QLC #24: Krisis Padam dan Tenggelam
Paru-paru Aya sakit.
Gadis itu tidak bisa bernapas. Dia memaksa udara masuk dan keluar tapi tidak berhasil. Aya terisak. Dadanya terasa perih. Panas.
"AYA!"
Gadis itu gemetar menyaksikan Gatra berlari mengejar. Aya berhasil membawa langkahnya sampai di sisi danau buatan, tapi tidak lebih jauh lagi. Laki-laki itu menghampirinya. Raut wajah Gatra tidak terbaca. Selama beberapa detik yang mengerikan, Gatra hanya menatap Aya tanpa berkata apa-apa.
Aya mengusap air matanya, mati-matian memaksa tenggorokannya mengeluarkan suara. "Kamu... kamu harusnya bilang sama aku dulu—"
"Kamu nggak mau nikah sama aku?"
Patah sudah hati Aya mendengar permohonan Gatra. Laki-laki itu menatapnya tidak mengerti. Kecewa. Putus asa.
"Aku nggak minta sekarang. Aku ngerti kalau kamu belum siap. Kita masih bisa rencanain dua tahun... tiga... lima... lagi... Kapanpun kamu mau—"
"Gatra..." Aya merintih. Aku mau...
Tuhan, gadis itu memohon. Dadanya sakit, sakit, sakit.
Aku mau nikah sama kamu...
"Kenapa, sih, Ya?" Gatra tanpa sadar mengeraskan suaranya. Segala hal yang ia rencanakan dan pertaruhkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. "Kenapa kabur? Kenapa ninggalin aku di depan orang tuaku, kakak-adikmu, semua orang? Kenapa nangis?"
Aya hanya bisa menggeleng kesakitan.
"Jawab, Aya! Bilang kalau kamu nggak mau nikah sama aku!"
"Aku mau, Gat!" ratap Aya. "Aku nggak pernah yakin aku mau ngapain sama hidupku tapi satu-satunya hal yang aku yakin adalah aku mau nikah sama kamu!"
Gadis itu terisak.
"Tapi aku nggak tahu— aku nggak tahu aku bakal selingkuh lagi atau enggak! Selingkuh itu penyakit, Gat! Aku sakit! Gimana kalau aku ngancurin kepercayaan kamu lagi? Gimana kalau kamu ceraiin aku? Gimana anak-anak kita nanti?"
Gatra terperanjat. Laki-laki itu mengambil satu langkah mundur. Dan detik itu juga Aya tahu.
Aya tahu Gatra pun ragu.
"Gat... Gatra!"
Gadis itu jatuh ke tanah waktu Gatra merogoh sakunya dan melempar cincin permata ke dasar danau. Aya menangis sekencang-kencangnya.
Angin dingin malam mengembus air danau membasahi ujung gaun Aya saat Gatra berderap pergi meninggalkannya. Aya berdoa agar dia tenggelam di sana.
Aya berdoa agar dia tenggelam berminggu-minggu lalu di kolam renang itu.
***
"Gue nggak ngerti."
"Tata—"
"Gue nggak ngerti!"
"Tata, tenang dulu!"
Tata kesulitan bicara. Gadis itu menggelengkan kepala, jemarinya terkepal erat. Pesta itu semburat. Para undangan berbisik-bisik, memandangi mereka bertiga sementara Januar dan Tatjana berusaha mengambil alih situasi, meyakinkan yang lain untuk melanjutkan pesta sementara Gatra dan Aya bicara.
Bicara apa? Ingin Tata berteriak. Gatra melamar Aya setelah empat tahun bersama. Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kenapa Aya tidak bisa terima saja akhir bahagianya? Kenapa Aya harus membuang momen sempurna yang sudah Gatra perjuangkan setengah mati ke tempat sampah seperti ini?
"Kak Aya kenapa?" tuntutnya tidak terima pada Abim. "Dia kenapa, Bang?"
"Gue juga nggak tahu, Ta." Abim tampak ikut putus asa. "Mungkin mereka lagi ada masalah?"
"Mas Gat nggak mungkin ngelamar sekarang kalau mereka lagi ada masalah."
"Ya kita bukan yang punya hubungan, Ta. Kita nggak mungkin ngerti—"
"Mereka baik-baik aja, Bang!" Tata mengusap air mata marahnya. "Mereka... mereka—"
Abim merangkul adiknya. Dia tahu pasti hal-hal seperti ini akan lebih mengusik Tata daripada yang menjalaninya sendiri. Adiknya punya perasaan yang kelewat sensitif. Tata terlalu mudah menaruh harapan pada orang lain. Dia lebih menginginkan akhir bahagia bagi Aya dan Gatra lebih daripada dia menginginkan akhir bahagia untuk dirinya sendiri.
Abim mengusap-usap punggung Tata dan mengangguk ke arah laki-laki di dekat mereka. Kata Tata, namanya Juna, teman sekampus Aya.
"Sorry."
Juna menggeleng, menolak permintaan maaf itu dalam diam. Jantungnya sendiri berpacu. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar Aya? Memberi penjelasan pada Gatra? Atau pergi saja dari sana sebelum ada yang sadar dia tidak diundang dan semata-mata lolos dari inspeksi petugas keamanan karena datang bersama Tata?
"Saya permisi dulu," pamit Juna akhirnya.
Laki-laki itu memacu langkah menjauh dari kerumunan, menuju sisi taman yang tidak diterangi lampu-lampu hias. Juna terperangah ketika melihat sosok Gatra melangkah cepat. Tubuhnya dirapatkan ke bayangan sebuah pohon. Gatra melewatinya tanpa menoleh. Laki-laki itu terlihat seperti baru saja mendapat berita kematian. Kemejanya basah oleh cipratan air.
Juna mengikuti instingnya. Laki-laki itu meneruskan langkah ke balik pepohonan, menuju dataran yang lebih rendah. Dadanya terhenyak menemukan sebuah danau buatan raksasa. Juna menelan ludah melihat Aya berlutut di tepiannya, memeluk tubuh, menangis.
Laki-laki itu tidak tahu apakah itu saat yang tepat. Tapi rasanya segala sesuatu tentang dirinya dan Aya memang tidak pernah tepat. Jadi Juna melangkah maju.
***
"Itu tadi siapa?"
Tata melepas rangkulan Abim ketika Lala datang. Gadis itu mengusap air matanya. "Temen kampus Kak Aya sama Mas Gat. Tadi Tata bareng dia ke sini."
Lala mengangkat alis. "Kamu kenal?"
"Tadi dia ke rumah, nyari Kak Aya. Dia juga mau ke pesta ini, jadi dia nawarin Tata bareng daripada Bang Abim bolak-balik."
"Jadi kamu nggak kenal? Tata! Kalau dia orang jahat, gimana?" geram Lala. "Kamu juga, Bim! Bisa-bisanya biarin adeknya—"
"Dia juga diundang ke sini, Kak," bujuk Tata. "Kakak tanya aja sendiri orangnya kalau nggak percaya."
Lala menghela napas gusar. Tadi dia terlambat datang, jadi belum sempat bergabung dengan adik-adiknya. Wanita itu perlu merapat pada beberapa tokoh bisnis demi menyelamatkan PRAJNA. Waktu Gatra melamar dan Aya berlari pergi, baru Lala memutuskan dia perlu bersama adik-adiknya.
"Terus sekarang dia ke mana?"
Tata mengangkat bahu. Abim ikut menggeleng tidak tahu.
"Emangnya ngapain dia tadi ke rumah?"
Tata diam sebentar sebelum menjawab. "Mau ambil sweater yang Kak Aya pinjem waktu di Puncak."
Lala mencelos.
"Emangnya gue salah apa, Kak? Dia pulang dari Puncak pake baju cowok lain... emangnya gue kurang apa?"
"Terus lo masuk kamar Aya buat nyari sweater-nya?" tanya Abim bingung. Adiknya itu biasanya paling tidak berani menyentuh ranah pribadi Aya.
"Soalnya gue pernah lihat sweater putih itu. Di bawah tempat tidur. Waktu Abang nyuruh gue pura-pura jadi Aya yang sakit, lo tendang tas gue ke bawah tempat tidur, kan? Pas gue ambil, gue lihat sweater putih itu. Ternyata beneran punya Mas Juna. Gue juga nggak tahu kenapa nggak dicuci sama Kak Aya, tapi mungkin nggak sengaja jatuh ke—"
"Siapa?" Lala menyembunyikan jemarinya yang gemetar dalam kepalan tangan. "Siapa, Ta?"
"Juna," jawab Tata bingung. "Namanya Juna."
"Tadinya gue nggak mau percaya orang selain Aya. Tapi Aya udah pernah bohong soal Juna."
Lala menyeka rambutnya ke belakang. Menggigit bibir. Wajahnya pucat.
"Kenapa, Kak?" tanya Abim curiga. "Kak Lala kenal?"
Lala menatap kedua adiknya yang tidak mengerti apa-apa. Kedua adiknya yang tidak tahu harus sedih, marah, atau kecewa menyaksikan Aya pergi meninggalkan lamaran Gatra. Lebih dari segalanya, Lala tidak mau menyesal ketika nanti Abim dan Tata harus tahu dari orang lain.
"Aya selingkuh."
Perlahan-lahan, Lala menyaksikan sisa cahaya dari lima belas tahun silam meredup di mata Abim dan Tata secara bersamaan.
Kemudian seluruhnya padam.
bersambung
a/n:
Hari ini double up! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro