QLC #2: Krisis Teori Segitiga
"Malam semua, maaf telat. Tadi Gatra nganterin Aya pulang dulu."
Cuma ada tiga kursi di ruang makan keluarga Ragaswara. Satu untuk Januar Ragaswara, satu untuk istrinya, dan satu untuk putra tunggalnya. Gatra duduk di kursi ketiga.
"It's fine, Sayang. Mami-Papi juga baru mulai makan."
Gatra sering dibilang mirip Tatjana, maminya. Mulai dari alis lebat, bola mata cokelat, tulang hidung tegak mancung, sampai lesung pipit samar yang muncul setiap kali dia tersenyum. Tapi kalau rambut-rambut halus yang sengaja dia tumbuhkan di sekeliling garis rahang sampai ke bawah dagu, itu mirip papinya.
"Kenapa Aya nggak sekalian diajak makan di sini, Gat?"
Gatra mengunyah senyum dan mencondongkan tubuh ke belakang sedikit, membiarkan seorang asisten rumah tangga melebarkan serbet di atas pahanya. "Aya lagi sibuk, Pi. Ada deadline berita, katanya."
"Mami baca, lho, beritanya yang terakhir di website," sahut Tatjana bangga. "Berani sekali, ya, pacar kamu itu."
Senyum Gatra sepenuhnya lebar sekarang, membuat kedua orang tuanya tergelak.
"Jatuh cinta luar biasa ini, anakmu, Mi."
"Dari dulu selalu senyum-senyum begitu kalau sudah bahas Aya."
Gatra ikut tertawa kecil. Bukan hal baru dia diledek begini di meja makan. Setiap kali nama Aya keluar sebagai topik percakapan, Gatra selalu jadi bulan-bulanan orang tuanya. Toh dia tidak keberatan, asal itu soal Aya.
Aya sudah menjadi kesayangan Gatra sejak hampir empat tahun lalu. Waktu itu Gatra masih murid kelas 12 yang suka baca buku di perpustakaan sambil menunggu jam bimbel dimulai. Dia jatuh penasaran pada anak perempuan kelas 10 yang setiap hari duduk di dekat jendela perpus tapi tidak baca buku apa-apa. Katanya, ada lubang kecil di kusen jendela itu, tepat mengarah ke lorong paling ramai di sekolah mereka.
Terus? tanya Gatra bingung. Terus, kalau duduk di sini, kita jadi tahu gosip apa aja yang seru, Kak, jawab si anak perempuan. Kamu suka gosip? tanya Gatra lagi. Yang ditanya justru mendengus pelan, saya anak jurnalistik.
Belakangan baru Gatra tahu namanya Aya, setelah membaca kolom berita di mading seminggu kemudian. Topiknya soal krisis literasi. Aya bicara soal bagaimana 500 lebih koleksi buku di perpustakaan sekolah hanya mampu menarik minat satu orang murid kelas 12. Kalimatnya sungguhan tajam, Gatra masih ingat— kenapa tidak gusur saja rak-rak buku ini dan alihkan dananya untuk renovasi lapangan futsal? Kenapa dipertahankan kalau hanya sekadar untuk formalitas? Akui saja sekolah kita krisis literasi kalau ada pengamat pendidikan visitasi.
Terlalu tajam, setelah dipikir-pikir lagi. Mungkin itu sebabnya Jurnalistik terancam dibubarkan oleh pembina ekskul. Walaupun ujung-ujungnya tidak jadi, gara-gara penjaga perpus mengaku banyak murid yang mendadak berkunjung ke perpus. Mereka baru tahu ada lebih dari 500 koleksi buku di situ gara-gara kontroversi berita Aya.
Itu kesan pertama Aya dalam dunia Gatra: adik kelas perempuan yang menyelamatkan sekolah dari krisis literasi seorang diri dengan kalimat-kalimat tajamnya.
Sampai situ saja, Gatra sudah jatuh cinta.
***
"Nanti sore jadi, Ya?"
Aya yang sudah setengah melepas sabuk pengaman kembali menoleh. "Iya?"
Gatra tersenyum sembari melepaskan ikatan itu. "Katanya mau wawancara?"
"Oh." Aya mengangguk ringan. "Jadi. Kamu balik dari Pusdiklat jam?"
"Kalau sesuai jadwal, sih, tiga."
"Oke, aku tunggu di Warkom." Aya mencondongkan tubuh untuk mengecup pipi Gatra singkat. "Good luck buat hari pertamanya."
Pegal sudah rahang Gatra menyangga cengiran sampai Aya akhirnya keluar dari mobil dan menutup pintu. Mata laki-laki itu masih mengawasi langkah gadisnya memasuki pelataran FISIP, sembari merogoh tas dan mengeluarkan buku hitam kecil beserta pensil mekanik. Senjata favorit Aya.
Gatra lagi-lagi tersenyum kecil sebelum memutar mobil keluar parkiran. Ini hari pertamanya di Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu), unit pendidikan dan pelatihan fungsional dasar untuk para calon diplomat Kementerian Luar Negeri.
***
"Mbak Aya, siang."
Tadinya Aya kira markas Warkom kosong, murni karena dia lupa tentang anak magang yang bakal jadi partner kerjanya. Aya jarang melupakan sesuatu, tapi dia rasa ini karena keberadaan bocah itu kelewat tidak perlu. Rubrik 'Sosok', segmen Warkom yang khusus meliput figur inspiratif di kampus, cuma butuh 500 sampai 750 kata. Tanpa wawancara sekalipun, Aya sudah menguasai riwayat hidup narasumber mereka. Gadis itu bisa menulis sambil tutup mata. Lima belas menit juga kelar, dia berani taruhan.
"Saya udah kumpulin beberapa informasi tentang Mas Gatra, barangkali Mbak mau baca-baca dulu."
Siapa namanya? Aya berusaha mengingat.
"Juna, Mbak." Seolah membaca pikirannya, bocah itu menyahut.
Aya mengangguk dan duduk di seberang meja. "Nggak usah, Jun. Lo aja yang baca."
Niat Juna menyodorkan beberapa lembar HVS di atas meja seketika urung. Kertas-kertasnya ditarik lagi. Laki-laki itu menyandarkan punggung ke bantalan kursi besi dan mengamati Aya.
Yang diamati langsung risih. Matanya melirik tajam. "Kenapa?"
Juna mengerjap dan menggeleng. "Mbak cantik," jawabnya sederhana.
Aya tidak kelihatan terkesan dengan pujian itu. Gadis itu beranjak menuju komputer di sisi lain ruangan. Atensi Juna masih belum lepas. Dia menyaksikan dalam diam bagaimana Aya membuat dokumen baru dan membuka beberapa tab sekaligus di browser. Pandangan Juna menangkap sesuatu tentang teori dan cinta.
"Tugas, Mbak?"
Aya spontan mendengus. "Menurut lo, gue kurang kerjaan sampe browsing soal teori cinta? Ya, iyalah, tugas."
Juna sedikit tertawa. "Segitiga cintanya Sternberg, ya?"
Aya melirik meski tidak berbalik. "Lo tahu?"
"Matkul Komunikasi Antarpribadi, bukan?" tanya Juna. "'Saya ngejokiin kating kemarin."
"Oh," sahut Aya tidak tertarik. Biasanya itu cukup untuk mengakhiri basa-basi, tapi Juna ini sepertinya golongan istimewa.
"Saya suka teorinya."
Aya menelan gue nggak tanya kembali ke tenggorokan. Dia sudah menghabiskan cukup banyak energi meladeni si bocah magang ini. Mulai sekarang dia akan diam saja.
"Cinta itu nggak semuluk-muluk yang suka diomongin pujangga. Pada dasarnya, ya cinta cuma formulasi tiga elemen: intimacy— kedekatan, passion— hasrat, dan commitment— komitmen. Lebih logis dan gampang dicerna."
Mungkin karena Aya diam saja, Juna justru menganggap itu kesempatan untuk terus bicara. "Kalau tiga elemennya terpenuhi, berarti itu complete love. Kalau cuma intimacy sama passion, berarti itu romantic love. Kalau cuma intimacy sama commitment, berarti—"
"Berisik."
Juna berhenti. Senyumnya terulas. "Menurut Mbak, complete love itu ada, nggak?"
Aya memutar tubuh kali ini. Bukan karena dia menyerah dalam usahanya mengabaikan Juna, tapi karena pertanyaan itu sudah berenang dalam benaknya sejak tadi. "Nggak. Sternberg juga bilang itu cuma teori, kan? Praktiknya jarang banget, bahkan nggak ada. Semua cinta di dunia ini seenggaknya kehilangan salah satu dari ketiga elemennya."
"Menurut Mbak, kenapa bisa gitu?" tanya Juna lagi. "Apa karena manusia memang nggak mampu memenuhi tiga elemen cinta sekaligus? Dekat, penuh hasrat, juga berkomitmen?"
Aya tertawa sarkastik. "Bukan nggak mampu. Konsep complete love-nya aja yang fiktif."
"Kalau wise love, fiktif juga?"
Aya mengangkat alis dan memeriksa dokumen tugasnya. "Nggak ada wise love di sini."
"Nggak ada cinta bijaksana?"
Aya tertegun bersamaan dengan decit pintu markas Warkom yang dibuka dari luar.
"Hai! Sorry lama, macet parah di Kuningan."
Tapi, bahkan setelah Gatra masuk ruangan dan menutup pintu, mata Aya masih belum lepas juga dari senyum tengil dan pertanyaan asal Juna. Cinta bijaksana— atau dalam bahasa Sansekerta, Asmara Prajna.
Namanya.
bersambung
Author's note:
Halooo! ><
Buat kamu yang mau baca bab selanjutnya tanpa harus nunggu hari Jumat, tenang aja! QLC juga aku publikasikan di KaryaKarsa SATU BAB LEBIH CEPAT dari Wattpad ;) Kamu bisa baca duluan bab selanjutnya (dan mungkin bab-bab ekstra) dengan harga yang pastinya terjangkau!
Jangan lupa ikuti aku di karyakarsa(dot)com/chocotwister juga ya! Terima kasih <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro