Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #22: Krisis Cinta Setara

"Kamu yakin gapapa?"

Kalimat Gatra mengalun lembut di telinga Aya, seiring jemari laki–laki itu menggenggam erat tangannya. Satu lengan Gatra masih memutar setir, memarkir mobilnya di pinggir jalan raya. Dari posisi mereka, gerbang SMA Tata terlihat.

"Karena kalau kamu mau dia keluar dari Rajabhumi pun, aku bisa usahain, Ay."

Aya tersenyum tipis, rasa bersalah masih bersemayam di dadanya. "Aku gapapa, Gat. Mas Bondan udah setuju buat berhentiin dia dari staf Warkom."

"Tapi kamu masih satu jurusan. Kamu bisa aja ketemu dia di kampus." Gatra menarik napas. Genggaman tangannya makin erat. "Kasih tahu aku, Ay. Kamu butuh apa?"

Aya menatap tangannya yang digenggam erat. "Aku nggak mau... aku nggak mau masalahnya makin besar. Aku nggak mau– ada yang tahu."

"Aya..." Gatra kini mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. "Semua orang bakal lindungin kamu."

Aya menggeleng. "Aku bukan korban, Gat."

"Aku tahu, nggak mudah buat terima itu. Tapi–"

"Aku bukan korban." Aya mengulang, lebih keras. "Aku juga sama salahnya. Aku tetep... aku... aku selingkuh. Aku... aku bohongin kamu. Harusnya aku jauh–jauh dari dia sejak awal. Harusnya aku nggak ucapin selamat. Harusnya aku nggak ngobrol–"

"Aya, dengerin–"

"Harusnya aku nggak cerita apa–apa!" Napas Aya tidak beraturan. Dadanya naik–turun oleh emosi. Gadis itu melepaskan genggaman tangan Gatra dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Harusnya aku cerita ke kamu..."

Gatra tidak tega. Jauh di dalam dirinya, laki–laki itu juga menyesali kenapa Aya memilih untuk bercerita lebih dulu pada orang lain. Tapi Gatra berusaha keras memahami. Kalau saja Aya bilang apa yang perlu Gatra ubah dari dirinya... Gatra rela melakukannya. Apa saja, apa saja akan dia berikan untuk Aya.

"Ay... kalau ada yang bisa aku lakuin supaya kamu lebih nyaman cerita sama aku..."

"Nggak ada." Aya menggeleng dengan cepat. "Nggak ada yang perlu kamu lakuin lagi, Gat. Kamu... kamu udah terlalu baik sama aku."

"Tapi pasti ada yang bisa aku usahain lebih lagi, kan?"

"Nggak ada, Gat."

"Sesuatu yang bikin kamu terbuka sama dia. Sesuatu yang nggak aku punya."

"Nggak... nggak gitu..."

"Mungkin aku belum cukup–"

"Aku yang nggak cukup!"

Pintu mobil dibuka.

"Halooo! Maaf Tata telat keluarnya, tadi dicegat alumni!"

Gatra dan Aya serempak menarik diri waktu Tata masuk mobil.

"Dia Ketua OSIS tahun lalu gitu, terus nanyain kenapa Tata nggak pernah bales LINE–nya. Tata bingung banget jadi nyari–nyari alasan, terus malah jadi panjang deh obrolannya. Eh, kok pada diem?" Tata melirik bolak–balik dua orang yang duduk di depan.

Gatra jadi yang pertama berdeham, kemudian tersenyum meledek ke arah spion tengah. "Cie... naksir kamu kali, Ta."

Tata mengerucutkan bibir sambil melepas ransel. "Nggak lah! Suka basa–basi aja itu orangnya."

Gatra melirik Aya yang diam saja, menyalakan mesin. "Oh ya? Siapa emang namanya?"

"Ih, nggak mau, nanti Mas Gat cepuin ke Bang Abim."

Gatra spontan tertawa. "Lah emang kenapa kalo Abim tau?"

"Duuuuhhhhh." Tata refleks mengeluh heboh. "Mas Gat kayak nggak tahu dia aja. Bisa–bisa sebulan penuh dia ledekin aku. Mas Gat inget cowok yang terakhir anter aku pulang gara–gara hujan badai itu? Sumpah! Dia masih bawa–bawa nama tuh cowok sampe sekarang. Terus ya..."

Omelan Tata terus berlanjut di jok belakang, tapi pikiran Gatra pecah. Ucapan Aya barusan masih menggaung di telinganya. Tidak cukup? Apanya yang tidak cukup? Aya adalah segalanya bagi Gatra. Aya adalah tujuan hidupnya. Semua hal yang Gatra coba bangun saat ini juga salah satunya agar Aya bisa hidup bahagia nanti. Mimpi Gatra adalah menjadi keluarga yang tidak pernah benar–benar Aya punya. Lalu kenapa sekarang gadis itu justru merasa dirinya tidak cukup untuk Gatra?

"...dia nanya ke temenku, 'masih jomblo, Ta?'. Aku kayak 'duh, kenapa dia nanya mulu, sih?'. Tapi temenku bilang aku harusnya mau aja jalan sama dia. Tapi nggak bisaaa! Udah ilfeel duluan. Aku salah nggak, sih?"

"Hah?" Gatra mengerjap. "N–nggak... nggak salah dong."

"Iya, kan? Emangnya kenapa sih kalo jomblo terus?" Tata bersungut–sungut, sepenuhnya tidak sadar akan tensi di antara kedua orang yang lebih tua darinya itu. "EH, MAS! Please berhenti depan itu. Aku mau beli kopi!"

Gatra mengerutkan kening, melihat kedai kopi di pinggir jalan yang Tata tunjuk. "Sejak kapan kamu suka kopi, Ta?"

Tata mengangkat bahu. "Mau begadang nanti malem."

"Nonton drakor?"

"Enak aja! Ngerjain try out UTBK."

Mobil Gatra perlahan melipir ke samping trotoar. Kali ini bukan hanya ia yang menaruh perhatian, Aya juga tampak terusik. Gadis itu menoleh ke arah adik perempuannya, seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Kak Aya sama Mas Gat mau titip?"

Aya akhirnya hanya menggeleng. "Jangan yang strong, Ta."

Gatra mengeluarkan kartu e–money dari dompetnya. "Nih."

Tata cengengesan dan menerima kartu Gatra. "Asiiik! Makasih Mas Gat baik hati."

Gadis remaja itu keluar dan menutup pintu mobil dengan sedikit keras. Membiarkan hening kembali mengambil alih.

"Ay–"

"Kita obrolin nanti aja."

"Nggak." Gatra menandas. "Terakhir kali kamu bilang nanti, semuanya jadi berantakan."

Jantung Aya rasanya diremas sedetik. Berantakan. Memang dia yang membuat segalanya berantakan.

"Kita obrolin setelah sampai rumah kamu."

Aya tidak membantah lagi.

Memang dia tidak pantas membantah lagi.

***

"Kak?"

Abim berhenti melangkah di tangga. Dia baru saja pulang dari kampus, tapi siluet Lala di dapur mengusiknya. Lala tidak pernah mampir ke dapur sebelumnya. Selama ini, tempat itu jadi teritori sakral Tata.

Lala tampak terkejut. Perempuan itu buru–buru mundur dari lemari obat yang digantung di dinding.

"Bim. Udah balik?"

Abim mengerutkan kening, memutuskan untuk turun menghampiri Lala. "Kakak cari apa?"

"Obat," jawab Lala refleks.

"Iya, obat apa?"

Lala diam sebentar. "Obat sakit kepala. Tadi pusing dikit, pulang kantor. Tapi abis kayaknya."

"Mau Abim beliin ke warung depan?"

"Nggak usah, Bim," tolak Lala singkat. "Cuma pusing dikit. Paling dibawa tidur udah ilang."

Bersama dengan itu, Lala menepuk bahu Abim sekali dan berjalan pergi ke kamarnya.

Abim termenung untuk suatu alasan. Jemarinya menyentuh pintu lemari obat dan membukanya perlahan. Laki–laki itu menelan ludah.

Persis seperti dugaannya, dua botol penuh kapsul obat sakit kepala berjajar di dalam.

Karena Lala memang tidak pernah mencarinya.

***

Meski rasanya mereka sudah berkendara untuk selamanya, gara–gara Jakarta dan kemacetan abadinya, Aya masih belum siap bicara waktu mobil Gatra akhirnya sampai rumah pojok Graha Dewata. Mereka berdua duduk bersisian di ubin teras yang cukup tinggi dari tanah, kaki menggantung, sementara sore semakin larut, dan langit mulai gelap.

Sejak sakit dan tidak masuk kuliah, Aya jadi punya banyak waktu untuk memikirkan apa yang telah terjadi. Aya selalu begitu, menelusuri satu per satu keputusannya untuk melihat bagian mana yang salah. Bagian mana yang membuatnya jatuh ke jurang rasa bersalahnya sekarang. Bagian mana yang pada akhirnya menyakiti Gatra.

Gatra, hidup dan mati Aya.

Aya sudah jadi jurnalis cukup lama untuk tahu seberapa sampah argumennya terdengar kalau disuarakan. Dia yakin Mas Bondan juga akan setuju. Tidak ada pembenaran dari keputusan–keputusan yang salah Aya ambil. Langkah–langkah yang salah Aya pijak. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan daripada mengakui bahwa Aya melakukannya karena satu hal.

"Jadi, Ay... waktu kamu bilang kamu 'nggak cukup' tadi... maksudnya apa?"

Kesepian.

Aya punya sangat banyak orang di sekitarnya. Tiga saudara, satu kekasih, dan puluhan rekan di Warkom. Tapi Aya juga punya satu gelembung yang melingkupi seluruh hatinya.

Di sana, tidak ada seorang pun.

Bagi Aya, tidak mungkin ia berkeluh kesah pada Lala yang jelas–jelas menopang hidup mereka semua. Lala hanya akan makin melihatnya seperti adik yang tidak bisa diandalkan, lebih-lebih dari yang sudah terjadi selama ini. Aya selalu ingin terlihat kuat di mata Lala, terlihat mampu berdiri sendiri, terlihat tidak merepotkan.

Abim? Dalam hal usia, Aya paling dekat dengannya. Tapi justru itu pula yang membuat Aya menahan diri setiap kali ingin mencurahkan hatinya. Abim juga melalui hal yang sama dengannya, mungkin lebih berat. Tapi candaan dan kehangatan yang dia bawa ke rumah mereka tidak pernah hilang barang sehari pun. Abim juga menanggung beban yang tidak kalah berat di keluarga mereka.

Lalu, Tata. Apalagi, Tata. Si ceria yang tentunya tidak mungkin Aya bebani seribu satu kemuraman hidupnya. Tata adalah matahari di keluarga mereka. Dia terlalu muda untuk dibagi pedih–pedihnya dunia. Aya tidak akan mengusik kebahagiaannya.

Mas Bondan mungkin saja akan mengerti, tapi Aya juga ingin terlihat profesional di matanya. Aya adalah staf emas. Kalau Aya tampak lemah, apa jaminannya Mas Bondan akan tetap mempercayainya?

Dan tentu saja, Gatra. Satu–satunya orang yang mungkin nyaris memasuki gelembung hati Aya.

Tapi Gatra sekalipun masih berdiri di luar, bersama dengan cerita–ceritanya tentang 'Papi dan Mami', pencapaian–pencapaian luar biasa, dan makan malam keluarga yang penuh obrolan menyenangkan. Aya beberapa kali datang. Rasanya seperti dihantam jatuh dari langit ke bumi berulang–ulang.

Empat tahun lamanya, dan Aya masih merasa tidak cukup untuk Gatra. Untuk hidupnya yang sempurna. Empat tahun lamanya, dan Aya masih sendirian di dalam gelembungnya.

Aya masih kesepian.

Dan rasa sepi, kadang–kadang, mendorong seseorang jatuh ke dalam jurang keputusasaan.

Juna adalah teman. Dia tidak pernah lebih dari itu. Teman yang tidak menghakimi, tidak tahu terlalu banyak, tidak dekat. Teman yang asing. Aya bahkan tidak tahu apa–apa tentang laki–laki itu. Tidak perlu tahu, dan tidak mau tahu. Malam itu, Aya hanya butuh tempat untuk kabur dan Juna menyodorkan semangkuk mie instan. Sama–sama terjebak di bawah atap bocor tanpa rumah untuk pulang.

Mungkin situasi yang akhirnya menyeret Aya ke dalam impulsivitas bodoh semata. Memberitahu Juna tentang kakaknya jadi korban perselingkuhan. Aya pikir hanya sebatas itu. Esok pagi dia bisa pura–pura tidak kenal Juna untuk selamanya.

Tapi tentu saja Aya salah.

Seperti sebuah orkestra takdir yang menyesatkan, mereka terus dipertemukan kembali. Aya harusnya menarik diri dari sana. Mundur dan mencipta batas.

Tapi Juna hangat. Dan bersahabat.

Sekali lagi, rasa sepi mengambil alih otak Aya. Dan keputusan-keputusan yang ia buat setelahnya, adalah harga yang harus gadis itu bayar untuk tidak membiarkan seorang pun menyentuh gelembung hatinya.

Kini bahkan Aya tidak mempercayai dirinya sendiri untuk mengambil keputusan. Aya tidak bisa melihat bayangannya sendiri di cermin, atau menatap mata Gatra dan membiarkan laki–laki itu melihat seberantakan apa gadis yang ia pilih untuk sayangi selama ini.

"Aya, lihat aku."

Aya menoleh kepada Gatra. Laki–laki sempurnanya.

"Aya... aku minta maaf kalau aku kurang sering bilang ini ke ke kamu... tapi kamu selalu sangat lebih dari cukup buat aku," tuturnya lembut. "Sejak kamu masih adik kelas yang kukejar di SMA sampai hari ini, kamu selalu Aya yang sama yang buat aku kagum. Kamu Aya yang cantik, kuat, dan berbakat. Kamu akan selalu jadi Aya yang sama untukku."

"Kalau aku bukan Aya yang itu, gimana, Gat?" Aya menarik napas dalam–dalam. "Kalau aku bukan Aya yang cantik, kuat, dan berbakat– apa kamu bakal tetep sama aku?"

Gatra menatap Aya sungguh–sungguh. "Aku bakal bilang seribu kali lagi kalau kamu masih mau dengar. Aku sayang sama kamu, apa pun yang terjadi. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Aya. Aku janji."

"Itu yang semua orang bilang, Gat." Aya menggeleng. "Itu yang semua orang bilang sebelum sesuatu terjadi, dan mereka mutusin udah waktunya pergi."

"Tapi sesuatu udah terjadi, kan?"

Aya menelan ludah. Gadis itu menatap Gatra sekali lagi. Pada sosok laki–laki yang dulu mempercayainya penuh–penuh, kini tertoreh satu luka. Satu kebohongan. Satu pengkhianatan. Satu hutang yang tidak akan mampu Aya tebus selamanya.

"Sesuatu udah terjadi, dan aku masih di sini. Kamu butuh pembuktian apa lagi?"

Gatra harusnya marah. Gatra harusnya menutup pintu apartemennya untuk Aya malam itu. Tapi laki-laki itu, sekali lagi, membuka lengannya. Untuk Aya, Gatra selalu siap jadi rumah dengan dinding dan atap yang kokoh. Atap yang tidak bocor.

"Aku takut... aku nggak akan bisa jadi sebaik kamu. Sepemaaf kamu... sesempurna kamu. Aku takut kamu kasih aku terlalu banyak dan aku nggak bisa kasih sama banyaknya." Aya mengunyah seluruh sisa harga dirinya. Menelannya bulat–bulat. Gadis itu nyaris tersedak. "Kita... kita nggak setara, Gat."

Gatra terdiam. "You're saying I don't deserve you?"

"I, don't deserve you."

"Lalu aku harus apa, Ay? Aku harus jadi kurang baik? Aku harus jadi jahat?"

"Gat–"

"No, tell me. Kasih tahu aku, aku harus jadi seperti apa supaya aku bisa deserve kamu dan kamu deserve aku. Supaya kita bisa terus sama–sama."

Nadanya tidak memohon. Tidak memerintah. Nada yang Gatra gunakan untuk menanggapi Aya dalam setiap pertengkaran mereka selalu terdengar seperti uluran tangan yang kuat dan tidak akan lepas.

Tapi Aya tidak bisa terus–terusan mengandalkan genggaman tangan Gatra untuk berjalan. Karena gadis itu tahu, di detik genggaman itu longgar, dirinya bahkan tidak mampu berdiri tegak.

"Kamu deserve orang yang jauh lebih baik dari aku."

"Kalau ini karena Juna–"

"Ini nggak ada hubungannya sama Juna, Gatra."

"Kita udah hampir empat tahun, Ya. Aku nggak pernah nuntut kamu untuk kasih apa–apa. Aku lakuin semuanya dengan tulus. Kenapa sekarang kamu tiba–tiba ngerasa nggak cocok sama caraku menyayangi kamu yang seperti itu? Karena kamu lebih cocok sama Juna?"

Aya memejamkan mata. Rasa takut, malu, dan rendah diri melingkupi seluruh tubuhnya. "Ini nggak tiba-tiba, Gat. Aku selalu ngerasa kayak gini."

"Terus kenapa kamu bertahan?"

"Karena aku nggak bisa kehilangan kamu."

"Dan sekarang kamu bisa?"

Aya menggeleng. Kepalanya tertunduk. "Aku nggak akan pernah bisa. Tapi kamu berhak tahu. Kamu berhak tahu kamu punya pilihan untuk pergi. Kamu berhak nggak maafin aku dan tinggalin aku. Aku ngerasa egois setelah dateng ke apart kamu malem itu dan minta kamu terima aku lagi."

Gatra menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Oke."

Aya menoleh. Hatinya mencelos. "...oke?"

Gatra mengangguk, yakin. "Oke. Aku punya pilihan untuk pergi."

Laki-laki itu berdiri, membawa sisa-sisa keping hati Aya yang berantakan. Air mata gadis itu akhirnya sampai juga ke pelupuk. Bersiap kehilangan. Bersiap hancur.

Tapi kemudian Gatra menyentuh jemari Aya dan menarik gadisnya berdiri, memegangi kedua pundaknya sampai seimbang.

"Aku ngerti kamu kasih aku pilihan untuk pergi. Tapi aku harap kamu ngerti juga ketika aku nggak ambil pilihan itu. Sekarang, atau selamanya."

Air mata Aya jatuh.

"Aku udah maafin kamu, Ay." Gatra berkata sungguh-sungguh. "Aku akan selalu maafin kamu. Karena aku percaya, kamu cinta aku sama seperti aku cinta kamu. Dan itu akan selalu cukup. Kita nggak perlu jadi setara. Selama kita punya cinta yang setara, semua bakal baik-baik aja."

Gatra menghapus air mata dari pipi Aya. "Kita perbaikin pelan-pelan ya? Kita lanjut sama-sama. Kamu mau, kan?"

Pertahanan Aya runtuh. Gadis itu terisak. Kepalanya dianggukkan seiring kedua lengannya melebur ke dalam dekapan Gatra.

Gelembung itu pecah, membawa Gatra melangkah masuk ke dalam. Satu-satunya orang yang berhak.

Gatra mencium kening Aya.

Ucapan laki-laki itu masih menggema di telinga gadisnya. Selama kita punya cinta yang setara, semua bakal baik-baik saja.

Semua akan baik-baik saja.

Semua harusnya baik-baik saja.

bersambung

a/n:

Hari ini double up! ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro