QLC #28: Krisis Nirmala dan Arjuna
Tidak ada yang pernah mengajari Lala cara memasak. Ayah mengajarinya cara membayar pajak, cara membaca saham, cara membuka rekening tabungan, tapi tidak mengajarinya memasak. Lala tidak pernah tahu kenapa.
Kamu anak sulung, kata Ayah. Anak sulung itu nahkoda. Kalau kamu ke kiri, kapal ke kiri. Kalau kamu ke kanan, kapal ke kanan. Kalau kamu tenggelam—
Lala berbisik, "—kapal tenggelam."
Hanya saja Ayah tidak bilang akan sedahsyat apa ombak yang mengombang-ambing kapal Lala di tengah lautan. Ayah tidak bilang kapal Lala akan memberontak, melawan, atau merusak rencana-rencana perjalanannya. Seumur hidup, Lala merasa dia tidak pernah tahu di mana kapal itu akan berlabuh. Dia hanya tahu kapal itu tidak boleh tenggelam.
Perempuan itu mendengus kecil, menatap tiga kursi meja makan yang kosong di hadapannya. Kursi yang persis berseberangan dengan miliknya adalah milik Aya.
Gadis keras kepala itu.
Waktu Lala berulang tahun ke-21, hanya lebih beberapa bulan dari usia Aya sekarang, Ayah menghadiahinya sertifikat rumah. Rumah ini. Atas nama Nirmala Gauri Lazuardi.
"Kamu sudah dewasa, La. Ayah percaya kamu sudah siap bertanggung jawab untuk kebahagiaan adik-adik kamu."
Lala menatap sertifikat di tangannya dengan mata berbinar. Surat izin usaha PRAJNA baru saja lolos. Sekarang, dia sudah punya rumah sendiri. Lala senang jadi dewasa.
"Makasih, Pa."
Ayah tersenyum, mengusap rambut Lala penuh sayang. "Lala nggak apa-apa, kan, kalau Ayah bertanggung jawab buat kebahagiaan keluarga Ayah yang lain?"
Binar di mata Lala perlahan pudar.
"Ayah mau menikah lagi."
Persis di kursi meja makan itu, Lala diguyur ombak raksasa pertama dalam hidupnya. Perasaan ditinggalkan, perasaan bahwa dia tidak cukup berharga untuk membuat ayahnya bertahan, perasaan kehilangan nahkoda. Dia nahkodanya sekarang. Dia tidak boleh tenggelam.
Pandangan Lala berangsur pada kursi di sebelah Aya.
"Gue udah berusaha, Kak! Segitu takutnya gue buat deketin cewek yang gue suka karena gue takut gue jadi nggak fokus jagain lo bertiga! Segitu takutnya gue buat mulai hubungan karena gue takut bakal ditinggal sama orang yang gue sayang karena semua orang ninggalin kita!"
Lala memejamkan mata, sebelum menghapus air matanya dengan cepat. Lala sering berpikir Abim yang paling mengerti dirinya karena laki-laki itu tidak pernah protes, komplain, atau melawan apa pun keputusan kakak sulungnya. Abim selalu menurut, selalu mengiyakan, selalu percaya Lala tahu yang terbaik.
Sekarang Lala pikir mungkin dia yang tidak pernah mencoba mengerti Abim. Abim yang rela keluar rumah tengah malam demi membeli tiga jenis pembalut berbeda, Abim yang rela memerangi kemacetan untuk menjemput siapa pun yang sedang butuh tumpangan, Abim yang rela mengalah— selalu mengalah, untuk saudara-saudara perempuan yang mungkin, Lala sekarang pikir, sering kali membuatnya merasa kesepian.
Kursi yang terakhir milik Tata. Tata yang membuat dapur terasa kosong dan menyesakkan. Bahan masakan mungkin membusuk di kulkas dan Lala tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada yang pernah mengajari Lala cara memasak.
Karena Lala selalu diekspektasikan untuk hidup bersama ketiga adiknya. Karena Lala selalu diekspektasikan untuk menjaga keluarga mereka baik-baik saja. Sekarang dia gagal. Kapalnya menolak berlayar. Sebentar lagi Lala tenggelam.
Perempuan itu bangkit. Kunci mobilnya disambar dari atas meja.
Lala tidak mau tenggelam. Tidak sekarang.
Dia masih jadi nahkoda. Dia masih bisa berusaha.
***
Tata sedang duduk bersila di pinggir kolam ikan, menyebar butir-butir makanan koi ke seluruh permukaan air, ketika suara langkah dari belakang punggungnya terdengar. Gadis delapan belas tahun itu menoleh, tersenyum melihat siapa yang datang.
"Cieee, kangen ya, Bang?"
Abim mendengus pelan, mengacak rambut adiknya sembari duduk bersila di sebelah Tata. Jemari meraih bungkus makanan ikan dan mengambil alih pekerjaan gadis itu.
"Enak nginep di sini?"
"Enak," sahut Tata semangat. "Tante Sekar sebaik itu! Yohanes sama Yohana juga lucu abis. Lo harus ketemu! Mereka lagi main ice skating sekarang. Tadi gue diajak, tapi nanggung, lagi nge-oven kue."
Abim tersenyum geli melihat antusiasme itu. "Lain kali ajakin gue nginep juga, dong. Masa nggak pamit?"
Tata mengulum senyum. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Abim. "Untung lo belum punya cewek ya, Bang. Gue jadi masih bisa manja ke lo."
"Sampai kapan pun juga lo masih bisa manja ke gue kali, Dek."
Tata tertawa dan mendongak. "Gue nggak pernah kebayang lo ternyata bukan abang gue."
Abim balas menatap wajah Tata tanpa bicara. Air mata gadis itu perlahan merebak. Abim mengusapnya dengan jemari.
"Lo adek gue, Ta." Suara Abim tidak pernah terdengar semenenangkan itu. "Selamanya lo adek gue."
Tata bergeser lebih dekat, menyandarkan keningnya ke relung leher Abim.
"Pulang ya, Ta?"
Tata mengangguk dalam diam. Abim mungkin tidak tahu kalau begini saja gadis itu sudah merasa pulang.
***
Lala meneguk ludah menyaksikan motor yang terparkir di dekat mobilnya. Perempuan itu turun dan melangkah menuju pintu depan, menimbang sebentar sebelum menekan bel. Namun, belum sempat Lala membuat keputusan, pintu itu sudah terbuka lebih dulu.
Bram melebarkan lengan, menawari Lala sebuah pelukan. Lala tersenyum tipis dan memeluk ayahnya.
"Apa kabar, Nirmala?"
Berantakan, ingin Lala menjawab. "Baik, Yah. Ayah juga apa kabar?"
"Baik," senyum Bram, berusaha menyembunyikan tatap kagum. Nirmala kecilnya sudah tumbuh jadi wanita dewasa. "Masuk, La. Tata sama Abim lagi kasih makan ikan di belakang."
Lala melangkah masuk. Sesuatu terasa hangat di rumah itu. Aroma manis kue yang dipanggang merebak ke saraf penciuman. Sejumlah mainan teronggok di lantai, belum sempat dibereskan. Di atas sofa ruang tamu, ada keranjang jahit dan beberapa helai pakaian.
"Sekar sama anak-anak lagi main ice skating."
Bram bercerita sembari memunguti mainan di lantai. Lala tersenyum.
"Kok Ayah nggak ikut?"
"Itu, Tata lagi manggang kue. Ayah kan, mau nyicipin."
Lala tertawa kecil. "Eksperimen apa aja tuh anak di sini, Yah?"
"Wah, banyak," kekeh Bram. "Jadi kenyang terus kalau Tata di sini. Jago banget masak, ngalahin Ayah-nya."
Lala menggeleng geli, sebelum teringat dapurnya sendiri yang sepi. "Kenapa Ayah nggak pernah ngajarin Lala masak?"
Bram menoleh. "Hm? Kenapa, La?"
"Ayah ngajarin Lala banyak hal. Bayar pajak, bikin rekening, baca grafik saham. Kenapa nggak pernah ngajarin Lala masak?"
Bram tertawa. "Iya, kenapa, ya? Ayah kira kamu nggak suka masak, La."
"Lala juga nggak suka banyak hal yang Ayah ajarin." Lala menjawab, pelan. "Tapi Lala tetep mau belajar. Karena Lala tahu itu tanggung jawab Lala."
Kali ini senyum Bram berubah canggung. "Kamu kan... bisa belajar tanpa Ayah, La?"
"Nggak bisa," bantah Lala. Perempuan itu menunduk, tersenyum kecil. "Lala nggak bisa tanpa Ayah."
Lala berusaha menelan ludah untuk menahan tangis, tapi sia-sia. Pundaknya bergetar di luar kemauannya. Isakannya perlahan meluncur, membuat Bram di hadapannya tertegun.
"Lala... Lala gagal, Yah. Lala gagal jagain kebahagiaan adik-adik Lala."
Kapal Lala tenggelam, Yah. Kapal Lala tenggelam karena Ayah pergi dari rumah.
Kemudian cerita itu mengalir. Tentang Laksa, Aya, Abim, Tata. Semuanya. Seluruh ombak yang menerjang Lala tumpah ruah di ruang tamu rumah lain. Bram mengepalkan jemari. Sesuatu menahannya menepuk pundak Lala, memeluknya, atau berusaha menenangkannya. Karena Bram tahu benar alasan Lala menangis. Karena Bram sadar seraksasa apa beban yang dia tumpu di bahu putri sulungnya semenjak bertahun-tahun silam.
"Ayah tahu, Ayah nggak berhak ngomong gini setelah semua keegoisan Ayah selama ini."
Lala mengangkat wajah yang basah oleh air mata ketika telapak tangan Bram menyentuh pundaknya.
"Tapi Ayah harap kamu tahu, nggak ada seorang pun di dunia ini yang bisa bikin Ayah bangga seperti kamu."
Bram tersenyum, bangga dan bersalah.
"Kamu sudah hebat, Nirmala. Kamu yang paling hebat."
***
Juna sebisa mungkin menghindari tepian atap.
Jaga-jaga kalau Gatra mengamuk dan memutuskan untuk membunuhnya, mungkin. Jatuh dari ketinggian ini, laki-laki itu bisa saja mengarang skema Juna bunuh diri. Seluruh dunia akan percaya, kalau pun tidak toh Gatra punya uang untuk membeli kepercayaan mereka. Mengingat apa yang terjadi semalam, Juna tidak akan heran kalau laki-laki sempurna itu mendadak kehilangan kompas moral.
Juna tidak perlu diberi tahu dirinya salah, dia tahu dia salah.
Apa pun yang laki-laki itu lakukan atau tidak lakukan sudah merusak sebuah hubungan jangka panjang dan rencana masa depan. Justru ini upayanya untuk memperbaiki kesalahan. Juna tahu penjelasannya mungkin tidak berarti banyak, tapi Gatra pantas mendengarnya. Gatra harus mengerti bahwa Juna yang menyetir seluruh kekacauan ini, bahwa dia yang jatuh cinta pada Aya sejak pandangan pertama, bahwa dia bisa merasakan Aya mencintai Gatra bahkan saat Juna menciumnya di kolam renang.
"Aya nggak cinta sama saya. Aya cinta sama Mas Gatra."
Gatra mendengus. Pedih. Seolah kata-kata Juna tidak berarti apa-apa selain garam di atas lukanya.
"Mungkin cinta aja nggak cukup."
Persis di detik itu, Juna tiba-tiba teringat sebuah percakapan dari berbulan-bulan lalu.
Semua cinta di dunia ini seenggaknya kehilangan salah satu dari ketiga elemennya, Aya pernah bilang. Kedekatan, hasrat, atau komitmen.
Juna mengepalkan jemari. Terdiam menyaksikan Gatra pergi.
Memori dari malam yang dingin di pinggir danau tiba-tiba terputar ulang.
"Saya harap kamu tahu."
Aya mengangkat wajah linglung dari tepian danau, mengusap linangan air mata dari pipi dan menatap Juna seolah laki-laki itu hanya ilusinya, lalu sadar laki-laki itu benar-benar ada di sana.
"Saya harap kamu tahu saya nggak pernah berniat menghancurkan hubungan kamu seperti ini." Juna meneguk ludah kasar. "Apa yang saya lakukan salah, saya tahu itu. Saya nggak seharusnya—"
"Lo nggak menghancurkan apa-apa, Jun." Aya berdiri. Seluruh tubuhnya terasa rapuh. "Ada sejuta kali kesempatan gue bisa bilang enggak. Ada sejuta kali kesempatan gue bisa balik badan. Ada sejuta kali kesempatan gue bisa tutup pintu. Tapi—"
"Tapi kamu nggak mungkin bisa tahu semuanya bakal jadi kayak gini—"
"Oh, gue tahu," potong Aya, tertawa getir. "Percaya sama gue, gue tahu. Tapi gue jalanin aja. Rasanya hampir kayak gue perlu ngebuktiin sesuatu. Mungkin bahwa gue bisa berteman sama lo tanpa berakhir kayak nyokap gue atau mantan calon suami kakak gue. Tapi kenyataannya itu nggak mungkin, kan? Gue berakhir persis kayak mereka, karena dari awal gue sanggup ngelakuin hal yang paling gue benci di dunia ini. Karena semua cinta yang gue kenal selalu kehilangan komitmen. Karena gue tukang selingkuh. Karena gue sakit."
"Aya—"
"Lo nggak menghancurkan apa-apa, Jun," ulang Aya, menatap Juna menyerah. "Gue, yang menghancurkan segala-galanya."
bersambung
a/n:
Hari ini double up! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro