QLC #21: Krisis Impian
Sudah tiga hari Lala tidur di kantor.
Karyawannya sudah bolak-balik masuk ruangannya dengan seribu alasan, mulai dari mengantar kopi sampai menyerahkan laporan yang sebenarnya bisa dikirim via email. Mungkin mereka juga membicarakan Lala diam-diam di belakang, mengkhawatirkannya. Atau mungkin mereka hanya khawatir tiba-tiba kena lay-off saking kritisnya situasi PRAJNA saat ini.
Makanya Sabtu pagi itu, Lala memutuskan untuk akhirnya pulang. Sudah menumpuk lagi urusan rumah yang harus ia bereskan. Abim bilang wi-fi mereka bermasalah, jadi harus memanggil teknisi. Tata bilang AC ruang tamu bocor. Aya... yah, Lala belum dengar apa-apa lagi dari adiknya yang satu itu.
Sejak percakapannya dengan Gatra, Lala belum punya kesempatan membicarakannya dengan Aya. Kalaupun ada kesempatan, Lala tidak yakin dia sanggup. Mungkin Lala takut tahu kebenarannya. Mungkin Lala takut dia tidak akan pernah bisa menatap Aya dengan cara yang sama lagi.
Wanita itu membereskan barang-barangnya. Menjejalkan baju-baju kotor yang berseliweran di atas sofa. Lala sedang mencari parfum ketika menemukannya tersisih di atas meja yang penuh barang lain. Meja yang dulu milik partnernya.
Lala mendengus. Bahkan mencopot plat namanya saja tidak sampai hati wanita itu lakukan. Barata Adi Laksana.
Lala memaksa dirinya melupakan hari ketika plat nama itu dipasang bersamaan dengan miliknya. Bagaimana mereka berdua tertawa dan melompat-lompat bahagia di ruangan ini. Impian kita jadi kenyataan, Laksa bilang sembari mencium pipi Lala.
Dulu ruangan itu sengaja dibangun agak luas untuk menampung dua meja sekaligus. Biar sambil kerja aku bisa lihat kamu terus, katanya.
Sekarang rasanya sesak. Sesak dan Lala masih tidak kuasa menyingkirkan meja yang sudah kosong berminggu-minggu itu.
Lala menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke jendela, melongok ke bawah untuk memastikan letak mobilnya di parkiran. Saat itulah amarahnya tiba-tiba memuncak.
Sebuah mobil yang familiar diparkir persis di sebelah miik Lala.
***
"Lala."
Lala berjalan lurus menuju mobilnya.
"La, tunggu sebentar."
"Apa?"
Satu kata itu meluncur tajam dari bibirnya. Lala berbalik, menjaga jarak sejauh mungkin dari laki-laki yang dulu adalah segalanya.
"Mau apa, Sa?"
Laksa menelan ludah. Laki-laki itu mengulurkan secarik kertas putih yang terlipat rapi. "Surat resign-ku. Aku butuh tanda tanganmu."
Lala tertawa keras. "Itu yang bikin kamu repot-repot ke sini?"
"Aku nggak bisa proses semuanya kalau kamu belum tanda tangan."
"Maksud kamu, nggak bisa tarik uang keluargamu dari PRAJNA?"
"Ini bukan cuma keputusanku. Ini semua udah aku pertimbangin baik-baik." Laksa mencoba beribu kata yang sekiranya akan meluluhkan Lala. "Aku nggak bisa nggak dengerin mereka, La. Mereka keluargaku."
"Aku juga keluargamu!" Lala membentak. Air matanya berkumpul di kelopak mata. "Dulu kamu bilang aku juga keluargamu, Sa. Dan aku memang hampir resmi jadi keluargamu. Sebelum kamu tidur sama perempuan lain!"
"Lala." Laksa menarik napas, menoleh ke kanan-kiri seolah takut ada yang mendengar mereka di parkiran. "Aku udah bilang. Aku benar-benar minta maaf."
"Itu aja? Kamu pikir itu cukup buat bayar delapan tahunku?"
"Gimana sama delapan tahunku? Aku juga harus mulai karirku dari awal lagi—"
"KARENA KAMU YANG SELINGKUH!"
"HARUSNYA KAMU TERIMA AJA!"
Lala tersentak. Wanita itu mengerjap, mundur satu langkah. "A...apa?"
Laksa berusaha mengontrol emosinya yang tersulut. "Harusnya kamu terima aja. Harusnya kamu maafin aku. Kayak apa yang ayahmu lakuin. Aku pikir—"
"Kamu pikir, karena ayahku maafin ibuku berkali-kali, jadi aku juga bakal maafin kamu?" bisik Lala tidak percaya. "Makanya kamu selingkuh? Iya?"
"Ayahmu kasih ibumu kesempatan kedua, La. Cuma itu yang kuminta dari kamu."
"Kamu... kamu sakit, Sa."
"La, kamu yang sakit. Kamu yang nggak bisa kasih kesempatan kedua karena punya trauma. Kamu yang nggak akan pernah sembuh."
Seluruh tubuh Lala mendadak kaku.
Laksa mundur, tangannya mengacungkan surat. "Aku taruh di mejamu."
Sampai punggung laki-laki itu lenyap dari parkiran, baru Lala bisa bergerak masuk mobil dan menutup pintu. Tatapannya kosong. Seluruh pikirannya kosong. Kata-kata terakhir Laksa menggema ke seluruh ruang di kepalanya.
La, kamu yang sakit. Kamu yang nggak bisa kasih kesempatan kedua karena punya trauma.
Lala mencengkeram setir kuat-kuat.
Kamu yang nggak akan pernah sembuh.
Kemudian anak perempuan pertama itu menangis.
***
"Ada apa, Ndan?"
Juna sudah tahu ada yang tidak beres semenjak ia melangkahkan kaki ke markas Warkom dan tidak ada seorang pun di sana.
Biasanya, selalu akan ada satu-dua orang yang nongkrong sembari menunggu jadwal kelas, atau mengebut menggarap tulisan yang tenggat waktunya sudah mepet, atau melakukan apa aja. Warkom selalu hiruk-pikuk. Tapi kali ini, sejauh mata Juna memandang, hanya ada Mas Bondan yang duduk di kursi meja bundar.
Helm dan ransel Juna digeletakkan di lantai seperti sebuah kebiasaan. Laki-laki yang sudah bukan anak magang lagi itu duduk di seberang pimpinan redaksinya.
Secarik kertas dengan kop surat resmi Warta Komunikasi disodorkan di atas meja.
Juna bolak-balik menatap Mas Bondan dan kertas itu dua kali sebelum sadar dia disuruh membaca. Tangannya meraih kertas yang bertuliskan namanya dalam huruf tebal itu.
Dengan hormat,
Bersama surat ini, kami dari redaksi Warta Komunikasi Universitas Rajabhumi menyampaikan keputusan mengenai status keanggotaan saudara SAYAKA ARJUNA. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan yang mendalam setelah menerima laporan dan melakukan investigasi atas dugaan pelecehan seksual yang melibatkan Anda.
Jantung Juna berhenti berdetak.
Setelah mempertimbangkan bukti dan keterangan yang ada, serta demi menjaga integritas dan kenyamanan lingkungan kerja di Warta Komunikasi, kami memutuskan untuk:
1. Mengeluarkan Anda dari keanggotaan Warta Komunikasi secara permanen, efektif sejak tanggal surat ini diterbitkan.
2. Melarang Anda untuk memasuki atau berpartisipasi dalam aktivitas Warta Komunikasi di masa mendatang.
Keputusan ini diambil demi menjaga nama baik Warta Komunikasi dan memberikan rasa aman kepada seluruh anggota serta lingkungan kerja pers mahasiswa. Kami memahami bahwa keputusan ini mungkin berat bagi Anda, namun kami harus menegakkan aturan dan etika yang telah disepakati bersama demi kebaikan bersama.
Anda diharapkan untuk segera mengembalikan segala fasilitas dan perlengkapan yang telah diberikan oleh Warkom dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat ini. Apabila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut, Anda dapat menghubungi sekretaris redaksi atas nama Taristya.
Kami berharap agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang dan kami berkomitmen untuk terus menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman, dan profesional bagi semua anggota Warta Komunikasi.
Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
Hormat kami,
Bondan
Pimpinan Redaksi
Warta Komunikasi
Juna menelan ludah begitu selesai membaca. Napasnya ditarik sekali lagi kemudian diembuskan. Kertas itu diletakkan kembali di atas meja.
"Ini soal Aya?"
Juna refleks menyebut Aya, bukan Mbak Aya– karena apapun yang saat ini dibahas adalah masalah personal. Sangat, personal.
Mas Bondan mengangguk sekilas. "Itu keputusan terbaik yang bisa gue lakuin buat lo."
Juna diam sebentar.
"Ndan, saya baca Undang-Undang Warta Komunikasi," responsnya hati-hati. "Saya tahu ada prosedural untuk kasus semacam ini. Paling minimal, ada mediasi secara internal. Mas Bondan nggak bisa ngelangkahin regulasi tertulis hanya karena Mbak Aya anak emas di sini."
Mas Bondan mengangkat bahu. "Buktinya gue bisa."
"Saya nggak terima." Juna menggeleng cepat. "Mas nggak punya bukti, jadi seharusnya saya bisa—"
"Apa? Bawa ini ke Dekanat? Ke Rektorat?" potong Mas Bondan. "Jun. Denger. Aya bisa aja bawa laporannya ke pihak kampus. Dia bisa aja naikin berita pake tulisannya sendiri. Dia bisa lakuin banyak hal yang bakal ngancurin reputasi dan hidup lo ke depannya. Tapi dia dateng ke gue, Jun. Setelah apa yang udah lo lakuin ke dia."
"Setelah apa yang udah saya lakuin sama dia, maksudnya?" Juna mengoreksi tajam. "Terus sekarang dia guilty, dia mau ngedepak saya dari Warkom tanpa bukti dan tanpa prosedur yang fair, dan Mas Bondan bakal biarin dia lakuin apa yang dia mau?"
Mas Bondan membetulkan posisi duduknya, kali ini menghadap Juna lurus-lurus. "Kalo gitu jelasin ke gue. Apa yang sebenernya kejadian malem itu di Puncak."
"Yang jelas bukan pelecehan seksual."
"Aya yang minta lo cium dia?"
Juna diam. "Dia nggak akan minta karena dia nggak tahu apa yang dia mau."
"Oh, dan lo tahu?"
"Mas Bondan nggak tahu apa-apa tentang Mbak Aya. Gatra Januar juga nggak tahu apa-apa tentang Mbak Aya." Juna menggertakkan gigi. "Kalian pikir Mbak Aya memang tertutup dari dulu, tapi dia cuma nggak punya wadah yang aman untuk berbagi. Mentornya selalu bangga-banggain dia staf emas tanpa tahu kenapa dia nggak pernah mau namanya dikenal orang banyak sebagai jurnalis. Pacarnya selama bertahun-tahun nggak bisa jadi tempatnya kabur karena Gatra Januar punya hidup yang terlalu berkilau buat Mbak Aya yang kacau. Tapi saya bisa ngerti. Saya bisa ngerti karena malam itu saya dan Mbak Aya sama-sama nggak punya rumah untuk pulang. Saya ngelihat Mbak Aya tanpa tameng apa pun, dan Mbak Aya juga ngelihat saya seutuhnya. Apa yang ada di antara kami nyata dan memang cuma kami berdua yang bisa mengakui. Permasalahannya Mbak Aya nggak akan pernah akuin itu karena itu berarti dia memang nggak sekuat yang selama ini ditunjukkan ke orang luar. Berarti dia memang butuh seseorang yang seenggaknya sedikit berantakan untuk menyamai level inferioritasnya. Mengakui ada sesuatu di antara Mbak Aya dan saya sama saja dengan mengakui kelemahannya. Mengakui saya titik lemahnya."
Ada jeda beberapa detik sebelum Mas Bondan refleks tertawa keras. Kepalanya digelengkan. "Jun... Jun. Lo bener-bener halu."
Laki-laki yang lebih tua itu berdiri, melangkah menuju satu rak besar di belakangnya. Ada satu laci khusus yang selalu terkunci di situ. Juna diberitahu kuncinya sudah hilang sejak lama, tapi Mas Bondan mengeluarkan gantungan kunci dari saku. Di antara kunci motor, kunci rumah, dan kunci-kunci lainnya yang entah apa, dia memilih satu kunci kecil dan membuka laci itu.
Juna sedikit tersentak ketika selembar sobekan koran usang diambil dan diletakkan di sebelah surat pemberhentiannya.
"Lo pikir cuma lo yang tahu Aya siapa?"
Diana Tjandra Resmi Bercerai: Bagaimana Nasib Empat Anaknya?
Headline berita yang tercetak tebal itu disertai foto empat anak kecil yang Juna kenali dari rumah Aya.
"Gue berusaha respect Aya dengan bersikap biasa aja. Gue pura-pura nggak tahu siapa dia, bukan karena gue sok tahu kalo itu apa yang dia mau. Tapi karena gue percaya Aya punya alasannya sendiri buat nggak kasih tahu gue atau siapa pun. Gue yakin lo tahu soal Diana Tjandra juga karena lo obsesi cari tahu sendiri. Kalaupun dia kasih tahu lo tentang apa pun, Jun, harusnya justru lo bisa jaga kepercayaan itu. Bukan jadiin itu senjata buat cari-cari pembenaran atas perbuatan lo."
Juna diam. "Saya cuma berusaha jadi apa yang Mbak Aya butuhin."
"Lo nggak tahu apa yang dia butuhin."
"Mbak Aya juga nggak tahu apa yang dia butuhin." Juna berkeras. "Dia butuh bantuan."
"Dan dia minta bantuan lo? Karena sepengetahuan gue, bantuan yang lo maksud justru jadi pelecehan seksual buat dia."
"Saya nggak—" Juna menggeram, "—ngelecehin Mbak Aya.
Mas Bondan menarik napas tajam. Kesabarannya menipis. "Dia bilang dia mau lo cium?"
"Mas nggak lihat tatapan Mbak Aya malam itu ke saya."
Pimpinan redaksi itu mencondongkan tubuhnya ke atas meja. "Dia bilang dia mau lo cium?"
"Cara dia bicara. Dia suruh saya panggil dia pakai namanya aja. Aya."
Mas Bondan menggebrak meja keras.
"Di depan semua anak Warkom, lo, bocah kemarin sore, berani bilang ke Gatra Januar, cowok Aya selama bertahun-tahun, kalo Aya, staf Warkom yang paling berbakat dan berdedikasi, cium lo balik di acara diklat pers mahasiswa yang sakral," desis Mas Bondan tajam. "Acara. Diklat. Gue."
Juna menahan napas.
"Sekarang jawab gue, atau detik ini juga, gue abisin lo di sini. Waktu lo cium Aya malem itu di kolam renang villa Puncak, apa Aya cium lo balik, Juna?"
Juna bertahan selama beberapa detik, memikirkan argumen yang mampu menandingi, sebelum akhirnya mengalihkan pandang. Bahu laki-laki itu terkulai lemas. Dia mungkin pantang menyerah, tapi Juna sekali pun tahu kapan dia sudah kalah.
"Nggak." Juna menggeleng. "Mbak Aya nggak minta saya cium ataupun cium saya balik."
Mas Bondan mundur. Ponselnya dikeluarkan dari saku. Layarnya menunjukkan aplikasi perekam suara yang sedang menyala.
Bukti.
"Bawa barang-barang lo dan jangan pernah tidur di sini lagi."
Juna hanya bisa menatap tak berdaya ketika Mas Bondan melangkah menuju pintu.
"Terus gimana sama mimpi saya jadi jurnalis? Saya baru aja mulai di sini. Saya juga bisa jadi staf emas Warkom kayak Mbak Aya kalau Mas Bondan kasih saya kesempatan. Saya mungkin bisa jadi lebih hebat dari Mbak Aya sekarang."
Pimpinan redaksi itu berhenti di ambang pintu, menggeleng dan tertawa kecil sekali lagi, memutuskan meladeni si bocah untuk terakhir kalinya. "Pertama, gue nggak yakin lo bakal pernah jadi lebih hebat dari Aya sekarang, Jun. Dan kedua, kalau lo emang pengen banget jadi jurnalis, gue saranin lo belajar dulu arti kata consent."
Pintu Warkom ditutup bersama dengan impian Juna yang kandas di dalamnya.
bersambung
a/n:
Bab selanjutnya sudah bisa dibaca lebih dulu di KaryaKarsa @chocotwister! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro