juga memperlakukan Lala dengan tidak adil sama seperti Aya, tapi Lala tidak menyalahkan orang lain– Lala merangkak dengan segala yang tersisa dan itu yang membuat mereka hidup sampai hari ini. Aya harus belajar banyak dari Lala.
Kemudian tatapan Aya jatuh pada hoodie abu-abu yang tergeletak sembarangan di lengan sofa. Milik Abim. Aya tahu tidak akan ada yang berani datang kepada Ibu kalau bukan adik laki-lakinya itu. Abim menyumbat seluruh lukanya sementara demi Aya. Abim yang meminta Ibu datang menemui Aya, karena Abim tahu Aya tidak akan pernah mampu mengakui sendiri bahwa ia butuh Ibu. Aya juga sudah bisa menebak siapa yang memadamkan api yang ia lempar pada Tata malam itu. Sudah pasti Abim. Abim mungkin menjemput gadis kecil itu, menggandeng tangannya pulang, memberitahunya bahwa Tata selamanya akan jadi adik mereka.
Kemudian tatapan Aya beralih pada kertas warna-warni yang sepertinya baru saja dibeli. Kertas-kertas yang Tata biasa pakai untuk menandai soal-soal ujian yang sulit dikerjakan. Tata dan usaha kerasnya untuk menjadi hebat, mati-matian berlari untuk menyamai langkah kakak-kakaknya di depan, dan air mata di pipinya ketika Aya meledakkan rahasia di depan matanya. Aya masih ingat cara genggaman Tata yang lepas dari sisian tangga. Tatapan tidak percayanya. Tata tidak pernah punya siapa-siapa selain ketiga kakak yang membesarkannya. Mungkin itu pula yang membuatnya menyalahartikan perasaannya untuk Gatra, laki-laki dewasa pertama yang bertanggung jawab dan paling mengayomi dalam hidupnya. Apa pun itu, Aya seharusnya jadi kakak yang membimbing Tata, bukan balas menyakitinya.
Pundak Aya bergetar menahan tangis. Kakak-adiknya menanggung banyak luka yang sama. Aya seharusnya melindungi mereka juga. Aya seharusnya menjadi rumah bagi mereka juga. Tidak ada orangtua yang mengenalkan cinta pada mereka berempat, tapi kakak-adiknya mengusahakan segala yang mereka bisa untuk berbagi cinta. Aya seharusnya juga mencintai mereka dengan cinta yang bijaksana.
"Kak Aya?"
Aya buru-buru mengusap air matanya kasar. Gadis itu berdeham dan melangkah masuk ruang makan. Tata sedang membagikan piring bersih, sementara Lala dan Abim duduk di kursi. Tidak ada yang bicara. Piring Tata diletakkan ke atas meja dalam sunyi.
"Salam... dari Ibu."
Tata refleks melongok antusias ke belakang Aya, seolah berharap Ibu muncul dari punggung kakaknya.
Lala menghela napas. "Ta..."
Tata mengerjap sadar. "O-oh... nggak ikut, ya?"
Abim menarik kursi Aya yang kosong di sebelahnya, seolah mempersilahkan gadis itu duduk. Tapi Aya bergeming dari posisinya. Jemarinya gemetar, dan kata maaf yang ia bisikkan sejuta kali dalam hati membuat lidahnya keburu kelu.
"Gue cuma mau ambil barang," ucapnya pelan. "Gue... gue bakal tidur di Warkom."
Tidak ada yang merespons. Kecuali Tata yang tersenyum riang. "Tata boleh ikut? Anak Warkom ada yang cogan nggak, Kak?"
"Nanti gue anter." Abim mulai menyendok lauk ke piringnya.
Mata Lala bertemu sambil lalu dengan milik Aya. "Bulanan yang kemarin masih ada? Mau gue tf lagi?"
Aya menggeleng. "Gue nggak akan pulang."
Segala gerakan di meja makan itu berhenti.
"Gue... gue ngerasa gue cuma jadi beban di sini." Untuk pertama kalinya seumur hidup, Aya kesulitan merangkai kata. "Gue cuma nyusahin kalian. Gue... gue bikin kalian malu. Gue nyakitin kalian. Gue–"
"Kak." Tata dengan cepat memotong.
Tapi Aya belum selesai. "Semua yang terjadi bikin gue nyadar selama ini gue cuma bisa nyalahin orang daripada ngehadapin masalah-masalah gue sendiri. Gue nyalahin Gatra karena hidupnya terlalu perfect padahal itu sama sekali bukan salah dia dan harusnya justru jadi sesuatu yang gue syukurin, gue nyalahin Kak Lala karena nggak bisa selalu ada buat gue padahal bahkan bukan tanggung jawab Kak Lala buat mastiin gue masih bisa makan, kuliahin gue–"
"Aya, please." Lala berdiri, menggeleng.
"Abim nggak harus pergi ke Ibu setelah bertahun-tahun kita coba lupain apa yang dia lakuin. Abim nggak harus jemput Tata karena Tata nggak bakal pergi dari rumah kalo gue nggak egois, kalo gue nggak–"
"Ya, nggak gitu–"
"Tata nggak harusnya sakit." Air mata Aya membasahi wajahnya. "Nggak ada yang harusnya sakit karena gue. Dan soal gue yang nyakitin semua orang? Bukan salah Ayah atau Ibu. Mereka emang nggak pernah ngajarin gue soal cinta karena mereka nggak pernah ada, tapi bukan berarti gue bisa nyalahin mereka setiap kali gue buta atau ngelakuin kesalahan soal cinta. Gue selingkuh bukan karena Ibu selingkuh, tapi ya karena gue brengsek. Gue nolak lamaran Gatra karena gue takut sama komitmen, karena gue belum selesai dealing sama trauma dan ketakutan-ketakutan masa kecil gue, bukan karena apa-apa. Dan gue harus selesaiin semua itu secepatnya. Gue, yang harus selesaiin semuanya, bukan orang lain. Karena hidup gue, kebahagiaan gue, adalah tanggung jawab gue sendiri. Bukan tanggung jawab orang lain."
Hening.
Aya menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak akan pulang.... sampai gue berdamai sama diri gue sendiri."
Kemudian, untuk pertama kalinya pula, Aya menatap mata saudara-saudara yang paling ia cinta dengan keberanian yang sebelumnya tidak pernah gadis itu punya.
"Nggak ada kata selain maaf dan terima kasih yang bisa gue sampein buat semua yang udah kalian lakuin buat gue sampai hari ini. Tapi sisanya, harus gue jalanin sendiri, sampai gue siap untuk pulang nanti. Ke rumah ini. Rumah kita."
Air mata Tata jatuh seiring gadis SMA itu berlari untuk memeluk Aya. Abim bergabung dengan mendekap keduanya erat. Lala merangkul adik-adiknya dalam satu pelukan raksasa. Lengan Aya terjulur untuk menyatukan mereka berempat. Karena sejak awal, sampai akhir, dan mungkin untuk selamanya, mereka adalah empat bersaudara.
Selama beberapa saat, hanya tangis yang terdengar di ruang makan itu. Sampai kemudian Abim memecah tawa, dan ketiga orang lainnya ikut tertawa. Seolah menertawakan jejak isak dan ledak pertengkaran yang telah terjadi selama bertahun-tahun di ruangan yang sama. Segala hal yang turut mendewasakan mereka.
Trauma kehilangan dan luka masa lalu mungkin memang tidak akan pernah hilang. Mungkin memang akan selalu muncul kembali ke permukaan dalam setiap proses pendewasaan. Tapi setidaknya, kini kegagalan orangtua mereka dalam mencintai bukan lagi menjadi sesuatu yang mendefinisikan siapa atau bagaimana mereka mencintai.
Karena memang tidak ada cinta yang sempurna. Yang terbaik yang bisa diberikan, hanyalah cinta yang bijaksana.
bersambung
a/n:
Huaaa akhirnya sampai sini T^T
Jujur, menulis QLC ini benar-benar menguras energi dan emosiku. Ada banyak sekali hal yang berat dan kompleks, tapi aku harus bisa menyederhanakan emosi-emosi yang rumit itu ke dalam kata-kata. Semoga tersampaikan ya. <3
Masih akan ada satu bab terakhir (QLC #30) yang aku upload di Wattpad besok sebelum cerita ini bersambung ke epilog di novel nanti. Tapi kalau mau baca QLC #30 duluan, sudah tersedia di KaryaKarya.
Oiya, dalam rangka menyambut 2 hari lagi QLC open PO, aku mau share details merch! Hihi, take a closer look at this! ^^
Sooo pretty, right? >.<
Sekian dulu, sampai bertemu di bab terakhir besok! Daaan jangan lupa pasang alarm buat ikutan PO novel Quarter Love Crisis tanggal 7 Agustus 2024 nanti. <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro