Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #26: Krisis Rahasia

"Kak Aya!"

Aya tidak tahu apa yang dia rasakan. Seluruh tubuhnya mati rasa sejak dari apartemen Gatra sampai ke rumah. Gadis itu memacu langkah menaiki tangga, mengabaikan seseorang yang memanggil-manggil namanya.

"Kak Aya! Tunggu! Tata bisa jelasin!"

"Jelasin apa?" bentak Aya. Gadis itu membalik tubuhnya dan Tata mundur satu langkah dari bibir tangga. "Jelasin kalo lo pura-pura jadi gue biar bisa cium cowok gue waktu dia lagi mabok?"

"Aku nggak–" Tata kelihatan marah. "Lo! Masih bisa nyebut dia cowok lo setelah lo selingkuh, hah? Sama adik tingkat yang nggak ada apa-apanya itu?"

Aya refleks menarik napas tajam. "Lo nggak tahu apa-apa soal keseluruhan ceritanya."

"Gue tahu Juna!" bentak Tata. "Gue tahu dia bukan tandingan Gatra!"

Aya tertawa defensif. "Kenapa? Karena Gatra sempurna banget di mata lo? Karena selama ini lo suka sama dia? Karena selama ini lo selalu bayangin dia jadi cowok lo, bukan cowok gue, hah?"

Tata menggeleng sakit hati. "Lo salah sangka, Kak–"

"Kasih tahu gue bagian mana yang salah, Ta! Jadi ini alasan lo selalu pengen ikut jalan sama gue dan Gatra? Karena lo berharap Gatra ngelihat lo, iya? Karena lo lebih cantik dari gue, karena lo lebih sempurna?"

"Gue emang suka sama Gatra tapi gue tahu dia milik lo!" Tata berteriak. "Gue selalu anggep dia kakak gue! Gue cuma pengen nolongin dia karena lo ngancurin dia! Gue dateng ke apartemennya buat minta maaf atas nama lo! Lo ngerti, Kak?"

"Gue nggak butuh lo minta maaf atas–"

"Lo tanya bagian mana yang salah? Bagian yang salah itu lo! Lo yang nyia-nyiain orang tulus kayak Gatra! Lo sama aja kayak Ibu! Gue nyesel punya kakak kayak lo!"

Aya diam. Giginya bergemeretak membentur satu sama lain. "Lo... mau tahu siapa yang bikin gue kayak gini?"

Tata mundur satu anak tangga.

"LO MAU TAHU SIAPA YANG BIKIN GUE KAYAK GINI?" bentak Aya. "Lima belas tahun lalu, setelah Ibu ketahuan selingkuh dan cabut dari rumah, Ayah bawa kita semua buat tes DNA! Cuma DNA lo yang enggak cocok!"

Genggaman Tata di susuran tangga lepas begitu saja.

"Lo anak hasil perselingkuhan yang Ibu lahirin di rumah ini dan pura-pura besarin seolah bagian dari keluarga kita!" Aya meledak tanpa jeda. Tanpa ampun. "Ayah mungkin bisa pura-pura nerima kehadiran lo, tapi gue udah muak, Ta! Lo alasan Ayah-Ibu cerai! Lo alasan kita berempat harus jadi kayak gini! Lo alasan hidup gue ancur, ngerti?!"

"AYA! CUKUP!"

Lala dari ambang pintu berteriak marah.

***

Abim memakir motornya sembarangan di pinggir jalan.

Laki-laki itu menatap pagar besi tinggi yang membatasi sebuah rumah megah di pusat ibu kota. Sekalipun nyalinya ciut, laki-laki itu tidak akan bisa pulang karena bensinnya habis dan motornya berderit mengerikan setelah menabrak tiang listrik di bahu jalan. Banting setir karena nyaris menyerempet mobil lawan arah waktu menerobos lampu merah. Abim mengebut seperti kesetanan sepanjang jalan, jadi kalau dia masih selamat sampai tujuan, artinya Abim memang harus membunyikan bel rumah ini.

Sudah larut malam, jadi laki-laki itu pikir wajar kalau dia tidak dibukakan pintu. Tapi pagar itu terbuka otomatis tak lama setelah dia menekan bel. Abim melangkah masuk dan berhenti di teras depan pintu.

Pintu kayu mahogani raksasa terbuka. Dalam balutan piama kimono biru tua dan kacamata baca, seorang wanita paruh baya berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Abhimana?"

Abim meneguk ludah.

"Ibu."

***

"Tata! Ta, dengerin Kakak dulu-"

Lala berjengit ketika pintu depan dibanting tertutup. Wanita itu berusaha menekan remah amarahnya ke dasar dada dan berderap menghampiri gadis yang berdiri di ujung tangga.

"Puas?"

Aya tidak menatap mata kakaknya.

"Puas, Ya, ngancurin semuanya?"

"Oh, ini salah gue?"

"Salah siapa lagi?" bentak Lala tak habis pikir. "Gue tahu lo lagi patah hati, tapi-"

"Tata cium Gatra, Kak!" Aya mengadu kesakitan. "Gatra punya Aya. Cuma Aya yang boleh nyentuh Gatra!"

"Kalau gitu harusnya lo nggak biarin cowok selain Gatra nyentuh lo," gertak Lala dingin. "Sakit, kan, rasanya? Itu yang Gatra rasain. Itu yang gue rasain. Itu yang Ayah rasain."

Aya menggeleng. "Lo nggak ngerti- gue nggak biarin Juna nyentuh gue. Gue-"

"Lo cuma biarin dia masuk ke hidup lo lebih deket dari orang lain. Lo pikir gimana semua perselingkuhan itu berawal?" tanya Lala tajam. "Sekarang lo bukan cuma nyakitin Gatra dan diri lo sendiri, lo juga nyakitin keluarga kita! Lo nyakitin gue, Tata, dan Abim! Dan barusan lo ngomong apa sama Tata, hah? Bisa-bisanya lo bilang dia bukan bagian dari keluarga kita? Biar apa, Ya? Setelah bertahun-tahun gue mati-matian berusaha ngejaga keluarga ini, ngejaga rumah ini, lo seenaknya ngancurin-"

"Gue nggak pernah ngerasa kita keluarga," bisik Aya, tertawa sedih. "Kita tinggal di rumah yang sama, hidup dari uang yang sama, tapi gue nggak pernah ngerasa kita kenal satu sama lain. Mungkin kalo sekali aja lo berhenti ngerasa pahlawan karena jadi tulang punggung, lo bisa lihat gue nggak baik-baik aja. Gue nggak perlu temenan sama Juna biar gue ngerasa ada yang ngerti gue, karena keluarga gue nggak bisa ada di saat gue butuh mereka-"

Lala menampar wajah Aya keras.

"Lo selingkuh bukan salah siapa-siapa." Air mata Lala jatuh. "Bukan salah Ibu. Bukan salah gue. Bukan salah Tata. Lo selingkuh, itu salah lo sendiri. Ngerti lo?"

Aya tidak bernapas waktu kakaknya berjalan melewatinya menaiki tangga. Selama beberapa detik, Aya mematung di sana. Merasakan panas yang menjalar di kulit tempat Lala menamparnya. Gadis itu sadar tamparan itu bukan hanya diperuntukkan dirinya. Tamparan itu mewakili seluruh dendam yang Lala simpan untuk Aya, untuk Laksa, untuk Ibu.

Untuk para pengkhianat dalam hidupnya.

***

"Ada yang bisa Ibu bantu, Bim?"

Seorang wanita paruh baya duduk dengan kaki bersilang di sofa ruang tamu, sedikit terpana mengamati laki-laki muda yang datang. Panggilan telepon setahun sekali setiap hari raya hanya menangkap suara bariton yang terdengar semakin lama semakin mirip mantan suaminya, tapi tidak memberitahu Diana Tjandra betapa Abhimana sudah tumbuh dewasa.

Postur jangkung dan bahu tegap itu- rambut ikal yang sekarang sudah sepenuhnya lurus. Diana tidak percaya bocah laki-laki empat tahun yang biasa menangis kalau tidak diajak shooting ke studio TV sekarang duduk di hadapannya dengan kelewat gugup.

Abim tampak ragu. Seolah menyesali keputusannya datang ke sini. "Maaf ganggu malem-malem."

Diana tersenyum polos. "It's fine, sayang. Ibu memang nggak biasa tidur cepet, kok."

Insomnia akut, hukuman yang dia terima meski tidak seharga kehilangan empat anak dari mantan suaminya. Gaji Diana lima belas tahun lalu bukan apa-apa. Penghasilan kontraktor sipil jauh lebih menjanjikan. Abraham Lazuardi menuntut hak asuh empat anak- sekalipun yang bungsu bukan miliknya. Diana bungkam karena kesalahannya. Ancaman mengekspos alasan perceraian mereka ke media membuat wanita itu hanya bisa pasrah. Tidak seperti Bram yang bisa kabur ke mana saja, karir Diana sebagai jurnalis investigasi televisi membuatnya tidak bisa sembunyi dari penghakiman publik.

Diana tidak pernah kembali ke rumah itu. Bahkan setelah dia tahu Bram menikah lagi, Diana tidak datang. Ada terlalu banyak luka yang dia toreh di sana. Diana tahu itu egois, tapi Bram sudah menegaskannya bertahun-tahun lalu. Apapun yang terjadi, dia tidak ingin Diana menyentuh anak-anak mereka. Sebelum Diana sadar, empat bersaudara itu sudah tumbuh besar. Dia sudah terlambat.

"Abim mau minta tolong."

Diana mengerjap. Wanita itu memfokuskan perhatiannya. "Minta tolong apa, Bim?"

Abim menatap ibunya. Asing sekaligus familiar. "Ibu bisa pulang sebentar?"

Pulang. Abim tidak bilang ke mana, seolah Diana pasti tahu maksudnya. Karena pulang selalu berarti ke rumah, dan tidak seperti Diana, Abim cuma tahu satu rumah. Rumah yang sekalipun sudah berulang kali hancur dan dibangun lagi, tetap jadi rumah baginya.

"Kami butuh Ibu."

Lima belas tahun lamanya, penyesalan tidak pernah menghantam Diana sebegitu kerasnya. Wanita itu kehilangan tumpuan, air matanya merebak.

Kami butuh Ibu.

"Kapan?" Diana berdeham. "Kapan kalian butuh Ibu pulang?"

Abim tersenyum sedih, seolah berharap dia melakukan hal ini sejak bertahun-tahun lalu, seolah berharap dia sempat menahan Diana pergi di ambang pintu, seolah berharap dia berlutut memohon di kaki ibunya agar pulang, pulang ke rumah, sejak dulu.

"Sekarang."

bersambung

a/n:

Hari ini double up! ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro