Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #20: Krisis Kampus, Kasus, dan Kalkulus

Jelita Nareswari benci pertemuan walimurid.

Kesabaran gadis itu sisa setengah jengkal dari menyelinap keluar aula dan membunyikan alarm kebakaran supaya neraka yang mempersatukan dirinya, Lala, dan rencana masa depan ini bubar.

Kakaknya duduk dengan kaki bersilang di sebelah. Setelan kantor membuat aura wanita karir Lala makin menguar, mencuri perhatian orang-orang. Rumor co-founder PRAJNA mengundurkan diri baru saja ramai di media, berikut pernikahan mereka yang gagal.

Lala duduk dengan pundak tegap dan dagu terangkat, membuat mental Tata makin mengkerut. Bagaimana kakaknya bisa terlihat begitu tidak peduli dengan tatap-tatap penasaran dari segala arah, sementara dia ingin menghilang begitu daftar nama eligible untuk SNMPTN diumumkan? Jelas nilai rapor Tata yang merah-merah itu tidak membantunya untuk lolos. Harapan terakhirnya adalah SBMPTN, dan satu sekolah juga tahu peluang gadis itu tidak sebagus feeds Instagram-nya.

"It's okay, Ta."

Mungkin itu sebabnya waktu Lala memarkir mobil di garasi, wanita itu tidak langsung keluar. Menyadari Tata sedari pulang tadi belum buka suara.

"Lagian nggak harus dapet di SBM. Masih bisa mandiri. Kampus swasta juga banyak yang—"

"—mahal?"

"Ta." Lala meliriknya serius. "Gue nggak pernah ya minta lo mikir biaya kuliah."

Tata menggeleng. "Kamu nggak perlu minta, Kak. Beban kamu udah terlalu banyak."

Lala menurunkan tangannya dari setir dan memutar tubuh 90 derajat ke arah Tata. "Siapa sih yang bilang lo beban?"

Tata tidak menjawab. Jemarinya memutar-mutar gelang yang sudah kekecilan di tangan kirinya.

Bagaimana cara menjelaskan ke Lala kalau masuk Rajabhumi seperti ketiga kakaknya adalah mimpi terbesar Tata? Tapi kalau sampai Tata tidak lolos SBM, dia harus ikut tes mandiri atau masuk kampus swasta. Tata saja sudah tidak tega membiarkan Lala membiayai kuliah tiga adiknya secara bersamaan, apalagi kalau dia dapat UKT mahal...

"Ta?"

Kenapa Tata berbeda sendiri? Kenapa Tata tidak terlahir sepintar kakak-kakaknya?

"Tata."

"Kalau Tata nggak lolos SBM, Tata nggak mau kuliah."

"Tapi—" Lala belum sempat membantah waktu Tata keluar dan menutup pintu mobil.

Kakak sulung itu berakhir memejamkan mata. Kepalanya disandarkan ke jok.

Entah kenapa, selalu ada bagian dari diri Lala yang terluka waktu sadar adik-adiknya mungkin bisa melihat seberapa berat beban yang ia usung di pundaknya.

Mungkin karena Lala tidak pernah mau begitu. Lala tidak pernah mau kelihatan lemah, kelihatan kesusahan, kelihatan butuh bantuan. Sejak kecil pun, Ayah dan Ibu sudah mempercayakan adik-adiknya pada Lala. Lala mau bisa dipercaya. Lala mau bisa diandalkan.

Lala mau Tata bergantung saja padanya.

Tapi di saat yang sama, Lala juga malu. Lala malu dia harus masuk rumah sakit, Lala malu dia harus mengumumkan pada adik-adiknya kalau dia sakit. Lala malu dia harus gagal menikah dan perusahaannya terancam gulung tikar. Lala malu adik-adiknya merasa hidup mereka di tangan Lala tidak terasa serba aman dan nyaman.

Wanita itu menggelengkan kepala dan menyalakan kembali mesin mobil. Memutar setir dan menginjak gas menuju kantor PRAJNA.

Lala tidak akan pulang sebelum dia jadi kakak yang lebih baik dari sekarang.

***

"Itu tuduhan serius, Ya."

"Kalo nggak serius, gue nggak bakal ada di sini, Ndan."

Dari seluruh isu yang pernah dimasak di markas Warkom, ini jadi yang paling serius yang pernah Mas Bondan dengar. Pimpinan redaksi itu diam sebentar. Posisi duduknya di atas sofa Warkom dibetulkan. "Lu ada bukti?"

Bagi Mas Bondan, pertanyaan itu sangat logis dan berdasar. Sayangnya bagi Aya, itu tidak lebih dari hinaan untuk harga dirinya. Gadis itu menggertakkan gigi. "Kesaksian gue cukup jadi bukti."

Mas Bondan mengangguk paham. Tangannya diulurkan untuk meremas bahu Aya pelan.

Seluruh anggota Warkom tahu bagaimana relasi Mas Bondan dan Aya bukan hanya sebatas mentor dan junior. Sering kali, Mas Bondan benar-benar memperlakukan Aya seperti adiknya sendiri. Mereka juga mirip. Sama-sama kompeten dan logikal. Hanya saja Mas Bondan tidak seskeptis Aya dan Aya tidak seluwes Mas Bondan.

"Ya, lu tahu kan, gua percaya lo seratus persen?" Nada Mas Bondan melembut sedikit. "Tapi gua tetep nggak bisa nyalahin prosedur. Ada cara-cara lain yang harus kita tempuh dulu, misalnya mediasi."

Aya mengalihkan pandang. Dalam hati, dia sudah tahu itu yang akan keluar dari mulut Pimred-nya. Tapi Aya bukan Aya kalau menyerah begitu saja. Tatapan gadis itu jatuh ke sekeliling markas Warkom. Tempat yang mengukir banyak kenangan baginya. Tempat yang jadi simbol aman dan nyaman, tempat yang jadi rumahnya selama ini, setidaknya sampai seseorang datang.

"Ndan." Aya mengepalkan tangan, menguatkan diri. "Gue bisa bawa ini ke Rektorat sekarang juga. Tapi lo tahu apa yang bakal terjadi. Warkom bakal diinvestigasi atau mungkin dibubarin gara-gara kasus ini."

Mas Bondan tidak berkata apa-apa, hanya menatap Aya lekat-lekat.

"Gue sayang Warkom, Ndan." Aya menarik napas dalam-dalam. "Gue sayang anak-anak Warkom. Makanya... makanya gue bawa ini ke lo. Tapi kalau lo nggak mau ambil tindakan, gue saranin lo siapin speech perpisahan lo buat pers mahasiswa ini dari sekarang."

"Aya."

"Sekarang pilihannya ada di tangan lo. Mana yang menurut lo lebih prioritas, Ndan? Eksistensi Warkom...?"

Aya berdiri, tidak berani menatap mata mentornya.

"...atau bocah magang itu?"

***

Kadang Abhimana Praya benci memorinya sendiri.

Orang bilang, laki-laki suka melupakan sesuatu, tidak seperti perempuan yang bisa mengingat momen sekecil apa pun sampai bertahun-tahun kemudian. Abim pernah baca artikel di suatu tempat, katanya itu karena ukuran bagian otak laki-laki yang bertugas mengontrol kenangan memang lebih kecil dari perempuan. Mungkin ada yang salah dengan anatomi otak Abim, karena sampai sekarang, sembari ia mengelilingi kantin FILKOM untuk memilih makan siang, pikirannya belum juga lepas dari gestur aneh Lala semalam.

Abim kenal tiga saudara perempuannya. Sesuatu terjadi di antara Aya dan Gatra. Lala tahu itu, tapi dia memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Tapi kenapa? Abim bukan adik kecil lagi. Abim sudah mahasiswa sekarang, dan dia satu-satunya laki-laki di keluarga mereka. Bukankah seharusnya Abim bisa jadi sandaran dan orang yang dimintai bantuan ketika ada apa-apa?

"Abim?'

Abim mengerjap. Laki-laki itu refleks mencari arah suara yang memanggil namanya. Kemudian tubuhnya sempurna membeku. Ransel Abim nyaris melorot dari pundak kalau tidak buru-buru dicekal.

"Hai! Ketemu lagi."

Senyum ramah itu membuat Abim menelan ludah. "M-maya? Kok... lo ada di sini?"

Maya mengerutkan kening pura-pura tersinggung. "Nggak boleh?"

"B-bukan!" Abim buru-buru meralat panik, berusaha mengalihkan pikirannya dari setelan batik dan rok Maya hari ini. Warna abu-abu dan biru tua. Kesukaannya. "Maksud gue, hari ini nggak ada kuliah umum kayak waktu itu— t-tapi kalo lo mau ke sini juga bebas. Bebas banget malah! Nggak harus pas ada kuliah umum."

Maya tertawa kecil. "Becanda kali, Bim. Gue ke sini soalnya ada ketoprak enak. Makanan di kantin FK ngebosenin. Lo lagi mau makan siang juga?"

Abim mengusap tengkuk gugup dan mengangguk.

"Mau makan bareng, nggak?"

Detik itu juga, semua pikiran runyam Abim tentang keluarganya mendadak menguap lenyap. Bahkan, tiap kata yang pernah Abim pelajari sejak TK ikut hilang tak berbekas dari otaknya.

"G-gue—"

Maya bergeser, memberi ruang Abim untuk duduk persis di sebelahnya. Jarak yang cukup untuk Abim mencium aroma parfumnya. Kalau mereka tidak sengaja menggerakkan sendok di waktu bersamaan, Abim yakin lengan mereka akan bersentuhan.

"Sini." Maya menepuk spasi kosong itu.

Demi Tuhan, tidak ada yang lebih Abim inginkan dari duduk di sana.

"Eh... gue kayaknya makan di kelas aja, deh, May. Takut telat. Dosen Kalkulus killer."

"...oh?" Maya terlihat bingung.

"Iya. Duluan, ya."

Abim tiba-tiba memacu langkah secepat kilat keluar kantin, mengabaikan tatap heran Maya karena laki-laki itu bahkan belum membeli makanan apa-apa. Jantung Abim berdegup kencang, tapi bukan cuma itu yang membuat dadanya sakit.

Semua orang yang kenal Abim cukup dekat pasti tahu bahwa Maya— atau Raden Roro Kanigara Sasmaya Rajni Pandita— adalah perempuan yang laki-laki itu kagumi semenjak mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Maya selalu duduk di depan, mencatat penjelasan, dan dapat nilai sembilan saat ulangan harian. Abim langganan menghuni bangku belakang, mengobrol dengan kawan-kawan, sesekali belajar dengan sistem kebut semalam.

Setiap ada yang bertanya kenapa Abim tidak mencoba PDKT sekalipun mereka selalu satu sekolah selama dua belas tahun, laki-laki itu cuma akan beralasan mereka bagaikan langit dan bumi. Maya tidak akan suka dengan laki-laki sepertinya. Gadis itu pasti punya standar tinggi yang tidak mampu Abim capai.

Tapi sekarang, Abim sudah masuk universitas top yang juga Maya incar, bahkan berada di salah satu fakultas unggulan. Maya, yang Abim kira tidak tahu siapa namanya, justru menyapa lebih dulu. Dua kali.

Dan Abim lari.

Seperti yang selalu dia lakukan setiap ada kesempatan. Menarik diri.

Kalau teman-temannya bertanya apa yang salah dengannya, mungkin Abim akan bilang dia tidak tahu. Tapi laki-laki itu tahu. Dia hanya tidak mau ada yang tahu.

bersambung

a/n:

Hari ini double up!  ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro